Menuju konten utama

Mengapa Kita Bisa Jatuh Cinta?

Mengapa ada orang-orang yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama dan ada yang tidak? Sains mengungkap sebagian misteri yang melingkupi fenomena penting dalam hidup tersebut.

Mengapa Kita Bisa Jatuh Cinta?
Ilustrasi mengapa mausia jatuh cinta? [foto/shutterstock]

tirto.id - Ali Iskandar, 23 tahun, hidup sendirian di Jakarta. Ibu tiri dan adik-adik dan kuburan ayahnya berada di Langsa, Aceh. Ia bekerja di sebuah biro iklan, 9 jam sehari, 5 hari sepekan, sejak dua tahun lalu. Ali sebenarnya ingin menjadi pengarang penuh-waktu, namun ia mengambil kompromi. Ia mengerti pekerjaan itu tak bakal menjamin kedudukan periuk nasinya sedangkan waktu selamanya mengikis rasa kenyang. Ali menulis setiap pulang kantor, 2 jam sehari, 5 hari seminggu, dan melakukan riset pada akhir pekan.

Meski lambat, naskah novel itu berkembang sesuai rencana Ali: penuh adegan laga dan kejar-kejaran seperti The 39 Steps karya John Buchan dan suara naratornya seperti narator Whatever karya Michel Houllebecq. Tapi, cerita bakal segera sampai di bab 3 dan rancangan bab itu masih penuh lubang. Ali berharap bisa memperoleh bahan segar dengan mengamati para penumpang kereta rel listrik selama sehari penuh.

Chairani Tan, 26 tahun, telah menunggu selama lebih dari empat jam di Stasiun Pasar Senen saat kereta jurusan Bogor pertama tiba. Ia meninggalkan Yogyakarta, kota tempat tinggalnya sewindu terakhir, untuk kuliah di program pascasarjana Kajian Gender di Universitas Indonesia. Chairani akan tinggal bersama kakaknya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sampai perkuliahan mulai.

Ia sebetulnya bisa langsung menyewa tempat tinggal sendiri. Ayahnya, seorang pejabat perusahaan sawit Malaysia yang beroperasi di Pulau Bangka dan Jambi dan Riau, telah memberi dia sangu yang cukup untuk hidup wajar selama enam belas bulan di Jakarta Pusat. Tapi Chairani rindu dan merasa perlu menghibur kakaknya yang baru bercerai. “Perempuan,” tulisnya di Twitter sesaat setelah masuk gerbong, “bisa dikalahkan tetapi muskil dihancurkan.”

Pukul 10 lewat 33 menit, kereta jurusan Jakarta Kota berangkat dari Stasiun Pasar Minggu. Begitu gerbong terakhir berlalu, orang-orang dari dua arah bergegas menyeberangi rel. Ali ada di antara mereka, melintas untuk mencapai peron tujuan Bogor. Chairani ada di antara mereka, melintas untuk keluar dari stasiun.

Ali dan Chairani bersenggolan dan keduanya sama menoleh. Chairani: perempuan serba ceking dengan badan berbau tauco dan rambut yang mirip umbul-umbul. Ali: pria dengan postur agak mencong ke kanan, berkaki pendek, dan berwarna cokelat metalik.

Mereka tidak dibungkus gerak lambat dan musik Michael Galasso, dan tak seorang pun mengucapkan “inilah jarak terdekat di antara kami, 0,01 sentimeter saja, dan 57 jam yang akan datang aku jatuh cinta kepadanya” atau sejenisnya. Ali dan Chairani hanya membuat gestur minta maaf secara faali, melanjutkan urusan masing-masing, dan saling melupakan.

Pertemuan sarat kebetulan semacam itu lazim jadi latar persemian kisah-kisah cinta. Budiarti dan Gultom berjumpa di bandara saat hendak menjemput suami/istri masing-masing, Rahman dan Lia pada mulanya cuma dua penumpang bus AKAP yang duduk bersebelahan, dan Michael Corleone “tersambar petir” sewaktu berpapasan dengan si molek Apollonia Vitelli.

Mereka lalu menyukai satu sama lain, jatuh cinta, dan berpasangan. Tapi mengapa Ali dan Chairani, juga banyak “pasangan” lain yang bertemu dengan cara itu, tidak mengalami perasaan yang sama?

Jodoh di Tangan Tuhan

Atau bukan. Menurut Arthur Schopenhauer, salah seorang filsuf terpenting abad ke-19, cinta hanyalah tipu-tipu “kehendak” atau will, daya adikuasa yang menggerakkan segala sesuatu di alam semesta (bedakan dari arti kehendak dalam penggunaan sehari-hari), agar manusia berkembang biak dan melestarikan spesies.

Pria dan wanita yang berpasangan, dilihat dari teori ini, sesungguhnya tak pernah saling memilih, melainkan diseleksi dan dipertemukan oleh “kehendak” secara khusus—lewat insting dan hasrat yang timbal balik—semata demi menciptakan keturunan terbaik. Para induk terpilih berdasarkan kesesuaian fitur-fitur, baik fisik maupun mental, yang mereka miliki.

“Mereka mesti saling menetralisir, seperti asam dan alkali terhadap garam netral … Kelelakian dan kewanitaan terhubung seturut derajatnya. Pria yang paling pria akan mengidamkan perempuan yang paling perempuan, demikian pula sebaliknya,” tulis Schopenhauer dalam “Metaphysics of Love.”

Manusia bisa berdoa kepada Tuhan, tapi tidak kepada “kehendak”, sebab ia tak kenal ampun dan belas kasih.

Dari Bau Badan hingga Ideologi

Sejumlah penelitian ilmiah dari pelbagai cabang sains telah menyingkapkan tabir yang melingkupi fenomena jatuh cinta. Memang tabir itu tak sepenuhnya terbuka dan misteri tetap ada. Namun, hasil-hasil yang sudah terkumpul jelas berguna untuk memahami salah satu perkara paling mendasar dalam hidup manusia itu.

Dr. Helen Fisher, antropolog biologis dari Rutgers University, Amerika Serikat, menilai tahap pertama dalam proses jatuh cinta adalah lust atau berahi. Dalam keadaan itu, baik laki-laki maupun perempuan dipengaruhi oleh pergolakan hormon seksual—testosteron dan estrogen—dalam diri masing-masing. Estrogen berkaitan erat dengan siklus menstruasi dan testosteron, selain berperan penting dalam sistem reproduksi, juga dikenal sebagai pemicu agresi dan sifat kompetitif, serta dapat menyuplai kepercayaan diri.

Dalam laporan berjudul “Scent of a Woman”, Saul L. Miller dan Jon K. Maner dari Florida State University menyatakan bahwa aroma perempuan yang berada di puncak kesuburan dapat merangsang pria di tingkat hormonal. Subjek yang diminta mengendus kaus bekas pakai perempuan menjelang ovulasi terbukti menunjukkan kadar testosteron yang lebih tinggi ketimbang anggota-anggota dua kelompok pembanding yang mencium kaus bekas perempuan di luar masa subur dan kaus baru.

Sebaliknya, menurut tulisan yang diterbitkan jurnal biologi Proceedings of the Royal Society B, perempuan dalam masa subur juga bereaksi secara khusus terhadap rupa-rupa aroma tubuh pria. Metode yang dipakai serupa Miller. Namun, hasilnya membuktikan bahwa preferensi kaum perempuan tidak ditentukan oleh kadar testosteron, melainkan ketampanan pria. Subjek penelitian tersebut, tentu tanpa mengetahui siapa pemilik kaus mana, cenderung menyenangi bau pria-pria yang berbadan dan berwajah simetris.

Namun, ketampanan pada pria dan kesuburan pada perempuan tentu bukan jaminan bahwa mereka dapat menjadi pasangan ideal di luar perkara mengadon keturunan. Menurut Dr. Fisher, tahap selanjutnya dalam percintaan ialah attraction alias ketertarikan dan attachment atau keterikatan. Dua tahap ini tidak melulu dipengaruhi oleh soal fisik.

Shanhong Luo dan Eva C. Klohnen dari University of Iowa menyelidiki faktor terbentuknya pasangan (assortative mating) dengan responden 291 pasutri. Kerangka yang dipakai ialah kesamaan antar anggota pasangan atau positive assortment melawan perbedaan alias negative assortment. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology itu membuktikan bahwa terdapat asosiasi positif antara kualitas pernikahan dan kesamaan kepribadian, tapi tidak ada indikasi terkait kesamaan sikap dan cara berpikir.

Sementara itu, tulisan lain di Journal of Personality and Social Psychology (2007) oleh Gonzaga DC, dkk. mengungkap bahwa hasil atau keadaan suatu hubungan di masa depan bergantung pada proses adaptasi sifat-sifat bawaan tiap anggotanya.

Jadi, mengapa Ali dan Chairani tidak saling jatuh cinta?

Bagaimana dengan, ehm, Anda dan dia, apakah ada peluang?

Baca juga artikel terkait JATUH CINTA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti