Menuju konten utama

Mengapa Rancangan KUHP Terlalu Berbahaya untuk Disahkan?

Keberadaan pasal-pasal bermasalah yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara semakin menegaskan bahwa RKUHP tidak semestinya disahkan.

Mengapa Rancangan KUHP Terlalu Berbahaya untuk Disahkan?
Ketua Tim Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Enny Nurbaningsih bersama anggota Tim Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hakristuti dan Muladi memberikan keterangan pers terkait pelemahan KPK di Jakarta, Rabu (6/6/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Pemerintah memutuskan untuk membatalkan target pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 17 Agustus 2018. Presiden Joko Widodo meminta pembatalan tenggat tersebut usai bertemu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Istana Bogor, Rabu (4/7).

Menanggapi keputusan pemerintah, anggota Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi PPP DPR RI, Asrul Sani, tidak mempermasalahkannya. Asrul beralasan, sejauh ini pemerintah dan DPR terbuka terhadap kritik dan masukan dalam proses pembahasan RKUHP. Pertimbangan tersebut memungkinkan penguluran waktu pengesahan RKUHP.

“Kami itu basisnya adalah objektivitas. Yang kami buat ini adalah KUHP, undang-undang yang penting yang tiap hari akan dilaksanakan. Dan karena itulah diperlukan kehati-hatian yang lebih,” kata Asrul kepada Tirto.

Di lain sisi, Asrul menilai, keputusan pembatalan tenggat pengesahan RKUHP tidak menghambat upaya DPR dan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan beleid tersebut yang paling lambat jatuh pada 2019.

“Jika masih ada masalah-masalah yang harus diselesaikan terkait dengan rumusan yang harus diperbaiki, ya, tidak usah kita paksakan selesai 17 Agustus. Itu saja,” kata dia.

Sementara mantan Ketua Panja RUU KUHP, Benny Kabur Harman, berpendapat apabila pemerintah menilai pembahasan RKUHP perlu diperpanjang waktunya, maka DPR wajib untuk menurutinya.

“KUHP itu 'kan, usulan pemerintah. Kita kembali pada pemerintah, kepada presiden. Kalau memang enggak siap, ya sudah, harus menurut pemerintah. Enggak ada batas waktu,” terangnya. “Cuman kalau sekarang susah, lalu kapan lagi?”

Banyak Celah Sana-Sini

Terlepas dari penundaan itu, sejak awal RKUHP memang tak luput dari kontroversi. Sebab, jika nantinya disahkan, keberadaan pasal-pasal di dalamnya berpotensi besar mengkriminalisasikan masyarakat dalam banyak hal.

RKUHP sendiri memuat dua bagian: Buku I dan Buku II. Buku I mengatur mengenai ketentuan umum yang menjadi landasan pemberlakukan hukum pidana di Indonesia. Landasan hukum tersebut ialah asas-asas hukum pidana, seperti asas legalitas, dasar pertanggungjawaban pidana, dasar penjatuhan pidana, pedoman, serta tujuan pemidanaan.

Sedangkan untuk Buku II berisikan pengaturan tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Ada sekitar 516 pasal ketentuan tindak pidana yang termaktub dalam Buku II.

Aliansi Reformasi Nasional KUHP—yang mewakili 37 ormas dan LSM—dalam acara workshop "Peran Penting Jurnalisme dalam Advokasi RKUHP: Mengupas RKUHP" yang diselenggarakan di kantor LBH Pers pada Selasa (24/7) menyebut ada beberapa alasan mengapa RKHUP yang sedang digodok di parlemen sekarang bermasalah.

Menurut Aliansi Reformasi Nasional KUHP, RKUHP saat ini dianggap sangat represif jika dilihat dari perspektif pidana pemenjaraan. Indikatornya, dari 1.251 perbuatan pidana dalam draf RKUHP, 1.198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Jumlah tersebut tentu berpotensi membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas.

Kemudian, Aliansi Reformasi Nasional KHUP juga menyoroti keberadaan rancangan yang tak berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan. Hal ini bisa dilihat lewat pasal perzinaan dan kumpul kebo. Dua pasal tersebut, catat mereka, dibuat tanpa pertimbangan yang matang dan berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat serta 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memperoleh dokumen perkawinan resmi.

Tak cuma menghambat kelompok rentan, aliansi ini juga memandang RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, terutama program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan.

Contohnya cukup banyak. Mulai dari Pasal 443 RKUHP tentang kriminalisasi edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan termasuk kontrasepsi; Pasal 502 RKUHP tentang kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan, termasuk jika perempuan tersebut adalah korban perkosaan dan perempuan yang kehamilannya membahayakan secara medis; Pasal 446 RKUHP tentang kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan; sampai Pasal 700–715 RKUHP tentang potensi kriminalisasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Untuk kriminalisasi kontrasepsi, dampaknya tak main-main karena berpotensi menghambat program pencegahan HIV/AIDS. Padahal, merujuk laporan Kementerian Kesehatan (PDF), jumlah kasus HIV dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) cenderung meningkat; dari 30.935 (2015), 41.250 (2016), sampai menyentuh 48.300 (2017).

Meningkatnya kasus HIV dalam tiga tahun terakhir berkorelasi dengan faktor minimnya akses populasi kunci terhadap fasilitas pencegahan HIV (penyuluhan, distribusi kondom, dan sebagainya). Sebagaimana dalam paparan Pusat Penelitian HIV-AIDS UNIKA Atma Jaya dalam laporan terbaru berjudul “Situational Assessment on Social and Legal Barriers in Relation to Comprehensive HIV Prevention and Treatment Response in Indonesia” (2018), tidak tersedianya akses kesehatan HIV secara maksimal karena para populasi kunci—LGBT, pekerja seks, transgender, dan pengguna napza suntik—masih diperlakukan diskriminatif dan mendapatkan stigma negatif dari khalayak ramai.

Hal lain yang dipertanyakan Aliansi Reformasi Nasional KUHP ialah pasal ketentuan tentang penghinaan serta makar. Untuk poin pertama, perumus RKHUP kembali memasukkan tindak pidana penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan pemerintahan yang sah. Padahal, kedua ketentuan tersebut telah dicabut Mahkamah Konstitusi. Alasan mengapa perumus tetap menyertakan pasal ini adalah karena "presiden merupakan simbol negara."

Lalu untuk poin kedua, soal makar, RKUHP, lewat Pasal 181, mendefinisikannya sebagai "niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut." Namun, pada hakikatnya, asal kata 'makar' yaitu anslaag yang berarti 'serangan.'

Rekomendasi Aliansi Reformasi Nasional KUHP untuk kedua poin itu yakni, pertama, pasal penghinaan presiden harus dihapuskan mengingat pasal ini dibikin guna melindungi posisi raja atau ratu Belanda, yang tentunya berbeda dengan posisi presiden. Kedua, terkait makar, perumus RKUHP harus merumuskan ulang dan memahami bahwa makar dalam KUHP menggunakan kata anslaag yang berarti serangan; bukan seperti yang dimengerti perumus sebagai "niat dan permulaan pelaksanaan."

Infografik HL Indepth HIV LGBT

Membungkam Kebebasan Pers

Pers kerap dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Namun, kerja-kerja pers dalam menjaga nalar publik dan proses demokrasi terancam oleh RKUHP. Perwakilan dari LBH Pers, Ade Wahyudin, menyatakan, bukti ancaman itu terlihat dalam Pasal 309 RKUHP perihal “Berita Bohong” (dalam draf RKUHP 2 Februari 2018, pasal ini berubah menjadi 285), Pasal 328-329 perihal contempt of court (dalam draf RKUHP 2 Februari 2018, pasal ini berubah menjadi 305 huruf d), serta Pasal 494-495 mengenai “Pembukaan Rahasia.”

Dalam Pasal 285 (draf RKUHP 5 Februari 2018) tertulis: “Setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.”

Sementara dalam pasal 305 huruf (d)—terkait contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan—dijelaskan bahwa, “Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.”

Terakhir adalah pasal terkait “pembukaan rahasia,” yang dimuat di dua pasal. Pertama, Pasal 494 ayat 1: “Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya, baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.”

Kemudian, yang kedua, Pasal 495 ayat 1: “Setiap orang yang memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan tempatnya bekerja atau pernah bekerja yang harus dirahasiakannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.”

Pangkal masalah dari keberadaan ketiga pasal tersebut adalah tafsirnya yang tidak baku alias “karet.” Misalnya saja dalam Pasal 285. Frasa “mengakibatkan keonaran,” kata anggota LBH Pers, Ade Wahyudin, “tidak ada indikatornya.”

“Bagaimana dengan berita yang heboh di publik karena banyak pembacanya? Bisa dipidana dong pembuatnya?” kata Ade kepada Tirto.

Selain itu, ada pula frasa “patut diduga” dalam pasal yang sama. Implikasi dari frasa tersebut adalah pengesampingan terhadap proses penyelidikan. “Kalau tiba-tiba setelah proses pengadilan berita itu ternyata benar 'kan, wartawan tetap harus dicap sebagai tersangka,” jelas Ade.

Pasal bermasalah berikutnya adalah Pasal 305 huruf (d). Menurut Ade, yang karet dari pasal ini adalah tidak adanya penjelasan tentang publikasi yang “tidak memihak kepada hakim.” Jika yang dimaksud dalam pasal itu adalah “menyimpulkan status hukum sebelum putusan pengadilan,” frasanya tidak tepat. Tapi, jika maksudnya adalah “tidak mempublikasikan pembahasan dalam persidangan,” Ade berpendapat, seharusnya hal tersebut tidak diatur dalam KUHP.

“Mungkin Mahkamah Agung dan Dewan Pers bisa membuat peraturan tersendiri persidangan yang boleh diliput dan tidak boleh diliput,” terang Ade.

Di antara pasal-pasal bermasalah di atas, kehadiran pasal menyoal “pembukaan rahasia” malah lebih gawat lagi. Pasal tersebut kemungkinan besar dirasa bakal membuat mutu jurnalistik Indonesia jalan di tempat sebab sangat mungkin menjerat wartawan investigasi—yang kerap bersinggungan dengan informasi rahasia yang belum diketahui publik. “Kalau ada wartawan mengungkap korupsi suatu lembaga, bisa dipidanakan semua itu,” imbuh Ade.

Ihwal pasal “pembukaan rahasia,” jelas Ade, berkebalikan dengan prinsip keterbukaan informasi publik yang sudah dibakukan dalam undang-undang karena tidak menjelaskan informasi apa yang dapat dikonsumsi publik dan apa yang tidak. “Jadi, pasal itu dihapus saja karena sudah ada UU KIP [Keterbukaan Informasi Publik],” ungkapnya.

Derasnya kritik terhadap RKUHP seperti tak ditanggapi serius oleh parlemen. Anggota tim perumus KUHP, Asrul Sani, tidak menangkap substansi kritik, meski pembahasan soal RKUHP cukup banyak dilansir di pelbagai media massa. Ia misalnya mengatakan bahwa mereka yang menolak sebaiknya juga memberikan argumen, bukan sekadar berkoar-koar.

“'Kan saya bilang, boleh enggak mau [menolak rumusan KUHP]. Tapi, kasih dong below the line [alasan] mereka itu apa. Harus disampaikan dong below the line mereka itu apa,” kata Asrul ketika ditanya tanggapannya terhadap kritik masyarakat.

Sementara Miko Ginting, peneliti Pusat Studi dan Kebijakan Indonesia sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, mengungkapkan bahwa kodifikasi [menghimpun jadi satu], seperti yang ditempuh pemerintah dan DPR melalui RKUHP, bukan satu-satunya cara untuk melakukan konsolidasi hukum. Miko berpendapat, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap KHUP saat ini.

“Apa yang ingin diubah, apa yang ingin ditambahkan. Semua ada perhitungannya masing-masing agar tidak terkesan buru-buru mengejar target. Karena ini dampaknya besar. Masih banyak pasal yang bermasalah,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait KUHP atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Hukum
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf