Menuju konten utama

Mengapa Orangtua Kerap Menganggap Anak Muda Bodoh?

Perbedaan waktu lahir, cara pandang hidup, dan globalisasi adalah beberapa faktor yang membuat fenomena "perisakan" orangtua kepada anak-anak muda, dan begitu juga sebaliknya, marak terjadi.

Mengapa Orangtua Kerap Menganggap Anak Muda Bodoh?
Ilustrasi gap generasi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Lihat itu anak-anak muda zaman sekarang. Kerjaannya nunduk terus. Ora gelem nyawang ngarep (tidak mau melihat depan). Apa, sih, yang mereka lakukan?”

Saya masih ingat betul perkataan kakek beberapa tahun silam tatkala kami berkeliling kota Solo dengan Honda Astrea butut miliknya. Di sore yang cerah itu, ia mempertanyakan kelakuan anak masa kini—atau biasa disebut-sebut anak zaman now—yang menurutnya “asyik dengan dunianya sendiri” dan kelewat “dimanjakan teknologi.”

“Banyak yang akhirnya ora tanggap karo (tidak peka dengan) lingkungan sekitar,” gerutunya.

Saat mendengar keluhannya, saya tak buru-buru menanggapi. Lebih-lebih membantahnya dan mengajak adu argumen. Bukannya apa-apa; saya takut kualat. Saya diam sejenak seraya memproses lapis demi lapis perkataannya.

Sepanjang jalan pulang, tak bisa dipungkiri, pikiran saya dipenuhi dengan satu pertanyaan: apakah benar demikian generasi tua seperti kakek saya menganggap anak-anak muda sedemikian rupa?

Pertarungan Lama

Dalam budaya populer, perkara tua versus muda amat sering dibahas di banyak buku, film, maupun lagu. Ambil contoh paling populer di Indonesia, yang mengambil sudut pandang anak muda, yakni lagu "Bongkar" dari grup Swami. Lirik di bagian akhir memperlihatkan bagaimana rumah gagal menjadi tempat yang seharusnya penuh cinta dan si anak muda memilih menyandarkan cita-citanya di jalanan.

Orang tua pandanglah kami sebagai manusia

Kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta

Kegelisahan seperti itu dirasakan oleh banyak anak muda. Miftah (23), adalah salah satunya. Mahasiswa jurusan Komunikasi di salah satu kampus swasta di Senayan ini suatu ketika bertemu dengan pamannya yang berusia 64 tahun. Topik obrolannya macam-macam; dari soal Jokowi-Prabowo hingga skripsi.

“Gue sebetulnya ga terlalu tertarik dengan forum seperti itu. Biasalah, lo pasti tau, kan, kalo obrolan semacam itu ujung-ujungnya jadi ajang penghakiman,” terangnya kepada Tirto.

Dugaan Miftah tak luput. Tak lama setelah pamannya menggebu-gebu berbicara tentang program Nawacita Jokowi, ia langsung mengalihkan topik ke perkara yang kerap dihadapi mahasiswa seumurannya. Kata Miftah, mengingat ucapan pamannya, “Anak zaman sekarang cenderung tak bisa menabung. Inginnya beli ini dan itu.”

“Dalam hati gue langsung bilang, ‘Kampret juga ini omongan paman gue,’” ujarnya tertawa lepas.

Apa yang terjadi dalam cerita di atas adalah gambaran bagaimana generasi tua acapkali merisak generasi yang lebih muda dengan berbagai asumsi. Generasi The Lost Generation mengejek Baby Boomers sebagai generasi lembek yang membuang waktu untuk hal sia-sia seperti drugs. Baby Boomers mengejek generasi X sebagai generasi muram. Begitu selanjutnya, hingga sekarang generasi Z yang diejek dengan berbagai macam sebutan: bodoh, suka foya-foya, terlalu bergantung pada teknologi, tak peka lingkungan sekitar, hingga dirasa tak punya rencana jelas untuk masa depan.

Singkat kata, generasi muda adalah pecundang di hadapan para orangtua dan fenomena yang akrab disebut gap generasi ini bukanlah perkara yang muncul kemarin sore.

Tak percaya?

Amanda Ruggeri dalam artikelnya berjudul “People Have Always Whinged About Young Adults. Here’s Proof” yang terbit di BBC pada Oktober 2017 menjelaskan bahwa tradisi merisak generasi muda yang dilakukan generasi tua telah muncul sejak zaman baheula atau dengan kata lain era Sebelum Masehi.

Aristoteles, misalnya, dalam Rhetoric—risalah Yunani kuno tentang seni persuasi—yang keluar pada 4 SM menyebut bahwa anak-anak muda “merasa tahu tentang segalanya dan selalu yakin dengan perasaan itu.” Masih dalam risalah yang sama, Aristoteles mengatakan anak-anak muda juga menganggap pikiran mereka begitu adiluhung kendati tak punya pengalaman hidup.

Selain Aristoteles, yang juga mencela anak-anak muda ialah penyair terkenal era Kekaisaran Romawi, Horatius. Pada abad 1 SM, ia pernah berkata bahwa anak-anak muda—yang menurutnya berjenggot—tidak bisa meramalkan hal-hal yang berguna serta gemar menyia-nyiakan uang.

Infografik Generasi Tua vs Muda

Membahas tentang perseteruan generasi tua dan muda tak lengkap rasanya jika absen menyebut situasi di Abang Sam. Di negara ini, perkara saling serang generasi muda-tua dirayakan secara gempita; dijadikan bahan pemberitaan media massa sampai membelah kubu ke dua spektrum politik yang bertolak belakang.

Artikel The Atlantic berjudul “Every Every Every Generation Has Been the Me Me Me Generation” membeberkan banyak kasus. Pada 1984, misalnya, Wall Street Journal, lewat “Not Ready for Middle Age at 35” menulis bahwa mereka yang berusia 35 tahun, berkeluarga dan punya anak, lebih memilih berada di zona nyaman alih-alih mencari tantangan.

Setahun kemudian, Newsweek, lewat “The Video Generation,” mengatakan bahwa hadirnya alat perekam gambar (VHS) membuat anak-anak muda menjadi narsis dan merasa harus mendokumentasikan tiap kejadian yang berkaitan dengan dirinya maupun dunia luar. Pada 1995, Financial Times, dalam “Meet Generation X,” menerangkan bahwa anak-anak muda secara khusus menghindari “pekerjaan tingkat rendah yang tidak membuat mereka tertantang secara intelektual.”

TIME edisi “Proceeding with Caution” yang rilis pada 2001 tak kalah sadis meledek anak-anak muda. Mereka menulis bahwa anak-anak muda lebih sulit membuat keputusan dan cenderung memilih mendaki Himalaya dibanding karier di perusahaan. (Dahsyat, bukan?)

Masalah “rivalitas” di AS tersebut, rupanya merembet pula sampai urusan politik. David Leonhardt dalam “Old vs. Young” yang dipublikasikan The New York Times pada 2012 mengatakan, sepanjang 1980-1990-an, generasi muda dan tua cenderung punya sikap politis yang sama: mendukung calon presiden yang kemungkinan menangnya lebih besar.

Namun, memasuki 2000-an, catat Leonhardt, perbedaan mulai muncul. Pemilih dari generasi tua cenderung bergerak ke kanan (Republik) sementara pemilih yang lebih muda bergeser ke kiri. Tren ini berlangsung sampai Pilpres 2012 ketika jajak pendapat memprediksi Mitt Romney bakal mendulang banyak suara di kalangan 65 tahun ke atas dan Barack Obama akan meraih banyak suara di kalangan 40 tahun ke bawah.

Hasil riset Pew Research Center pada 2016 juga menunjukkan gambaran serupa. Kelompok muda (diwakili Generasi Millenial dan Generasi X) cenderung memilih Demokrat (sekitar 21% dan 27%). Sebaliknya, kelompok tua (diwakili Generasi Baby Boomer dan Silents) adalah rombongan Republik (31 % dan 36%).

Di luar politik, kedua kelompok ini juga mempunyai pandangan berbeda terhadap cukup banyak hal. Generasi muda mendukung pernikahan sesama jenis, terbuka dengan imigran, mendorong penanggulangan pemanasan global. Sedangkan kelompok tua cenderung berkebalikan dari narasi-narasi yang digaungkan anak-anak muda.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Dalam “The Generation Gap Is Deep: Here’s How We Bridget It” yang diterbitkan The Guardian, Alex Smith menjelaskan ontran-ontran generasi tua dan muda ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, era kelahiran yang menentukan bagaimana pola pikir masing-masing generasi terbentuk. Kedua, perasaan teralienasi dari lingkungan. Ketiga, globalisasi. Keempat, digitalisasi. Kelima, jurang pendapatan.

Dengan segala faktor tersebut, tak heran jika pada akhirnya dua generasi ini berada dalam situasi yang “panas”: perbedaan prinsip, perdebatan mengenai hal-hal mendasar soal hidup, serta adu klaim tentang kehebatan masing-masing generasi. Kedua pihak terkesan tak ingin mengalah dan kukuh pada sikapnya. Generasi tua meminta anak-anak muda menjalani hidup dengan tak neko-neko. Sedangkan anak-anak muda, ingin orangtua terbuka pikirannya dan tak kolot dalam memandang suatu hal.

Lantas, apakah tidak ada jalan guna mengurai benang kusut yang membelit kedua generasi ini? Tentu saja ada. Kompromi, terbuka dengan segala kritik dan masukan, serta tidak mengedepankan ego masing-masing merupakan tiga hal yang bisa ditempuh agar kondisi saling "risak" ini tak terus-terusan terjadi. Karena, toh, pada akhirnya, kedua pihak punya tujuan yang sama: hidup dengan baik dan layak.

Baca juga artikel terkait MILLENIAL atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono