Menuju konten utama

Mengapa Negara Besar Berebut Pulau Kecil nan Tandus?

Ini soal harga diri negara, yang sebagian besar berlangsung serius, tapi ada juga yang dibumbui canda tawa.

Mengapa Negara Besar Berebut Pulau Kecil nan Tandus?
Ilustrasi pulau kecil. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Perselisihan dua negara akibat persoalan teritorial bisa berujung pada perang dan derita yang memilukan. Tapi tidak untuk Kanada dan Denmark. Saat keduanya berebut Pulau Hans, menurut laporan New York Times, sengketa yang berjalan justru penuh canda. Tanpa perlu angkat senjata, cukup bermodal selembar bendera dan sebotol minuman keras.

Luas Pulau Hans hanya 1,3 kilometer persegi. Konturnya bebatuan dan tandus. Letaknya di tengah Kanal Kennedy di Selat Nares, selat yang memisahkan Pulau Ellesmere dengan Greenland bagian utara serta menghubungkan Teluk Baffin dengan Laut Lincoln. Lebar selat sekitar 35 kilometer dan menempatkan Pulau Hans di antara perairan teritorial Kanada dan Denmark (Greenland kawasan otonomi di bawah kekuasaan Kerajaan Denmark). Kedua negara menetapkan batas negara di sepanjang selat pada 1973, tetapi tak pernah sepakat soal Pulau Hans.

Persaingan humoris bermula pada tahun 1984 ketika tentara Kanada mengunjungi Pulau Hans, menancapkan tiang bendera nasional Kanada, dan meninggalkan sebotol wiski Kanada. Denmark tak tinggal diam. Menteri urusan Greenland lalu melawat ke pulau tersebut, mengganti benderanya menjadi bendera Denmark, meninggalkan sebotol minuman keras jenis schnapps Denmark dan catatan kecil bertuliskan “Selamat datang di pulau milik Denmark.” Tradisi ini berlanjut secara periodik hingga berdekade-dekade selanjutnya.

Wilayah laut Arktik memang telah lama menjadi objek perselisihan. Mereka yang terlibat antara lain Kanada, Denmark, Islandia, Rusia, dan Norwegia yang menganggap wilayah laut Arktit sebagai bagian dari “perairan nasional” negara-negara tersebut. Amerika Serikat dan sebagian besar negara Uni Eropa, di sisi lain, secara resmi menetapkan bahwa wilayah tersebut sebagai perairan internasional.

Sejak tahun 2000-an media massa internasional ramai memberitakan status Pulau Hans. Beragam pernyataan maupun reaksi yang muncul membuat hubungan Kanada dan Denmark agak memanas. Pada Juli 2005, misalnya, Menteri Keamanan Kanada Bill Graham mengunjungi Pulau Hans. Lima hari setelahnya kepala kantor Hukum Internasional di Kementerian Luar Negeri Denmark Peter Takso-Jensen menegaskan bahwa Pulau Hans adalah bagian dari teritori Denmark.

Status Pulau Hans masih abu-abu hingga kini. Untungnya, kedua negara tak reaksioner. Mereka lebih memilih untuk “Perang Google”, yakni persaingan memperbanyak ulasan tentang Pulau Hans di mesin pencari Google sebagai milik negara Kanada atau milik Denmark. Rata-rata ulasan dihasilkan dari orang-orang sipil di kedua negara yang nasionalis. Banyak juga yang motivasinya uang, alias dibikin oleh agen perjalanan wisata untuk menarik para wisatawan berkunjung ke pulau tersebut.

Baca juga: Kisah Sedih Penjajahan Amerika Serikat di Hawaii

Jika Kanada bisa membangun perselisihan cair dengan Denmark, kondisi yang serupa tak terjadi dalam perselisihan dengan Amerika Serikat atas Pulau North Rock dan Machias Seal. Kedua pulau memang berada di perbatasan kedua negara. Kanada mengklaimnya masuk di Provinsi New Brunswick, sementara AS mengklaimnya masuk ke Provinsi Maine. Maka siapapun yang lahir di kedua pulau tersebut bisa mengajukan kewarganegaraan ganda.

Kanada mempertahankan klaim melalui kunjungan rutin ke mercusuarnya. Si penjaga mercusuar juga membangun keluarga kecilnya di pulau tersebut dan biaya hidupnya disuplai pemerintah Kanada dari Pulau Grand Manan atau St. John. Sementara itu kunjungan dari AS lebih terbatas, dan terkadang turis dibawa keliling pulau untuk melihat burung-burung khas pulau. Kini kedua pulau masih disengketakan dan digolongkan sebagai “Zona Abu-Abu”.

Pulau Miginggo juga masuk persengketaan, yakni antara Kenya dan Uganda. Pulau Migingo memiliki luas hanya 2.000 meter persegi. Letaknya di pinggiran Danau Victoria, danau yang menjadi batas teritorial perairan antara dua negara tersebut, sehingga status pulau diperebutkan. Aksi main klaim memanas terutama pada tahun 2008-2009.

Pulau Miginggo dihuni oleh 130 orang, menurut sensus tahun 2009, dan jumlahnya kini diperkirakan sudah bertambah. Kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan pedagang ikan. Konturnya lebih banyak bebatuan dengan sedikit tumbuhan.

Pulau ini tak begitu terlihat di peta sampai abad 21 ketika permukaan air danau turun drastis dan membuat daratannya makin luas serta dihuni lebih banyak orang. Sempat ada perundingan pada 2009, namun tak mencapai kesepakatan. Hingga hari ini, kondisinya masih tak jelas, tapi nelayan kedua negara dibebaskan mencari ikan di sekitar pulau.

Baca juga: Kisah Pulau Hukuman dan Aib Hamil di Luar Nikah

infografik rela bagi bagi

Jonathan Eyal, direktur studi keamanan internasional di Royal United Services Institute atau RUSI, berkata pada BBC Future bahwa alasan suatu negara ngotot mengklaim pulau kecil nan tandus sebagai bagian dari teritorinya bukan sekadar penguasaan sumber daya alam. Hukum internasional bekerja sesuai preseden. Jadi, mengakui sebuah wilayah, meskipun kecil dan tandus, adalah strategi untuk menghindari konsekuensi yang tak diinginkan di masa depan. Hal ini berkaitan dengan kedigdayaan sebuah negara atas pertahanan teritorinya.

“Jika Amerika Serikat menyerahkan pulau bebatuan nan tandus di sekitar Kutub Utara kepada Kanada, prinsip tersebut kemudian akan digunakan oleh orang lain yang menganggap bahwa Amerika Serikat bisa menerima interpretasi negara lain terkait hukum laut yang tidak mereka terima sebelumnya,” kata Eyal.

Artinya, sensitivitas politik amat bermain dalam kasus perebutan pulau kecil. Politisi yang menyerahkan pulau sengketa akan mendapat kritikan hebat di masa depan, soal bagaimana yang bersangkutan ternyata lemah dalam menangani sebuah sengketa. Kompromi, apalagi sikap menyerah, akan mendatangkan tuduhan bahwa politisi itu telah mengkhianati negaranya.

Maka, kata Eyal, memang lebih baik membiarkan persengketaan itu berlangsung secara terbuka, dan bahkan jika perlu, selamanya.

Baca juga: Jepang di Bawah Abe: Makin Kanan, Makin Militeristik

Akibat pertaruhan harga diri negara, hingga kini Korea Selatan dan Jepang juga masih bersengketa atas Liancourt Rock. Luasnya 18,7 ribu hektare, terdiri dari dua pulau utama yang berdekatan dan pulau-pulau bebatuan kecil di sekitarnya, dan terletak di perbatasan laut kedua negara. Korea Selatan menamainya Pulau Dokdo atau Tokto dan masuk wilayah Ulleung, Provinsi Gyeongsang Utara. Sementara itu Jepang menamainya Pulau Takeshima (Pulau Bambu) dan diklaim sebagai bagian dari Okinoshima, Distrik Oki, Prefektur Shimane.

Klaim Korsel maupun Jepang didasarkan pada sumber sejarah masing-masing negara yang jika dirunut mundur berawal dari permulaan abad 20. Kadang keduanya menguatkan argumen dengan membawa catatan sejarah yang lebih tua lagi. Pejabat Jepang menyodorkan salinan peta tahun 1877 yang menyatakan kepulauan tersebut sebagai bagian teritori Jepang. Korsel tak mau kalah, pejabatnya bilang jika Pulau Dokdo sudah disebut-sebut dalam catatan pribadi raja Dinasti Silla pada tahun 512.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, kedua negara makin mengencangkan klaim atas Liancourt Rock. Korsel punya trauma panjang karena pernah dijajah Jepang. Dendam ini seakan sengaja diwariskan dan Liancourt Rock diikutkan ke dalamnya. Di tahun 2005, misalnya, setelah pemerintah Perfektur Shimane memproklamasikan “Hari Takeshima” pada 22 Februari, seorang ibu dan anak asal Korsel menyayat jari-jari mereka di depan kantor Kedutaan Besar Jepang di Seoul sebagai aksi protes.

Ada dugaan bahwa selain perkara nasionalisme, kawasan sekitar kepulauan juga kaya akan potensi ikan dan menyimpan cadangan gas alam yang besar. Situasinya kian pelik sebab Agen Berita Pusat Korea (KCNA) menyatakan bahwa pemerintah Korea Utara juga mengklaim kepulauan Liancourt Rock sebagai “bagian sakral dari Korea Utara sejak masa lampau”. Pada akhirnya Jepang dan Korsel mengendorkan persengketaan atas pulau tersebut mengingat kini mereka punya musuh bersama: Kim Jong Un yang kian aktif bermain roketnya.

Baca juga artikel terkait ISU TERITORIAL atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf