Menuju konten utama
Analisis

Mengapa SBY dan Partai Demokrat Kian Tenggelam di Era Jokowi?

SBY gagal mengerek suara Partai Demokrat dalam dua pemilu terakhir. Di era Jokowi, suara SBY sebagai mantan presiden seperti diabaikan.

Susilo Bambang Yudhoyono di Pendopo Puri Cikeas, Senin (9/9/2019). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

tirto.id - Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono makin menghilang dari kancah politik nasional. Di masa kepresidenan Joko Widodo, SBY kian tenggelam dan tidak mampu mengangkat Partai Demokrat kembali menjadi pemenang pemilu, bahkan masuk 3 besar pun tidak.

Kemerosotan SBY dalam upaya mengangkat Partai Demokrat sebenarnya sudah terlihat dari Pilkada Jakarta 2017. SBY mencoba peruntungan dengan memunculkan poros ketiga, yaitu mencalonkan anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai kontestan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ini adalah penampilan perdana AHY di gelanggang politik setelah karier singkatnya di dunia militer.

AHY maju bersama Sylviana Murni dengan diusung oleh partai bercorak agama, yakni PPP, PAN, dan PKB. Di atas kertas, berdasarkan total perolehan suara partai-partai pengusung, Agus-Sylvi seharusnya lebih unggul daripada pasangan lain penantang petahana, Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno.

Anies-Sandiaga hanya diusung oleh Partai Gerindra dan PKS. Jika ditilik dari kursi keterwakilan di DPRD DKI Jakarta, komposisi pendukung AHY-Sylvi juga lebih besar, yakni 28 kursi dari 106 yang tersedia. Suara Gerindra dan PKS hanya mewakili 26 kursi di DPRD.

Namun keunggulan di atas kertas itu tampak tak berbanding lurus dengan hasil survei pada pekan-pekan terakhir menjelang pencoblosan. Setelah debat pertama Pilkada Jakarta 2017, ada setidaknya tiga lembaga survei, yaitu SMRC, Indikator Politik, dan Populi Center, yang merilis elektabilitas paslon. Hasilnya, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat unggul dalam ketiga survei tersebut. Secara serentak, ketiganya juga mencatat bahwa Agus-Sylvi mendapat perolehan suara paling rendah.

Debat-debat berikutnya justru membuat pendukung Agus-Sylvi mengalihkan dukungan kepada Anies-Sandiaga. Bagaimanapun, corak pendukung dua paslon ini sangat mirip: berlatar belakang agama Islam. Dalam survei LSI Denny JA, pemilih Agus-Sylvi menganggap BTP adalah penista agama. Ketika mereka merasa Agus-Sylvi bukanlah pemimpin yang tepat, otomatis suara itu akan beralih pada Anies-Sandi.

Agus-Sylvi akhirnya harus tersingkir pada putaran pertama Pilkada Jakarta 2017. Suara sisa dari Agus-Sylvi akhirnya kian banyak beralih ke Anies-Sandiaga. Mereka mengalahkan paslon BTP-Djarot di putaran kedua.

Kekalahan Agus-Sylvi pada Pilkada Jakarta 2017 sekaligus menjadi pertanda pupusnya ambisi politik terbesar Partai Demokrat di era Jokowi. SBY barangkali berharap, meski kalah pilkada, sosok AHY bisa meroket dalam gelanggang politik nasional dan bisa dijadikan posisi tawar tersendiri pada Pilpres 2019. Sayangnya, dinamika politik menjelang dan setelah Pilpres 2019 membuat harapan tersebut ambyar. Partai Demokrat bahkan seperti tersingkir dari kontestasi.

Gamang Sejak Pilpres 2019

Demokrat adalah satu-satunya partai yang setengah hati dalam perhelatan Pilpres 2019. Partai besutan SBY ini tidak mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tapi di sisi lain juga tidak mati-matian mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Keinginan Partai Demokrat sebenarnya adalah menduetkan Prabowo dengan AHY. Hingga batas pencalonan paslon peserta pilpres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), sikap Demokrat masih abu-abu.

Kendati di atas kertas Partai Demokrat akhirnya mengusung Prabowo-Sandiaga, kenyataannya dukungan itu tidak menjadi kewajiban anggota partai. Demokrat memberikan dispensasi atau kelonggaran kepada kadernya yang mau mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto menyebut sikap abu-abu Demokrat adalah bagian dari upaya memenangi pilpres tanpa mengorbankan pileg.

“Karena kami juga dalam pemilu legislatif harus sukses betul, jangan sampai ada hal menjadi kendala di pemilu legislatif," kata Agus di Kompleks DPR pada 10 September 2018.

Gerindra tidak terima dengan sikap Demokrat itu. Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon mendesak Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar bisa menyolidkan dukungan partainya kepada Prabowo-Sandiaga.

"Keputusan yang diambil oleh DPP pasti akan mengikat. Tidak mungkin keputusan itu ada pengecualian-pengecualian. Saya kira pastinya akan mengikat," kata Fadli pada hari yang sama dengan pernyataan Agus. "Jadi harusnya satu komando kalau sudah ambil keputusan. Kalau sudah ambil A, semuanya harus A.”

Ketidakjelasan ini akhirnya justru memberikan efek elektoral yang buruk bagi Demokrat.

Di luar Hanura, ada empat partai yang perwakilannya berkurang di DPR pada pileg 2019. Mereka adalah Partai Golkar, PAN, PPP, dan Demokrat. Dari partai pengusung Prabowo-Sandiaga, ada PAN dan Demokrat. PAN hanya mengalami degradasi sebanyak 5 perwakilan, sedangkan Demokrat berkurang 7 perwakilan, dari sebelumnya 61 kursi menjadi 54 kursi.

Arya Fernandes dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam studi berjudul "Dari Partai Pemenang menjadi Partai Menengah: Studi Kondisi Elektoral Partai Demokrat" (Maret 2020, PDF) menganggap Demokrat akan sulit mempertahankan suara di tengah gencetan partai menengah yang kian menanjak suaranya.

Salah satu kegagalan Demokrat mempertahankan suara dalam Pemilu 2019 tidak lain karena melempemnya usaha partai dalam menjaring pemilih milenial.

“Usaha Demokrat untuk menarik pemilih milenial tidak efektif dilakukan. Mesin-mesin partai tidak bekerja maksimal untuk meng-aktivasi program milenial partai. Apalagi pada saat yang sama, Agus Yudhoyono sebagai ikon milenial partai kehilangan momentum di pemilu kemarin,” catat Arya.

Setelah pilpres 2019, sikap Demokrat juga masih tidak jelas, oposisi atau merapat ke koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Hubungan Gerindra dan Demokrat setelah pilpres memang kian memburuk. Gerindra, lewat Wakil Ketua Umum Arief Puoyono, sebenarnya sudah mengusir Demokrat ketika paslon Prabowo-Sandiaga kalah.

Arief meminta Partai Demokrat keluar dari Koalisi Adil Makmur. Arief memandang elite Demokrat tidak konsisten dalam mendukung Prabowo-Sandiaga. Apalagi Juru Bicara Partai Demokrat saat itu, Ferdinand Hutahaean, dan Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon sudah menyatakan diri akan keluar dari koalisi Prabowo-Sandiaga.

"Sebaiknya keluar saja dari Koalisi Adil Makmur. Jangan elit-nya dan ketua umum kayak serangga undur-undur. Mau mundur dari koalisi aja pakai mencla-mencle segala. Monggo keluar saja," ujar Arief seperti dilansir Tempo.

Tapi Demokrat juga tidak begitu saja pindah haluan mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Kendati Gerindra sudah masuk ke barisan pendukung pemerintah, Demokrat masih mengambil posisi politik jalan tengah, tidak menjadi oposisi, tidak juga masuk koalisi Jokowi.

Kendati tampuk kekuasaan Demokrat berpindah dari SBY ke AHY, politik jalan tengah ini tidak berubah. Dosen Ilmu Politik UIN, Adi Prayitno, menganggap Demokrat memang sengaja ingin memosisikan diri sebagai penyeimbang.

"Tidak oposisi, tidak juga (gabung) ke pemerintah. Dia ingin jadi penyeimbang antara koalisi dan oposisi. Kalau Pemerintah lagi bagus dia puji, kalau tidak dia kritik," kata Adi sebagaimana dilaporkan Merdeka.

Adi memandang politik jalan tengah memang merupakan ciri khas SBY. Sayang, politik jalan tengah itu, paling tidak hingga kini, lebih banyak gagalnya daripada suksesnya. Perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2019 amblas dan elektabilitas AHY untuk bertarung di Pilpres 2024 semakin ciut.

Infografik Surut SBY dan Demokrat

Infografik Surut SBY dan Demokrat. tirto.id/Sabit

SBY Hilang Panggung

Setelah AHY naik sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan SBY, Demokrat tetap tidak muncul secara signifikan dalam politik nasional.

Partai Demokrat kembali ramai dibicarakan ketika UU Cipta Kerja, yang banyak diprotes masyarakat, hendak disahkan pemerintah dan DPR. Dalam rapat paripurna, berkali-kali Demokrat ingin dicatat sebagai partai penolak UU yang dianggap merugikan kelas pekerja tersebut.

SBY pun turun gunung. Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, SBY memanfaatkan media sosial untuk tampil di hadapan publik. Melalui kanal YouTube, SBY berkomentar soal UU Ciptaker dan demonstrasi yang merebak dalam unggahan berjudul “SBY Ngobrol Santai Perkembangan Terkini.”

Dia menyebut omnibus law masih banyak kekurangan dan perlu diperbaiki. Oleh sebab itu Demokrat menolaknya. Tapi sekali lagi, SBY tidak mau menempatkan dirinya sebagai oposisi.

“Lantas dianggap Demokrat melawan negara? Ya tidak lah. Demokrat itu kecil sekarang, katanya, dan kita juga di luar pemerintahan. Kita tahu diri. Tempat kami bersuara di situ (DPR)," kata SBY.

Komentar SBY tidak berujung apapun. Kekuatan politik Partai Demokrat di parlemen tidak cukup untuk menghentikan laju omnibus law yang disepakati oleh tujuh fraksi di parlemen.

Geliat SBY tidak hanya tampak di YouTube, tapi juga Twitter dan Facebook. Yang terbaru, SBY bicara soal vaksin COVID-19 yang hendak disebarkan pemerintah untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut SBY: "peluang bagi meredanya badai corona dan pulihnya ekonomi kita memang ada.” Kendati demikian, “semua itu tak datang dari langit. Jangan pula bersikap 'take for granted', seolah peluang baik itu akan datang dengan sendirinya. Misalnya, jangan lantaran vaksin sudah datang pasti pandemi akan segera hilang. Setelah itu ekonomi kita akan pulih kembali dan bahkan tumbuh meroket. Jangan bersikap dan berpikir begitu. Tuhan tidak suka. Mestinya sikap dan cara berpikir kita adalah 'dengan semangat dan tekad yang baru, mari kita makin bersatu dan berikhtiar sekuat tenaga agar semua permasalahan bangsa di tahun 2021 ini dapat kita atasi.'"

Pernyataan SBY, yang sebenarnya wajar dalam posisinya sebagai politikus sekaligus bekas presiden, justru menuai lebih banyak polemik daripada apresiasi. Beberapa pendukung Jokowi bahkan menyerang balik Presiden RI ke-6 itu.

Ferdinand Hutahaean, misalnya, yang kini tak lagi menjadi kader Demokrat, menyentil pernyataan bekas bosnya itu. Ferdinand yakin bahwa masyarakat sudah paham dengan adanya vaksin, bukan berarti kewaspadaan masyarakat akan menurun.

"Vaksin Covid-19 ini salah satu ikhtiar untuk keluar dari penyebaran covid. Kita pun tak merasa bahwa dengan Vaksin ini masalah selesai dan semua normal, tidak! Karena untuk sukses vaksin pun kita sedang bekerja keras, dan kita yakin bahwa Tuhan suka kerja keras kita dan akan membantu kita," cuitnya melalui akun Twitter @FerdinandHaean3.

Dengan dua kali berada di luar pemerintahan, Demokrat bersama SBY semakin hilang dari sorotan politik nasional. Ini tentu menjadi alarm bahaya bagi eksistensi partai di masa depan. Setidaknya, menurut Sahat Saragih, anggota Forum Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat, SBY justru membuat partai porak-poranda.

Baca juga artikel terkait SUSILO BAMBANG YUDHOYONO atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan