Menuju konten utama

Mengapa Polri Harus Bebaskan Inisiator Pasar Muamalah Zaim Saidi

Polisi didesak menghentikan kasus pasar muamalah Zaim Saidi. Ia dianggap tak melanggar hukum apa pun dengan berdagang dengan dinar dan dirham.

Mengapa Polri Harus Bebaskan Inisiator Pasar Muamalah Zaim Saidi
Arsip-Seorang pengunjung bertanya tentang uang Dinar dalam acara pasar Berbasis Islam, Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/6). ANTARA/Agus Bebeng

tirto.id - Zaim Saidi, inisiator jaringan pasar muamalah, terancam penjara dan denda karena disangka melanggar Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ia ditangkap pada Selasa (2/2/2021) malam, usai pasar muamalah di Depok viral beberapa waktu sebelumnya.

“[Zaim] berperan sebagai inisiator dan penyedia lapak pasar muamalah sekaligus sebagai pengelola dan sebagai wakala induk, yaitu tempat menukarkan rupiah menjadi alat tukar dinar atau dirham,” ucap Kabag Penum Divisi Humas Polri Komjen Pol Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Rabu (3/2/2021).

Dinar merupakan koin emas 4,25 gram 22 karat, sementara dirham adalah koin perak murni 2,99 gram.

Sebagaimana pasar pada umumnya, pasar muamalah--yang ada di beberapa kota, termasuk Depok yang digelar dua pekan sekali sejak 2016--menyediakan berbagai kebutuhan sandang dan pangan. Di tempat ini transaksi dapat dilakukan via dinar dan dirham, tapi tak mengharamkan rupiah.

Transaksi di tempat ini disebut-sebut ilegal karena tak sesuai dengan hukum yang menyebut satu-satunya alat pembayaran yang sah adalah rupiah.

Menurut dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Yusuf Wibisono, para penjual dan pembeli di pasar muamalah sebenarnya sedang barter, sistem pertukaran sebelum ada uang. “Menukarkan dahulu uang kertas ke emas dan perak. Jadi, ketika menukarkan koin dengan madu atau baju, itu barter. Substansi sebenarnya barter,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (15/2/2021).

Berdasar penelusuran kepolisian, dinar dan dirham dipesan dari PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, Kesultanan Bintan, Kesultanan Cirebon, dan Kesultanan Ternate dengan harga sesuai acuan dari Antam. Setiap dinar dan dirham ini diberi label nama Zaim sebagai bukti bahwa ia memang penanggung jawab. Harga beli ke konsumen akhir sesuai harga dari Antam plus 2,5 persen sebagai margin keuntungan.

SVP Corporate Secretary Antam Kunto Hendrapawoko membantah keterangan ini. Menurutnya tidak ada pemesanan atas nama Zaim Saidi. Ia juga mengatakan Antam menjual dinar dan dirham sebagai benda koleksi, bukan alat tukar menukar.

Terlepas dari mana dirham dan dinar itu berasal, bagi Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, polisi telah berlebihan menangkap dan menersangkakan Zaim. “[Kasus Zaim] jauh dari unsur pidana,” ujar Isnur ketika dihubungi reporter Tirto, Senin.

Ia berargumen bahwa saat ini transaksi digital tak lagi menggunakan rupiah secara fisik. Bahkan barter yang lebih tradisional pun masih berlaku di beberapa wilayah di negara ini dan juga tak melibatkan rupiah sama sekali. Bila barter dianggap sebagai tindak pidana, maka banyak warga yang diproses hukum.

Isnur bilang alih-alih mempidana, polisi sebaiknya menerapkan sistem keadilan restoratif yang tidak bertujuan merampas kemerdekaan orang, tapi “memulihkan keadaan.” Toh pemidanaan adalah ultimum remedium alias upaya terakhir dalam penegakan hukum. “Kok sekarang jadi pendekatan paling utama?”

Jika kasus dilanjutkan, ia menilai itu hanya akan mencoreng program Kapolri baru Listyo Sigit Prabowo yaitu prediktif, responsibilitas, dan transparansi-berkeadilan. “Jangan sampai masyarakat kecewa dan program Kapolri itu runtuh di awal.”

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Arsil berpendapat serupa. “Apa yang salah? Ada transaksi dengan bitcoin, ada yang tukar tambah, [seperti] menjadikan mobil sebagai alat transaksi. Kenapa itu tidak ditangkap? Bagaimana jika semua transaksi yang tidak menggunakan rupiah, diperlakukan sama dengan kasus ini?” katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Senin.

Selain itu ia juga merasa penahanan keliru. Pasal 9 UU 1/1946 mengancam 15 tahun kurungan siapa saja yang “membikin benda semacam mata uang,” sementara UU 7/2011 kurang lebih isinya sama tapi ancaman hanya satu tahun. Dia bilang karena esensinya sama, semestinya pasal yang diterapkan itu UU 7/2011 dan dengan begitu Zaim tak perlu ditahan karena syarat penahanan adalah hukuman dengan ancaman lima tahun atau lebih.

“Sepertinya polisi gunakan pasal 9 tersebut karena ancamannya 15 tahun, jadi bisa ditahan. Ini yang sering dilakukan polisi dan jaksa: mencari cara supaya bisa menahan [orang],” kata Arsil.

Zaim juga didukung oleh dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah. NU bahkan mengatakan alih-alih memperkarakan pasar muamalah, sebaiknya para penggiatnya dibina apalagi saat ini ekonomi sedang lesu karena pandemi.

Baca juga artikel terkait ZAIM SAIDI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino