Menuju konten utama

Mengapa Penculikan WNI oleh Kelompok Abu Sayyaf Terus Berulang?

Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah tengah mencari solusi jangka panjang dalam penyelesaian penculikan WNI oleh Kelompok Abu Sayyaf.

Mengapa Penculikan WNI oleh Kelompok Abu Sayyaf Terus Berulang?
Sejumlah prajurit membagikan foto anggota kelompok ekstremis Abu Sayyaf Isnilon Hapilon, yang bernilai USD 5 juta atas penangkapannya, di pos pemeriksaan Butig, Lanao del Sur, selatan Filipina, Rabu (1/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Marconi B. Navales/djo/17

tirto.id - Kasus penculikan warga negara Indonesia (WNI) oleh Kelompok Abu Sayyaf kembali terjadi. Usai pemerintah berhasil menyelamatkan 3 nelayan, kini 8 WNI yang dikabarkan hilang, Kamis (16/1/2020) di Perairan Tambisan, Sabah, 5 awak kapal di antaranya terkonfirmasi diculik.

Lagi-lagi pelakunya sama, yaitu Kelompok Abu Sayyaf. Sementara tiga awak kapal WNI lain dilepas, demikian keterangan tertulis dari Kementerian Luar Negeri yang diperoleh dari Plt. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI Judha Nugraha, Selasa (21/1/2020).

“Konfirmasi didapat ketika kapal ikan dengan nomor registrasi SSK 00543/F terlihat masuk kembali ke perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah dari arah Filipina pada 17 Januari 2020 pukul 21.10 waktu setempat,” kata Judha.

Saat ini, Kementerian Luar Negeri tengah berkomunikasi dengan Pemerintah Filipina untuk pembebasan WNI yang juga menyandera anak berumur 11 tahun itu. Kemenlu juga mengambil langkah antisipatif agar penculikan tidak terulang.

Salah satunya Kemenlu mengimbau agar nelayan asal Indonesia tidak melaut di daerah rawan melalui perwakilan RI di Kota Kinabalu dan Tawau karena situasi keamanan di perairan Sabah yang belum terjamin.

“Situasi keamanan di perairan Sabah tidak terjamin. Akan lebih aman dan selamat jika tidak melaut,” kata Judha.

Judha menambahkan, “Pemerintah RI juga mengimbau kepada calon pekerja migran Indonesia untuk berangkat ke luar negeri sesuai prosedur dan untuk saat ini tidak berangkat bekerja sebagai awak kapal yang beroperasi di wilayah perairan Sabah.”

Direktur Eksekutif ISESS Khairul Fahmi mengkritik kejadian penculikan WNI oleh Kelompok Abu Sayyaf yang berulang ini. Apalagi, kata dia, pemerintah tidak menunjukkan langkah konkret, tetapi masih dalam tataran narasi.

“Wacana, janji, dan rencana sudah banyak dibeberkan. Yang jadi pertanyaan adalah, ada apa dengan sekian banyak rencana itu? Apa kesulitan yang dihadapi untuk merealisasikannya? Atau jika itu memang sudah terealisasi, apa kendalanya sehingga tidak efektif dan cenderung gagal mencegah?” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (21/1/2020).

Fahmi menerangkan, Kelompok Abu Sayyaf saat ini bukan lagi sekadar gerombolan pengacau keamanan Filipina.

Menurut dia, kelompok ini sudah beoperasi di tiga negara sekaligus. Filipina sebagai basis, Malaysia sebagai area operasi, dan Indonesia sebagai negara yang warganya menjadi target operasi.

Kelompok ini juga beroperasi dengan modus yang berulang. Karena itu, Fahmi memandang pemerintah Indonesia harus menggelar pembicaraan trilateral secara serius dengan Malaysia dan Filipina.

“Sepanjang komitmen kerja sama keamanan perbatasan hanya formalitas saja, ya ancaman penculikan akan terus terbuka,” kata Fahmi.

Pernyataan Fahmi tentu cukup beralasan. Sebab, WNI yang menjadi korban penculikan Kelompok Abu Sayyaf sudah puluhan orang. Pada 2016, berdasarkan hasil penelusuran Tirto, ada kurang lebih 53 kasus penculikan WNI di perairan laut oleh kelompok radikal bersenjata.

Kelompok militan Abu Sayaf Filipina menjadi pelaku yang paling sering melakukan penculikan. Setidaknya ada 5 kali penculikan dengan jumlah korban penculikan sebanyak 27 orang.

Pada 20 Juni 2016 misal, kelompok Abu Sayaf beraksi di Laut Sulu, Filipina, dan menculik 13 orang anak buah kapal WNI. Penyandera menahan 7 ABK dan melepaskan 6 ABK lainnya.

Bertepatan dengan 17 Agustus 2016, 2 dari 7 WNI yang disandera berhasil meloloskan diri. Lalu akhirnya pada 7 Oktober 2016, 3 WNI yang disandera berhasil dipulangkan di bawah Kementerian Koordinator Polhukam.

Dari kasus-kasus penculikan lain, rata-rata WNI yang diculik bisa diselamatkan dan kembali pulang ke tanah air. Jalan penyelesainnya pun macam-macam. Seringkali pemerintah Indonesia mengedepankan negosiasi, pertemuan trilateral, maupun memakai uang tebusan.

Kala itu, Menlu Retno Marsudi pun mendesak perusahaan tempat para WNI bekerja juga harus turut terlibat dalam upaya pembebasan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keselamatan pekerja dan tidak main-main dengan keselamatan nyawa WNI. Persoalan penculikan ini memang sudah menjadi fokus tiga negara tetangga di ASEAN.

Fahmi menilai imbauan pemerintah sudah cukup baik. Namun, ia memandang langkah tersebut bisa mengganggu WNI yang mencari nafkah dengan menjadi pelaut.

Menurut Fahmi, perlu juga menekan pemerintah Malaysia untuk menerbitkan imbauan hingga larangan berlayar agar tidak ada korban lanjutan di perairan Malaysia.

Pemerintah perlu juga mengevaluasi kesepakatan trilateral kawasan, kata Fahmi. Evaluasi ini penting untuk melihat efektivitas dan pencapaian dalam pencegahan penculikan. Pemerintah juga harus melihat apakah ada kendala dan mencari solusi komprehensif.

Selain itu, kata Fahmi, pemerintah perlu mendukung Filipina dalam penyelesaian konflik Abu Sayyaf sebagai sumber masalah penculikan WNI selama ini.

“Terakhir, menyiapkan skema domestik baik terkait keamanan laut, perlindungan warga negara, maupun soal pemberdayaan nelayan. Kan, konyol juga jika kita melihat perairan kita dijarah asing, sedangkan nelayan kita malah bertaruh nyawa dengan melaut di perairan negara lain,” kata Fahmi.

Sementara itu, pemerhati militer dari LESPERSSI Beni Sukadis berpendapat, persoalan penculikan WNI yang berulang bisa ditangani. Pertama, dalam pandangan Beni, pemerintah perlu mengevaluasi pengamanan laut Indonesia di daerah Selat Sulawesi.

“Artinya ada kelemahan dalam pengamanan wilayah laut oleh aparat keamanan, dan kedua apakah kerja sama keamanan di antara Filipina-RI sudah berjalan efektif?” kata Beni saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (21/1/2020).

Beni juga melihat kalau Filipina belum mampu menangani masalah domestik yakni menangani kelompok Abu Sayyaf.

Menurut Beni, pemerintah masih belum kuat dalam mengkoordinasikan pencegahan penculikan. Saat ini, pemerintah sudah punya lembaga seperti BIN, Bakamla dan TNI. Akan tetapi, koordinasi lebih spesifik perlu lebih dilanjutkan.

Ia mencontohkan seperti kelanjutan program Our Eyes yang digawangi oleh Ryamizard Ryacudu saat menjabat menteri pertahanan Kabinet Kerja Jokowi-JK dalam ADMM 2018.

Pemerintah Masih Cari Formula

Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah tengah mencari solusi jangka panjang dalam penyelesaian penculikan WNI oleh Abu Sayyaf. Ia menyebut, pihaknya tidak hanya ingin menyelamatkan 5 WNI, tetapi juga menghentikan aksi penculikan secara jangka panjang.

“Kami ingin menyelesaikan, bukan sekadar yang 5 itu karena sudah terjadi berkali-kali, kan? Nanti yang 5 selesai, capek kita ada lagi, ada lagi,” kata Mahfud di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (21/1/2020).

Mahfud MD belum bisa mencontohkan langkah konkret pemerintah dalam penyelesaian penculikan. Ia beralasan, pemerintah masih menggodok cara yang tepat.

Namun, dalam kasus penculikan, kata Mahfud, pemerintah tetap mengerahkan tim untuk mengintai kelompok Abu Sayyaf. Kemenlu juga terus melakukan komunikasi intensif dengan Malaysia dan Filipina untuk menyelesaikan masalah Abu Sayyaf.

Mahfud mengatakan, pemerintah terus mengevaluasi metode yang tepat dalam penyelesaian penculikan yang terus berulang.

Mahfud membuka peluang pemerintah akan menggelar patroli untuk mencegah penculikan berulang. “Mungkin ada operasi bersama, mungkin patroli bersama, ada penyergapan bersama bisa macam-macam lah itu.”

Baca juga artikel terkait KELOMPOK ABU SAYYAF atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz