Menuju konten utama

Mengapa Physical Distancing Saja Tidak Cukup?

Kita perlu menjaga kesehatan dengan makan makanan bergizi, rutin minum air putih, dan melengkapi kebutuhan asupan vitamin

Mengapa Physical Distancing Saja Tidak Cukup?
Ilustrasi physical distancing. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kebijakan lockdown di Inggris melahirkan banyak meme lucu, termasuk modifikasi sampul album The Beatles, Abbey Road (1969).

Foto di penyeberangan jalan Abbey Road itu diambil lebih dari setengah abad lalu oleh Ian Stewart Macmillan, fotografer asal Skotlandia. Ian cuma punya waktu sepuluh menit untuk memotret John Lennon, George Harrison, dan Ringo Starr yang tengah mengambil jeda dari penggarapan lagu “I Want You (She's So Heavy)” dan “The End”, sementara Paul McCartney baru selesai menggarap “Oh! Darling”.

Di masa lockdown, foto legendaris itu hadir dengan tampilan berbeda. Keempat musisi itu tak lagi berjalan beriringan dan berdekatan, melainkan berjauh-jauhan. Foto yang ditampilkan di akun Instagram @activistala itu diberi keterangan: “6 kaki atau 1,8 meter adalah jarak satu sama lain yang direkomendasikan para ahli.”

“Deretan konten media sosial tiba-tiba penuh dengan berita sedih dan menakutkan, jadi kami pikir kami perlu melakukan sesuatu yang lebih ringan dan menyenangkan sembari tetap menjaga poin penting dari pesan itu,” kata Beto Fernandez, salah satu pendiri Activista.

Baginya, budaya pop bisa jadi media positif untuk menyampaikan pesan dibandingkan dengan berita yang akhir-akhir ini justru meninggalkan cemas. Dalam proyek berjudul “6 Feet Covers”, Activista juga mendesain ulang sampul-sampul album musik ikonis seperti milik Queen, Blondie, U2, Green Day, Oasis, Fugees, dan Ramones. Proyek ini membawa pesan soal pentingnya jaga jarak di masa pandemi. Belakangan, kita mengenalnya sebagai physical distancing.

WHO mengubah anjuran yang semula pembatasan sosial (social distancing) menjadi pembatasan jarak fisik (physical distancing). Frasa ini pun dirasa lebih tepat oleh banyak pihak, termasuk pemerintah Indonesia. Kita tak memutus hubungan dengan keluarga maupun lingkungan sosial, kita hanya sedang menjaga jarak fisik sebagai langkah preventif.

“Dalam masa-masa ‘aneh’ saat wabah virus ini, kami ingin jarak fisik yang jelas, tetapi pada saat yang sama, kami ingin orang-orang tetap dekat satu sama lain secara sosial,” kata Martin W. Bauer, Profesor Psikologi Sosial dan Metodologi Penelitian di London School of Economics.

Infografik Advertorial Oronamin C

Infografik Advertorial Anti Mati Gaya. tirto.id/Mojo
Sejenak Merentang Jarak

Berdasarkan data per Selasa, 7 April 2020, jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 2.738 orang. Itulah mengapa tiap individu bertanggung jawab mengurangi aktivitas dengan tetap tinggal di rumah jika tak ada keperluan mendesak, juga menghindari acara-acara publik.

Belajar dari Italia, lonjakan pasien maupun kematian akibat Covid-19 meningkat drastis di tengah kebijakan karantina wilayah (lockdown) akibat, salah satunya, ketidakpatuhan warga untuk jaga jarak. Walau tak bisa mencegah 100 persen risiko penularan virus, paling tidak physical distancing memperlambat penyebarannya.

“[…] jaga jarak ini bukan hanya berlaku di tempat umum, tapi juga di seluruh rumah tangga di setiap keluarga. Karena di antara keluarga belum tentu semuanya itu negatif, belum tentu seluruh anggota keluarga itu aman dari virus korona ini,” terang Doni Monardo—Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Korona (Covid-19).

Virus Covid-19 mudah menular lewat droplet yang dikeluarkan saat seseorang batuk atau bersin, dan dapat bertahan sampai beberapa jam di permukaan benda—tergantung jenis, suhu, dan kelembapan lingkungan. Dan di masa inkubasi selama 14 hari yang bahkan mungkin belum menunjukkan gejala, ia sudah bisa menularkannya ke orang lain. Ini yang perlu diwaspadai, apalagi sejumlah pasien tak mengalami gejala sakit seperti demam, batuk, dan sesak napas.

Fakta ini juga yang kemudian membikin banyak orang panik. Padahal, dilansir dari Psychology Today, kepanikan di tengah penyebaran penyakit justru berisiko menjadikan seseorang rentan terpapar. Hormon kortisol yang dilepaskan tubuh saat panik dapat menekan imun, membuat kekebalan tubuh menurun.

Maka yang bisa dilakukan adalah mengalihkan fokus yang semula ke pandemi jadi ke diri sendiri. Misalnya, mengisi waktu #dirumahaja dengan menjalani pola hidup sehat, jaga daya tahan tubuh, dan merawat diri.

Apalagi di kondisi sekarang, sudah sepatutnya kita jaga kesehatan dengan makan makanan bergizi, minum air putih sesuai kebutuhan, dan melengkapi kebutuhan asupan vitamin. Jika perlu, konsumsi Oronamin C yang kaya vitamin C, B, dan mengandung madu, sebanyak satu hingga empat botol perhari.

Minuman vitamin asal Jepang yang tanpa pengawet, pewarna sintetis, maupun pemanis buatan ini bisa menemanimu berkegiatan di rumah sekaligus membantu menjaga imun tubuh. Karena berwujud cair, zat gizi yang terkandung dalam Oronamin C mampu diserap tubuh dengan baik. Botol cokelat minuman vitamin ini juga dirancang untuk melindungi kandungan vitamin dari sinar matahari langsung sehingga tetap utuh sampai ke tanganmu. Siapa tahu, kesegarannya bisa sekaligus membuat suasana hatimu membaik.

Momen langka #dirumahaja juga bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk melakukan hal-hal yang sering terlewatkan atau tak terpikirkan di tengah kesibukan: berjemur, olahraga, beberes rumah, dan lainnya. Bonusnya, kita punya banyak momen bersama keluarga. Namun yang pertama mesti dilakukan adalah mengatur waktu.

Bagi banyak orang, work from home di tengah pandemi Covid-19 jadi tantangan tersendiri. Hal demikian dialami Dotika, karyawan bank BUMN. “Kerjaan sama banyak, sementara konsentrasi jauh berkurang. Tiap mau fokus, ada aja kendalanya. Harus masak, siapin anak belajar online, rumah kotor, banyak lagi ‘gangguan’ lain yang akhirnya bikin jam kerja jauh lebih panjang dan melelahkan.”

Penyesuaian diri memang tak mudah, tapi bukan berarti tak bisa disiasati. Pisahkan urusan pekerjaan dan urusan rumah tangga, jadi kamu punya batasan jelas kapan harus mulai dan selesai bekerja sehingga pikiran tak bertumpang-tindih. Kalau perlu, pakai pakaian rapi dan siapkan ruang kerja yang mendukungmu untuk lebih fokus.

Jam kerja yang jelas juga membuatmu memiliki waktu istirahat yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan yang disuka: menonton serial Netflix, mendengarkan podcast, berburu resep, atau bermain game. Duta Besar WHO untuk strategi global Ray Chambers bahkan menyarankan orang-orang bermain game selama masa karantina untuk menghilangkan stres.

Suasana Abbey Road yang kini benar-benar sepi dimanfaatkan Pemerintah Kota London untuk melakukan peremajaan fasilitas umum, salah satunya, mengecat ulang penyeberangan legendaris yang telah lama pudar itu. Positifnya, dunia sedang mengambil jeda untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik. Kita pun butuh rehat agar selamat.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis