Menuju konten utama

Mengapa Perpres TNI Tangani Terorisme Dianggap Bermasalah?

Ada sejumlah masalah dalam perpres TNI tangani terorisme. Salah satunya adalah memberikan kewenangan yang terlampau besar untuk tentara.

Pasukan Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) TNI mengikuti simulasi penanggulangan teror di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Selasa (9/4/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

tirto.id - Ada sejumlah potensi masalah dalam rancangan Peraturan Presiden tentang tugas TNI menangani terorisme. Salah satunya, menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, peran TNI akan tumpang tindih dengan instansi lain.

Peraturan ini dikirim oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke DPR RI pada 4 Mei lalu untuk dikonsultasikan.

"Akan rawan tumpang-tindih peran antara berbagai lembaga, seperti Polri, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Densus 88, dan lain-lain," kata Agus dalam diskusi virtual, Rabu (13/5/2020) lalu.

Hal ini mungkin terjadi karena dasarnya terorisme adalah "objek hukum pidana." Sebagaimana pidana lain, yang bertugas menanganinya adalah para penegak hukum seperti Polri. Sementara TNI, sedari awal dibentuk, tidak pernah didesain untuk menjalankan fungsi penegak hukum.

Tugas mereka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yaitu menjaga negara dari ancaman militer luar negeri.

Perpres ini cenderung melampaui kewenangan itu, juga kewenangan yang diatur dalam Undang-undang 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 7 memang menyebut bahwa salah satu tugas pokok TNI yang tergolong 'operasi militer selain perang' adalah "mengatasi aksi terorisme." Namun Agus menegaskan maksud dari peraturan itu adalah TNI hanya mendukung para penegak hukum, bukan jadi penegak hukum itu sendiri.

"Bukan pelibatannya, tapi pengerahan, inisiasi, cara penggunaan, dan dalam tugas apa TNI membantu polisi dalam merespons terorisme," terang Agus kepada reporter Tirto, Rabu (13/5/2020).

Di dalam draf perpres disebutkan lingkup tugas TNI dalam pemberantasan terorisme terdiri atas tiga aspek, yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Dalam aspek penangkalan, kewenangan TNI meliputi pemberdayaan masyarakat, kontra narasi dan kontra propaganda, dan intelejen. Kewenangan ini saja sudah berbenturan dengan instansi lain seperti BNPT.

Perpres tersebut juga menyebut TNI akan memiliki kewenangan penindakan. Mereka bisa bergerak jika teror misalnya menyasar presiden/wakil presiden beserta keluarga. TNI juga bisa bergerak ketika teror terjadi di kawasan zona ekonomi eksklusif; atau membahayakan ideologi negara, kedaulatan, dan keutuhan wilayah serta keselamatan segenap bangsa.

TNI berperan pula 'memulihkan' situasi pasca serangan teror, kewenangan yang juga merupakan urusan BNPT.

Agus mengatakan alih-alih perpres yang seperti ini, yang dibutukan sekarang adalah semacam "undang-undang perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil di masa damai." Di sana diatur "tata cara, prosedur, dan mekanisme untuk menggunakan TNI dalam rangka operasi perbantuan untuk pemerintahan sipil."

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi berpendapat perpres yang mengatur tugas TNI dalam menanggulangi terorisme itu memang diamanatkan oleh UU 5/2018. Namun tetap saja itu tidak boleh memberikan peluang bagi TNI masuk ke ruang penegakan hukum.

"Limitasi itulah yang justru tidak tampak jelas dan tegas dalam draf perpres tersebut," kata Khairul kepada reporter Tirto, Rabu (13/5/2020). "Tak ada indikator, parameter, atau apa pun sebutannya yang bisa menunjukkan jelas, kapan dan bagaimana TNI dapat dan harus melaksanakan tugas perbantuan."

Ia khawatir jika peraturan ini disahkan, "wajah pemberantasan teror lebih menakutkan daripada ancaman terornya sendiri."

Menihilkan DPR, Potensi Pelanggaran HAM

Masalah lain dari perpres ini adalah ia bertolak belakang dengan UU TNI, terutama terkait peran legislatif dalam pengerahan TNI, menurut Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar.

Dalam Pasal 17 dan 18 UU TNI, disebutkan bahwa sebelum dapat mengerahkan TNI, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR, kecuali "dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata."

"Sementara di dalam rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR," ucap Rivanlee kepada reporter Tirto.

Selain itu, karena memberikan mandat yang begitu luas bagi TNI, perpres ini juga potensial menimbulkan pelanggaran HAM baru, kata peneliti dari Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya.

"Pemerintah harus memperjelas keterlibatan militer dan kewenangan TNI dalam menanggulangi terorisme, sehingga dapat meminimalisasi potensi pelanggaran HAM saat implementasi," katanya.

Penanganan terorisme oleh Densus 88 saja masih kerap eksesif, kata Ari, maka bayangkan jika hal ini dilakukan oleh TNI, instansi yang dilatih untuk menghabisi musuh dan berperang, bukan menindak dan melanjutkan proses hukum di pengadilan. "Potensi pelanggaran HAM menjadi semakin besar," katanya.

Potensi masalah semakin besar karena TNI tidak terikat dengan sistem peradilan umum. Jika polisi melakukan penyimpangan prosedur, maka masyarakat dapat mengoreksinya dengan mekanisme yang sudah ada.

"Jadi bagaimana bisa memastikan tidak ada kemungkinan bagi TNI tak melampaui kewenangan atau bahkan di luar kewenangan?" Khairul memungkasi.

Anggota Komisi I DPR Willy Aditya mengatakan instansinya siap mengawasi TNI jika perpres ini disahkan.

"DPR melalui Komisi I juga akan mengawasi bagaimana nanti perpres ini diterjemahkan secara detail oleh peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Panglima TNI," jelas Willy kepada reporter Tirto. "DPR juga sudah punya tim khusus pelaksanaan pasal pengawasan penanggulangan terorisme."

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino
-->