Menuju konten utama

Mengapa Petahana Gubernur Berguguran di Pilkada 2018?

Hanya tiga kandidat petahana gubernur yang diperkirakan tetap bertahan dan melanjutkan kepemimpinannya selepas Pilkada 2018.

Mengapa Petahana Gubernur Berguguran di Pilkada 2018?
Calon Gubernur Jawa Barat nomor empat Deddy Mizwar menyapa pendukung sebelum menyampaikan keterangan pers di Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/6/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Sejumlah kepala daerah petahana terutama gubernur tumbang dalam hasil hitung cepat lembaga survei pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018. Hasil ini menjadikan sejumlah daerah memiliki kepala daerah baru yang akan memimpin hingga 2023.

Berdasarkan data Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) yang dirilis pada Jumat (28/6/2018), hanya tiga kandidat petahana gubernur yang diperkirakan tetap bertahan dan melanjutkan kepemimpinannya di daerah masing-masing. Ketiganya adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, dan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba.

Tiga kandidat petahana gubernur lainnya akan berakhir masa jabatannya setelah pilkada. Mereka yang diprediksi gagal berdasarkan hasil hitung cepat adalah Gubernur Lampung Rido Ficardo, Gubernur Maluku Said Assegaf, dan Gubernur Papua Lukas Enembe.

Di luar kandidat petahana gubernur, ada delapan wakil gubernur bertahan yang juga diprediksi gagal dalam Pilkada 2018. Kedelapan wakil gubernur petahana itu berasal dari wilayah Riau, Sumatera Selatan, Jabar, Jatim, Sulsel, Bali, NTT, dan NTB.

“Gubernur dan wakil gubernur petahana tidak ada jaminan dapat melanjutkan kepemimpinannya dengan mudah. Hal ini disebabkan banyak faktor, salah satunya adalah persoalan kinerja selama menjabat yang belum tentu disukai oleh pemilih,” ujar Direktur Puskapol UI Aditya Perdana dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.

Kegagalan banyak petahana terutama gubernur di Pilkada 2018 dianggap terjadi karena para kepala daerah terlalu abai dan menikmati kekuasaan tanpa memanfaatkan posisi sebagai incumbent.

Menurut Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, secara teori calon kepala daerah petahana seharusnya meraup untung di Pilkada. Mereka memiliki waktu “kampanye” yang lebih panjang dibanding para pesaingnya.

Jika petahana menelan kekalahan, ia memprediksi itu terjadi lantaran pejabat terkait sangat gagal memimpin daerahnya selama 5 tahun terakhir. Pejabat terkait juga dianggap tak bisa memanfaatkan posisi sebagai petahana.

“Dalam teori politik, orang yang berkuasa bisa melakukan imaging policy. Dia bisa buat kebijakan untuk membangun citra. Jadi kalau 4 tahun bekerja, tanpa biaya, lalu kalah, menurut saya itu aneh dan dia artinya pemimpin yang tidak berhasil dan tak mampu memanfaatkan posisinya sebagai kepala daerah,” kata Ubedilah di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (30/6/2018).

Infografik Tunggal Pasangan Calon Kepala Daerah Menurut Partai Pendukung

Peluang Petahana di Pemilu 2019

Pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) itu juga menduga tidak ada kerja politik yang dilakukan tim di belakang kepala daerah petahana, jika kekalahan sampai diderita mereka saat Pilkada.

Menurut Ubedilah, lemahnya mesin politik di belakang kepala daerah bisa terjadi lantaran pejabat terkait tak memelihara pendukungnya selama menjabat. Minimnya dukungan itu berdampak pada kecilnya suara yang diraih pejabat petahana ketika pilkada berlangsung.

Ia menilai rentannya posisi kandidat petahana di pilkada dapat berlanjut hingga berlangsungnya Pilpres 2019. Prediksi itu muncul karena ia menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku petahana belum mampu melakukan imaging policy dengan baik.

“Tidak seluruhnya kebijakan presiden mampu menciptakan citra positif, dan tidak seluruhnya membuat citra buruk. Karena posisinya setengah, ada peluang oposisi memenangkan pertarungan,” kata Ubedilah.

Pandangan berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Jusario Vermonte. Menurutnya, fenomena kekalahan petahana di Pilkada 2018 belum tentu berlanjut di Pilpres 2019.

Ia menyebut banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu 2019, apalagi hingga kini belum ada calon presiden dan wakil presiden definitif. Philips berpandangan, belum pastinya peserta pemilu 2019 membuat peta politik masih dapat berubah hingga beberapa bulan ke depan.

“Saya kira ada banyak faktor, tapi paling tidak dari sisi petahana [Jokowi] hasil pilkada kemarin menunjukkan keuntungan. Karena di beberapa tempat, kandidat terpilih meski bukan dicalonkan PDIP, tapi mereka juga anggota koalisi partainya PDIP. Jadi [pemenang pilkada] relatif lebih friendly kepada Pak Jokowi dibandingkan dengan kemungkinan lawannya,” tutur Philips.

Menurut Philips, banyaknya petahana yang kalah di Pilkada 2018 membuktikan efektifnya ajang pemilihan tahun ini. Sebab salah satu fungsi dan tujuan diadakannya pilkada, untuk mengevaluasi dan memberi hukuman kepada kepala daerah petahana yang bekerja tak maksimal.

Pendapat itu senada dengan Direktur Riset Populi Centre Usep S Ahyar. Menurut Ahyar, kekalahan petahana di sejumlah daerah justru menunjukkan sisi positif demokrasi Indonesia.

“Saya kira ini mekanisme yang baik, pilkada ini, untuk mengkritik petahana dan melakukan perubahan di wilayah-wilayah itu [...] Secara umum mungkin kinerja yang diketengahkan selama 5-10 tahun sebelumnya [oleh petahana] dinilai kurang bagus,” kata Ahyar.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih