Menuju konten utama

Mengapa Sesar Palu Koro Timbulkan Gempa Palu 7,4 SR dan Tsunami?

Tak semua sesar mendatar menimbulkan magnitude gempa yang kuat, lalu apa yang menyebabkan sesar Palu Koro bisa menimbulkan tsunami yang besar?

Mengapa Sesar Palu Koro Timbulkan Gempa Palu 7,4 SR dan Tsunami?
Sebuah kapal terhempas ke daratan akibat gempa dan tsunami di kawasan Pantai Taipa, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Peneliti bidang geofisika kelautan LIPI, Nugroho Dwi Hananto menjelaskan sesar mendatar Palukoro sebenarnya kurang efektif untuk menimbulkan tsunami karena tidak menimbulkan pergerakan vertikal di dasar laut.

“Bukan tidak mungkin, namun tidak efektif," jelas Nugroho di kantor LIPI, Selasa (2/10/2018).

Namun, dikatakan Nugroho, adanya kemungkinan bahwa sesar mendatar Palukoro memiliki komponen deformasi vertikal di dasar laut. Komponen deformasi ini adalah perubahan bentuk yang diakibatkan oleh suatu daya.

Nugroho mencontohkan beberapa sesar datar yang memiliki magnitude gempa yang kuat, namun hanya mengakibatkan gelombang kecil.

“Seperti yang terjadi di cekungan Wharton tahun 2012. Gempa memiliki magnitude 8,5, namun tsunami hanya 30 sentimeter,” jelas Nugroho di kantor LIPI, Selasa (2/10/2018).

Lantas mengapa gempa di Palu dan Donggala yang memiliki magnitude sekitar 7,4-7,5 bisa menghasilkan tsunami yang besar?

“Pertama, sesar Palu Koro yang ada di laut mengakomodasi komponen vertikal saat gempa dan secara tiba-tiba mengoyak kolom air. Struktur sesar mendatar yang ada di laut dapat kita lihat sebagai flower structure,” jelas Nugroho.

Kemudian kawasan Teluk Palu hingga Donggala memiliki bentuk mirip kanal tertutup dengan bentuk dasar laut yang curam. Akibatnya, massa air laut yang datang dari laut menuju darat akan teramplifikasi—mengalami perbanyakan—sehingga gelombangnya makin tinggi dan semakin cepat.

Bentuk dasar lautnya berpengaruh, karena massa kolom air yang sama di laut akan dipindahkan ke darat dengan volume atau jumlah yang sama dan kecepatan yang berbeda. Kondisi bentuk alam yang curam tersebut juga memungkinkan terjadinya longsor di bawah laut. Kecuraman di sesar ini melebihi 60 derajat, sehingga dengan kecuraman seperti ini jika ada gempa maka bisa jadi dia longsor.

“Tebing yang longsor itu seperti kita melempar batu ke air, jadi airnya akan bergolak dan terdorong ke atas. Inilah yang menjadi tsunami," jelasnya.

Nugroho juga menjelaskan mengenai penampang membujur dari Selat Makassar hingga ke Palu. Kedalaman penampang ini sekitar 800 meter di bawah permukaan laut, namun tiba-tiba naik secara drastis mencapai 50 meter. Tingkat keterjalan penampang ini yang semakin membuat gelombang besar.

Ia menjelaskan ada dua istilah tentang gempa dan tsunami. Ada gempa tsunamigenik, dimana gempa memiliki magnitude yang besar dan menghasilkan tsunami yang besar, seperti contohnya gempa Aceh 2004.

“Yang lain ialah gempa tsunami, memiliki magnitude kecil tapi menghasilkan gempa besar, seperti yang terjadi di Mentawai 2010,” jelas Nugroho.

Ia berpesan agar masyarakat tidak salah kaprah, perlu edukasi terhadap warga bahwa gempa dengan kekuatan kecil bukan berarti tidak bisa mengakibatkan tsunami. Sehingga kesadaran untuk menyelamatkan diri itu tercipta.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Maya Saputri