Menuju konten utama

Mengapa Poligami Jadi Masalah?

PSI dan aktivis perempuan menyoroti potensi ketidakadilan pada perempuan yang mengalami poligami.

Mengapa Poligami Jadi Masalah?
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie. tirto.id/ Andrey Gromico

tirto.id - “PSI tidak akan pernah mendukung poligami,” kata Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat pidato di Jatim Expo, Surabaya, Selasa (11/12/2018) malam. “Tak ada kader [PSI], pengurus, dan anggota legislatif dari partai ini yang boleh mempraktikkan poligami."

Seruan itu tak ditanggapi dengan afirmasi 100 persen di kalangan kader PSI. Detik mewartakan Nadir Amir, Ketua DPC Partai Solidaritas Indonesia Kecamatan Cina, Kabupaten Bone akan mengundurkan diri.

“Intinya saya terganggu dengan larangan itu. Saya juga caleg dari PSI ini. Saya terganggu bukan berarti saya mau poligami, hanya tidak suka dengan aturan itu,” katanya kepada Detik. Menurut Nadir, poligami adalah ranah pribadi yang seharusnya tidak dicampuri oleh partai.

Kepada Tirto, Grace mempersilakan kadernya untuk mengundurkan diri jika tak sejalan. Penolakan partai terhadap poligami menurut Grace, adalah sikap partai yang tidak bisa dinegosiasikan.

“Ini seleksi alam, verifikasi nilai atau ideologi. [Prinsip itu ada] karena ada diskriminasi perempuan di situ, berarti ada ketidakadilan di situ,” ungkap Grace.

Mengapa Poligami Ditolak?

Meski bersikap saklek, Grace menyampaikan aturan itu hanya berlaku bagi kader pengurus dan calon legislatif, bukan untuk seluruh anggotanya. Ia juga menjelaskan bahwa sikap itu tak muncul tanpa sebab.

“Kita enggak mau masuk ke perdebatan agama. Kita lebih menyoroti dampak sosialnya saja, bahwa yang banyak menjadi korban [karena poligami] adalah perempuan dan anak,” ujarnya. Beberapa wujud ketidakadilan yang disebabkan poligami, kata Grace, adalah tidak dinafkahi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga penelantaran anak.

Mantan jurnalis di beberapa kanal berita stasiun televisi ini juga menyoroti syarat poligami dalam undang-undang perkawinan pasar 4 ayat (2) yang membolehkan poligami jika ada masalah-masalah pada istri. Ayat itu mencakup istri yang tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.

“Di situ yang menjadi faktor penyebab cuma perempuannya doang. Terus kalau misalnya dibalik, laki-lakinya yang pergi, enggak mencari nafkah, terus gimana?” tutur Grace.

Ia juga menentang aturan yang seakan menuduh perempuan sebagai penyebab susah mendapat keturunan. “Dalam ilmu biologi kan bisa laki dan perempuan tidak bisa punya keturunan kan? Kalau ternyata laki-laki penyebab [tidak punya keturunan], gimana? Terus dia [istrinya] bisa nikah lagi?” tegas Grace.

Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, jurnal studi gender dan perempuan, Anita Dhewy, juga menentang poligami. Menurutnya, poligami mengandung diskriminasi dan rentan menyebabkan kekerasan pada perempuan.

Anita menganggap bahwa ketentuan perundangan tentang perkawinan itu menunjukkan pandangan negara terhadap perempuan, yakni hanya sebagai penerus keturunan. Selain itu, hal-hal yang disyaratkan dalam undang-undang juga pada praktiknya tak selalu dipenuhi. Ada kasus di mana poligami terjadi tanpa pihak istri mengalami ini dan itu.

Seperti Grace, Anita juga menunjuk banyaknya masalah perempuan akibat dipoligami. Menurutnya, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan psikologis, ekonomi, dan fisik.

Benarkah poligami seburuk itu? Mari tengok buku “Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating polygamy in Indonesia” yang ditulis oleh Nina Nurmila (2009). Dalam buku ini, Nina menceritakan pengalaman perempuan-perempuan yang dipoligami. Salah satunya adalah Arsa.

Arsa menceritakan perkawinan kedua suaminya, Jajang. Awalnya, Arsa tidak terganggu dengan pernikahan antara Jajang dengan istri keduanya, Lia. Namun, semakin lama, Arsa merasa tidak ada privasi antara dia dengan Jajang. Lia juga semakin sering cemburu. Pendeknya, pernikahan kedua Jajang tak hanya membuat Arsa sakit hati, tapi juga stres.

Poligami juga membawa masalah bagi ekonomi keluarga. Dalam buku itu, Nina juga menceritakan tentang kehidupan rumah tangga Tuti. Setelah Rosyid memutuskan untuk menikah lagi, Tuti tertekan karena harus berbagi suami dengan Nuri.

Pernikahan ini tak hanya membuat beban mental bagi Tuti, tapi juga Rosyid. Keluarga mereka nyaris bangkrut yang harus ada dua rumah yang harus dihidupi. Akhirnya, Tuti meminta Rosyid menceraikan salah satu di antara mereka.

Aturan Poligami di Indonesia

Aturan Poligami di Indonesia

Membujuk Kalangan Penentang Poligami

Suara hiruk-pikuk yang menentang seruan Grace Natalie tersebut adalah risiko yang harus ditanggung oleh PSI. Demikian yang disampaikan peneliti politik lembaga survei Populi Center, Usep S. Ahyar.

Meski kontroversial, sikap PSI ini belum tentu buruk bagi laga mereka nanti pada Pemilu 2019. Usep melihat sikap tersebut sebagai upaya politikus dalam memperjelas posisinya. Sikap PSI tersebut, menurutnya, adalah upaya untuk mendongkrak elektabilitas di kelompok penentang poligami.

“Itu bagus karena partai lebih jelas arahnya, daripada abu-abu untuk kepentingan elektabilitas. PSI sudah berani mendeklarasikan soal program itu,” ujar Usep.

Namun, Usep juga mengingatkan bahwa sikap itu seharusnya lahir dari kajian yang serius. "Jangan-jangan ini tidak didasarkan pada kajian yang lebih matang, sehingga soal kayak gitu menjadi latah saja,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait POLIGAMI atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani