Menuju konten utama

Mengapa Pelecehan Seksual di Kereta Terjadi?

Perkara pelecehan seksual bukan sekadar seputar berahi belaka. 

Mengapa Pelecehan Seksual di Kereta Terjadi?
Sejumlah penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line antre saat akan keluar dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta. ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna

tirto.id - Kasus pelecehan seksual di transportasi umum kembali bertambah. Jumat (8/12) lalu, seorang laki-laki diberitakan melecehkan perempuan yang tengah berada di gerbong campur KRL Commuter Line jurusan Jakarta Kota-Bekasi pada jam pulang kerja. Seorang penumpang yang berada di sekitar pelaku lantas mendokumentasikan kejadian tersebut lewat video di media sosial.

Adalah Nur Aina Putri yang membeberkan kisah ini di grup Facebook KRL Mania. Di dalam video yang diunggahnya, tampak beberapa penumpang memarahi seorang laki-laki yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual. Pasalnya, ritsleting celana laki-laki kedapatan dalam keadaan terbuka dan posisi dia berada di belakang seorang perempuan. Kondisi gerbong campur saat itu tengah padat.

Penumpang perempuan lainnya lantas memanggil petugas keamanan untuk segera mengamankan laki-laki itu. Akibat kejadian tersebut, si terduga pelaku lantas didesak sejumlah penumpang untuk turun dari KRL di stasiun terdekat.

Di samping KRL, moda transportasi publik lainnya pun beberapa kali diwartakan menjadi tempat kejadian pelecehan seksual. Septiana (28), seorang pegawai swasta yang berkantor di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, misalnya, pernah mengalami kejadian ini di TransJakarta beberapa tahun lalu. Ia sedang dalam perjalanan ke kantor saat dirinya secara tak sadar menerima pelecehan seksual. Seperti lazimnya kondisi transportasi publik di Ibukota pada pagi hari, Transjakarta yang Ana tumpangi penuh sesak.

“Saya naik busway dari Kuningan Barat, desak-desakan di dalam. Walaupun sudah ambil tempat di bagian perempuan, saya masih terdesak oleh laki-laki yang berdiri di dekat bagian perbatasan kursi perempuan dan campur. Nah, di halte GOR Soemantri, banyak penumpang yang turun. Saya baru dapat cukup space untuk bersandar di dekat pintu. Di situ saya baru ngeh kalau bagian bawah baju dan celana saya basah. Pas saya pegang, saya tahu kalau itu sperma yang mengenai daerah pinggang saya,” jabar Septiana kepada Tirto.

Segera setelah menyadari hal ini, Septiana shock dan menangis di dalam TransJakarta. Cukup lama ia mengalami trauma sampai enggan menumpangi transportasi publik itu lagi. Ia lebih memilih naik ojek atau membawa motor sendiri untuk menghindari kasus serupa.

Baca juga: Jakarta Masuk 10 Kota Paling Tak Aman bagi Perempuan

Aspek Sosio-Psikologi Pelaku Pelecehan Seksual

Anggapan umum melihat pelecehan-pelecehan seksual yang menimpa perempuan diakibatkan oleh para pelaku yang tidak bisa menahan nafsunya. Perkara seks menjadi titik berat perhatian mereka. Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Spektrum kasus pelecehan seksual lebih luas dibanding yang orang-orang kira.

Pertama, masalah cara memandang posisi gender dalam masyarakat. Bukan hal yang langka ditemukan cara pikir bahwa laki-laki superior atas perempuan. Mereka yang mengamini hal ini percaya bahwa laki-laki lebih kuat secara fisik dan emosi daripada perempuan. Karena merasa dominan, para pelaku pelecehan seksual merasa tidak ada yang salah dengan perbuatannya, apalagi jika didukung oleh lingkungan pergaulan yang kerap melakukan hal serupa.

Tak perlu jauh-jauh sampai aktivitas seksual, perkara mengerling, menggoda secara verbal, atau melontarkan lelucon porno kepada korban pun menjadi hal-hal dalam keseharian yang sering kali dinormalisasi para pelaku pelecehan seksual. Bahkan, bagi sebagian pelaku pelecehan seksual, aktivitas yang mereka lakukan terhadap korban tidak lebih dari bersenang-senang atau mengatasi kebosanan.

Lebih lanjut, karena adanya normalisasi pelecehan seksual, pelaku cenderung menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya seperti menggunakan alasan pakaian yang dikenakan korban atau gestur-gestur korban yang dianggap sugestif secara seksual, padahal tidak demikian maksud korban. Dari kacamata psikologi, hal ini tergolong bentuk mekanisme perlindungan diri dengan cara menghindari penyalahan atas perilaku pelaku.

Normalisasi atau penyalahan perempuan yang dilecehkan ini dapat disokong oleh orang dari kalangan apa pun yang berpegang pada budaya patriarki. Di Mesir, pengacara konservatif Nabih al-Wahsh, sempat mengatakan bahwa perempuan yang memakai jeans sobek patut mendapat kekerasan seksual.

“…Adalah hal patriotik untuk melecehkannya [perempuan yang memakai jeans sobek] dan kewajiban bangsa untuk memperkosanya,” ujar al-Wahsh seperti dikutip dari BBC. Atas pernyataannya ini, al-Wahsh dituntut sanksi tiga bulan penjara dan denda sekitar 839 poundsterling.

Pelecehan seksual juga bisa terjadi lantaran pelaku mengalami tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar sebelumnya. Dalam perkembangannya, tekanan tersebut mendorong mereka untuk menumpahkan emosinya dengan cara melakukan tindakan agresif. Tekanan-tekanan ini dapat bersumber dari permasalahan komunikasi dengan orang lain, isolasi sosial, atau problem pada relasi intim pelaku. Pelaku juga bisa saja pernah mengalami perlakuan buruk dari keluarga atau orang-orang terdekatnya.

Dilansir Egyptian Streets, pembuatan pemisahan gerbong untuk perempuan dan campur dapat menimbulkan efek samping terhadap cara pikir sejumlah laki-laki. Memang benar, affirmative action yang dilakukan dengan cara membuat ruang khusus perempuan bertujuan untuk melindungi perempuan dari tindakan tidak menyenangkan.

Namun menurut Rebecca Chiao, penggagas Harassmap—organisasi nirlaba yang menyuarakan kampanye anti pelecehan seksual di Mesir—segregasi gerbong ini bisa menciptakan atmosfer di mana laki-laki percaya bahwa perempuan yang memilih gerbong campur memang ingin dilecehkan.

Baca juga: “Saya Pun Mengalami Pelecehan Seksual” #MeToo

Infografik pelecehan seksual di jalan

Pelaku pelecehan seksual mengetahui bahwa yang aksinya adalah perbuatan ilegal, tetapi mereka tetap saja melakukan hal tersebut. Ini dikarenakan adanya distorsi kognitif di benak pelaku. Mereka berpikir bahwa ada justifikasi-justifikasi atas perbuatan mereka. Selain berpikir bahwa korban memang ingin dilecehkan, pelaku juga beranggapan bahwa perempuan memang sepantasnya diperlakukan seperti itu, demikian ditulis di situs Center for Sex Offender Management.

Sementara menurut Ellen Hendriksen, Ph.D., psikolog klinis di Boston University's Center for Anxiety and Related Disorders (CARD), ada karakteristik yang dinamakan the dark triad dalam diri pelaku pelecehan seksual. Ditulisnya di Psychology Today, the dark triad ini mencakup narsisisme, karakter psikopat, dan Machiavellianism.

Karakter Machiavellianism terkait dengan upaya seseorang untuk memanipulasi, membohongi, dan mengeksploitasi orang lain dalam rangka meraih golnya. Sedangkan karakter narsisis pada diri pelaku pelecehan seksual terkait dengan kecenderungannya untuk terus mengejar pengakuan bahwa mereka berkuasa atau minta diperhatikan orang-orang sekitarnya. Karakteristik psikopat sendiri akan membuat pelaku merasa tidak takut saat mendominasi korban dan melakukan tindakan-tindakan agresif yang impulsif. Dalam karakteristik ini pula ditemukan minimnya empati terhadap korban.

Tidak semua orang punya kemampuan baik dalam mengendalikan hasrat, emosi, dan perilakunya. Faktor kurangnya pengendalian diri ini menjadi alasan psikologis lain yang mendorong aksi melecehkan oleh pelaku. Saat aksi impulsif terjadi, di kepala pelaku tidak terlintas tentang konsekuensi-konsekuensi jangka panjang yang mungkin ia terima.

Baca juga: Cara-Cara Perempuan Melawan Pelecehan di Jalan

Kendati tidak semua pelaku pelecehan seksual mempunyai masalah gangguan mental, ada kemungkinan sebagian pelaku memiliki kecenderungan ekshibisionisme—menampilkan alat vital atau aktivitas seksual kepada orang asing. Ekshibisionisme ini merupakan parafilia yang terjadi secara berulang kali, didasari oleh fantasi-fantasi seks tertentu, dan bisa dikenakan pada orang dewasa atau anak-anak.

Kepuasan seorang ekshibisionis bukan terletak pada aktivitas seksualnya itu sendiri, melainkan pada tindakan menunjukkan kelamin atau masturbasi di depan orang yang tidak mengharapkannya, demikian pendapat James Cantor, associate professor di Toronto Sexuality Centre dalam CNN.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani