Menuju konten utama

Mengapa Pakai Genose untuk Menyaring Pelaku Perjalanan Tak Tepat?

Genose dipakai untuk mengetes populasi luas. Beberapa pakar kesehatan menilai itu hanya akan memperparah tes yang salah sasaran.

Mengapa Pakai Genose untuk Menyaring Pelaku Perjalanan Tak Tepat?
Petugas menunjukkan alat tes cepat Covid-19 melalui embusan nafas yang diberi nama GeNose hasil inovasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta di RSUP Dr. Sardjito, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (26/10/2020). /ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj./

tirto.id - Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menggunakan alat pendeteksi COVID-19 bikinan Universitas Gadjah Mada, Genose, di terminal bus dan stasiun. Rencana ini telah mengantongi restu Satgas Penanganan COVID-19 melalui Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2021.

Bagi beberapa ahli, rencana ini hanya akan memperpanjang masalah klasik, yakni tes salah sasaran.

“Bila ditambah lagi Genose, ini hanya akan menambah kekhawatiran Menteri Kesehatan, di mana sasaran penanganan dan pengetesan tidak tepat sasaran dan tidak efektif,” kata anggota Dewan Pakar Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra kepada reporter Tirto, Rabu (27/1/2021).

Genose adalah hasil penelitian yang dilakukan UGM dan didanai oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dana Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Alat ini mendeteksi partikel khas dari embusan nafas menggunakan kecerdasan buatan. Diklaim akurasinya mencapai 97 persen.

Walau akurasinya tampak tinggi, Hermawan mengingatkan bahwa alat itu baru efektif jika yang dites memenuhi sejumlah syarat, salah satunya tidak merokok atau mengonsumsi panganan berbau menyengat beberapa waktu sebelumnya. Jika dipakai untuk screening populasi luas, hampir bisa dipastikan akan ada banyak hasil yang keliru karena pasti tidak semua orang memenuhi syarat itu.

Selain itu, Hermawan khawatir alat ini justru menjadi alasan masyarakat tidak ragu-ragu bepergian ke luar kota dan menularkan atau ditularkan COVID-19 di daerah tujuan, padahal yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi adalah pembatasan mobilitas. “Dari perspektif kesmas (kesehatan masyarakat), problem kita bukan pada alat screening atau prasyarat mobilitas, tapi [longgar dalam hal] membatasi mobilitas. Jadi kalau bisa jangan sampai ada excuse seolah-olah dengan alat ini orang bebas ke mana-mana,” katanya.

Merujuk pada registri studi peneliti Genose, NIHR Felow dari Department of Biostatistics and Health Informatics King’s Colege London Ihsan Fadilah menjelaskan desain penelitian Genose untuk penapisan COVID-19 di komunitas tidak representatif. Jika tujuannya untuk penapisan, seharusnya yang menjadi subjek penelitian adalah kontak erat atau suspek COVID-19 di masyarakat, sementara dalam fase 1 penelitian (machine learning model development) peneliti menggunakan 43 subjek positif COVID-19 dan 40 subjek negatif COVID-19 dari Rumah Sakit Bhayangkara dan RSLKC Bambalipuro Yogyakarta.

“Jika ditujukan untuk penapisan orang-orang tanpa gejala dan risiko infeksi rendah seperti di fasilitas umum, maka subjek penelitian semestinya mencerminkan realita ini untuk mengurangi bias seleksi partisipan,” kata Ihsan kepada reporter Tirto. “Jauh dari populasi target, hanya sejumlah sampel kecil, diduplikat, dan subjek dari rumah sakit bukan dari komunitas.”

Penelitian juga menggunakan 333 sampel dari subjek positif COVID-19 dan 282 sampel dari subjek negatif COVID-19. Ihsan menyadari jumlahnya memang dibuat hampir setara untuk menghindari class imbalance yang bepotensi membuat hasil analisis bias dan tidak optimal. Namun, di lapangan, pasti akan ada class imbalance karena pasien yang dites positif pasti lebih rendah dibanding yang negatif.

Sementara pada penelitian fase 2 (external validation/uji diagnostik/uji klinik) sampelnya adalah pasien suspek COVID-19 yang datang ke fasilitas rawat jalan rumah sakit. Lagi-lagi tidak representatif jika hendak digunakan untuk masyarakat luas karena di luar sana prevalensi COVID-19 lebih rendah sehingga class imbalance semakin dalam dan akibatnya positive predictive value jadi lebih rendah.

“Jadi Genose ini model machine learning-nya sudah tidak dilatih di sampel yang sesuai realitas, divalidasi di sampel yang tidak sesuai tujuan juga. Bias,” Ihsan menyimpulkan.

Karenanya, berdasarkan desain penelitian yang digunakan dan jika peformanya cukup baik di penelitian fase 2, Ihsan menyarankan Genoce diaplikasikan hanya pada pasien suspek di rumah sakit atau pasien rawat jalan, bukan komunitas.

Selain itu, karena Kemenkes sudah merestui izin penggunaan Genose dan Satgas COVID-19 pun sudah mengizinkan penggunaannya di terminal dan stasiun, semestinya temuan riset secara rinci dipublikasikan di jurnal ilmiah. Fadil mengatakan itu penting karena upaya penapisan dan diagnostik juga erat kaitannya dengan pertimbangan risiko dan manfaat.

Baca juga artikel terkait GENOSE UGM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino