Menuju konten utama

Mengapa KPK Semestinya Tak Menghentikan Kasus Megakorupsi BLBI

Keputusan KPK mengeluarkan SP3 untuk kasus BLBI dianggap tidak tepat. Sebab ada kemungkinan penyelenggara negara lain selain SAT terlibat.

Mengapa KPK Semestinya Tak Menghentikan Kasus Megakorupsi BLBI
Ilustrasi Sjamsul Nursalim. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3)--alias menghentikan kasus--terhadap dua tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Sjamsul Nursamil dianggap tidak tepat. Keputusan ini hendak digugat aktivis antikorupsi.

Sjamsul dan Itjih sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang. Mereka diduga merugikan negara Rp4,58 triliun karena tindakan misrepresentasi dalam menampilkan nilai aset yang mereka berikan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membayar utang BLBI.

Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang pemegang saham pengendalinya tak lain Sjamsul Nursalim, merupakan satu dari 48 bank yang memperoleh bantuan dana BLBI saat krisis moneter tahun 1997/1998 lalu. Bantuan yang mereka dapat mencapai Rp30,9 triliun dari total uang yang digelontorkan sebanyak Rp144,5 triliun.

Kemudian diketahui bahwa aset bank tersebut hanya mampu membayar secuil dari dana bantuan. Sjamsul Nursalim lantas membayarnya dengan piutang petambak tapi ternyata itu kredit macet.

BPPN menyatakan transaksi BDNI tak wajar dan sekadar menguntungkan pemegang saham, tapi toh Kepala BPPN saat itu, Syafruddin Arsyad Temenggung, tetap mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) untuk BDNI.

SKL itu yang kemudian diselidiki KPK mulai Maret 2017. Setelah serangkaian persidangan, Syafruddin dianggap bersalah karena telah menghapus puitang BDNI dan dengan begitu memperkaya Sjamsul Nursalim. Tahun 2018, ia dijatuhi hukuman penjara 13 tahun penjara.

Syafruddin lantas mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Saat proses kasasi itulah KPK menerbitkan surat perintah penyidikan terhadap Sjamsul Nursamil dan Itjih. KPK periode sebelumnya menyatakan Itjih terlibat di antaranya “mewakili suaminya dalam pengurusan proses penerbitan SKL BLBI.”

Upaya kasasi Syafruddin berhasil. MA melepaskan Syafruddin dari hukuman dan KPK gagal menempuh proses peninjauan kembali KPK terhadap vonis tersebut.

Hal tersebut berdampak langsung pada Sjamsul dan Itjih yang disangka KPK dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP. KPK mendasarkan SP3 kepada ketentuan Pasal 11 UU KPK, yakni tidak terpenuhinya unsur penyelenggara negara dalam kasus BLBI. Penyelenggara negara yang dimaksud tidak lain adalah Syafruddin.

“KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sedangkan tersangka SN (Sjamsul Nursalim) dan ISN (Itjih Sjamsul Nursalim) berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung),” kata Komisioner KPK, Alexander Marwata di gedung KPK, Kamis (1/4/2021).

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan dalil KPK mencantolkan SP3 hanya kepada vonis lepas Syafruddin keliru lantaran dalam dakwaan Syafruddin masih terdapat nama penyelenggara negara lain.

Semestinya vonis lepas SAT tidak memengaruhi proses hukum terhadap Sjamsul dan Itjih, katanya. KPK semestinya bisa segera memproses kedua tersangka secara in absentia ke PN Tipikor Jakarta Pusat.

Ia berencana membatalkan SP3 dengan mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Kami belum bisa membuka berkas-berkas yang akan diajukan ke praperadilan nanti, tapi [praperadilan] akan kami daftarkan 30 April 2021,” ujar Boyamin kepada reporter Tirto, Senin (5/4/2021).

Usut Tuntas BLBI

Peneliti dari Pukat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zaenur Rohman juga menyangkal dalil KPK yang menggunakan Pasal 11 UU KPK untuk menerbitkan SP3. “Jika KPK kukuh harus ada penyelenggara negara, bisa dengan cara mengungkap penyelenggara negara yang lain, kan, masih banyak di kasus itu. SAT bukan satu-satunya,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Senin.

Selain itu, jika pun tak ada keterlibatan penyelenggara, KPK seharusnya tetap mampu memproses Sjamsul dan Itjih dengan pertimbangan kerugian negara. Hal itu juga jelas tercantum dalam Pasal 11 UU KPK. Ayat (1) poin a memang menyebutkan bahwa KPK dapat menyidik perkara yang melibatkan penyelenggara negara. Namun dalam ayat (1) poin b, KPK bisa tetap mengusut perkara yang menyebabkan negara merugi paling sedikit Rp1 miliar.

Atas dasar itu Pukat UGM mendukung upaya praperadilan. Jika pun gagal, menurutnya “KPK juga bisa membuka kasus ini kembali.” “Karena SP3 itu tidak menyebabkan perkara hangus. KPK perlu membuka kasus ini kembali dengan cara mencari penyelenggara negara lain selain SAT. Dan Sjamsul bisa kembali dijerat.”

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai KPK bisa saja menjadikan perkara BLBI menjadi perdata setelah hakim MA menyatakan tidak ada unsur pidana di dalamnya. Penanganan perdata diserahkan ke Kejaksaan Agung sebagai pihak berwenang dan KPK melakukan supervisi.

Alvin khawatir penerbitan SP3 akan memunculkan preseden buruk untuk kasus-kasus lain dengan tersangka yang juga masih buron.

“Sejak awal kami juga menolak diaturnya hak menerbitkan SP3 karena akan memunculkan risiko yang transaksional,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin.

Kritik juga datang dari mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto. Ia menarik kasus ini lebih jauh, bahwa ini adalah salah satu dampak buruk dari revisi UU KPK. SP3 ini memang yang pertama KPK terbitkan pasca-terbitnya UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 pada 31 Maret 2021.

Ia menduga revisi UU tersebut memang sebagai upaya “menutup kasus BLBI”.

“Janji pimpinan KPK terdahulu untuk lakukan upaya hukum biasa dan luar biasa serta terus mengusut kerugian keuangan negara seolah digadaikan oleh pimpinan KPK saat ini,” ujar Bambang dalam keterangan tertulis.

Terkait kritik-kritik yang muncul, Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan KPK sudah berupaya maksimal dengan mengajukan PK terhadap vonis Syafruddin meski gagal. Soal praperadilan, dia mengaku mendukung.

Sementara perkara kemungkinan mengusut lewat cara lain, dia mengatakan: “Dalam hal dugaan kerugian negaranya, jalur perdata masih bisa dilakukan namun KPK bukan prinsipal karena kewenangan untuk itu tidak ada. Namun KPK bisa support data.”

Baca juga artikel terkait SP3 KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino