Menuju konten utama

Mengapa Penganiaya Novel Baswedan Semestinya Dijerat UU Tipikor

Bukan hanya pasal tentang penganiayaan, pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan semestinya dijerat pula oleh UU Tipikor.

Mengapa Penganiaya Novel Baswedan Semestinya Dijerat UU Tipikor
Pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan dibawa petugas saat tiba di Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Sabtu (28/12/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Pasal yang dikenakan polisi terhadap RM dan RB, dua tersangka penyiraman air keras penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, bagi Alghiffari Aqsa, terlampau ringan. Semestinya keduanya dikenakan pasal yang lebih berat.

Dua tersangka ini, yang membuat mata kiri Novel rusak berat, dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan subsider Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Pasal 170 ayat 2 KUHP menyebut pelaku terancam hukuman penjara paling lama 7 tahun jika kekerasan menyebabkan luka, 9 tahun jika menyebabkan luka berat, dan 12 tahun jika menyebabkan kematian. Sementara Pasal 351 KUHP menyebut pelaku terancam penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda Rp450 ribu. Jika mengakibatkan luka berat, ancamannya jadi 5 tahun penjara.

"Tidak tepat karena pasal tersebut ancamannya ringan dan tidak sesuai dengan fakta hukum atau tindakan pelaku," kata Alghif, berstatus pengacara Novel, saat dihubungi Selasa (31/12/2019) siang.

Ancaman yang lebih sesuai, kata Alghif, adalah Pasal 352-353 KUHP tentang penganiayaan berencana yang memiliki ancaman hukuman maksimal 12 tahun.

Keduanya juga semestinya dijerat Pasal 21 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena terindikasi menghalangi penyidikan. Dalam pasal tersebut pelaku diancam kurungan maksimal 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp600 juta.

Alghif mengatakan semestinya KPK turun tangan membuka penyidikan atas pelanggaran pasal 21 itu.

Mantan direktur LBH Jakarta ini tahu kedua tersangka menyangkal keterlibatan pihak lain. RB, salah satu tersangka yang berstatus polisi aktif, mengaku melakukan itu atas inisiatif sendiri dengan dalih Novel pengkhianat.

Dia dan RM, juga polisi aktif, ditangkap Kamis (26/12/2019) lalu Depok, Jawa Barat.

Sebagai informasi, Novel adalah lulusan Akademi Polisi pada 1998. Dia pensiun dini pada 2014 lalu. Beberapa kasus korupsi di kepolisian yang diusut oleh Novel adalah proyek simulator SIM pada 2012 lalu; lelang pengadaan simulator; dan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan pada 2015 lalu.

Alghif enggan begitu saja mempercayai pernyataan bahwa tak ada siapa pun di balik dua tersangka itu. Novel dan kedua tersangka tidak saling mengenal, karenanya janggal jika RM dan RB bergerak sendiri, jelas Alghif.

Alghif semakin yakin alasan "dendam" terlalu mengada-ada karena berdekatan dengan waktu Novel diserang, KPK tengah menyidik perkara Buku Merah atau dugaan suap terkait izin impor daging oleh pengusaha Basuki Hariman.

Kapolda Metro Jaya saat itu, Tito Karnavian, disebut turut menerima kucuran uang haram dari Basuki--yang sudah dibantah oleh Tito, kini menjabat Menteri Dalam Negeri.

Novel memang tidak tergabung dalam satgas yang menangani kasus itu. Namun, Alghif menyebut, Novel pernah menyelamatkan seorang penyidik kasus tersebut yang hendak diserang.

Novel juga sempat bertemu Tito yang menjabat sebagai Kapolri pada 4 April 2017. Dalam pertemuan itu Novel mengklarifikasi dugaan adanya nama Tito sebagai penerima aliran dana dari Basuki Hariman.

Novel disiram air keras seminggu setelah pertemuan itu, tepatnya pada 11 April 2017.

"Karenanya perlu diungkap betul motif dan siapa yang menyuruh melakukan penyiraman sehingga jelas pasal yang dikenakan," kata Alghif.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun pernah menyinggung perkara pasal yang dikenakan terhadap tersangka. Menurut salah satu peneliti mereka, Wana Alamsyah, "kasus itu harus dilihat lebih komprehensif sehingga pasal yang dikenakan jauh lebih bijak."

Baginya apa yang terjadi kepada novel bukan semata penganiayaan karena "telah terjadi pengkondisian... ada prasyarat terlebih dahulu... sehingga konteks perencanaan pembunuhan harus didalami."

KPK Ogah

Desakan agar KPK mengusut dugaan merintangi penyidikan terkait kasus Novel telah mengemuka jauh sebelum penetapan dua tersangka. Desakan, misalnya, datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lewat rekomendasi yang dikirim ke KPK pada awal 2019.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai jika itu dilakukan, maka bisa jadi preseden positif untuk menangani teror ke personel KPK lainnya.

Alghif pun mengaku sudah menyampaikan permintaan ini langsung ke komisioner KPK era Agus Rahardjo cs. Namun ketika itu para komisioner enggak mengabulkannya dengan alasan menghargai polisi yang menangani kasus ini dari awal. Alghif semakin pesimistis hal itu akan dilakukan komisioner KPK yang baru terpilih--Firli Bahuri cs.

Kekhawatiran Alghif tampaknya akan jadi nyata. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengaku enggan membuka penyidikan baru karena menghargai kerja polisi. Menurutnya KPK hanya berwenang menyidik tindak pidana korupsi dan pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.

"Penyerangan terhadap siapa pun, baik warga biasa sampai pimpinan KPK, itu wilayah pidana umum, wewenang Polri," kata Ghufron.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar pun mengaku pimpinan tak pernah membicarakan penyidikan obstruction of justice terkait kasus Novel Baswedan. KPK menyerahkan seluruh penanganan perkara itu kepada polisi.

Alasan ini dikritisi pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar. Ia menilai sepanjang terdapat indikasi penyerangan Novel dilakukan agar dia tidak bisa melakukan tugas sebagai penyidik, maka KPK bisa membuka penyidikan obstruction of justice.

"Fakta yang sama bisa memenuhi unsur pasal yang berbeda, bergantung pada fakta yang menunjukkan motivasi," kata Ficar saat dihubungi Selasa (31/12/2019).

Baca juga artikel terkait KASUS NOVEL BASWEDAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino