Menuju konten utama

Mengapa Kasus Antraks di Gunungkidul Kembali Terjadi?

BBVet Wates Yogyakarta menyatakan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel tanah lokasi hewan ternak yang mati mendadak di Gunungkidul positif bakteri antraks.

Mengapa Kasus Antraks di Gunungkidul Kembali Terjadi?
ILUSTRASI. Petugas Kesehatan Hewan (Keswan) bersiap menyuntikkan antibiotik kepada sapi warga di Kelurahan Oluhuta, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Jumat (24/11/2017). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

tirto.id - Kasus antraks di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta kembali terjadi. Sedikitnya terdapat sembilan hewan ternak suspect antrak serta 11 warga sakit dan satu yang meninggal disebabkan suspect antraks.

Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates Yogyakarta bahkan menyatakan dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel tanah lokasi hewan ternak yang mati mendadak di Desa Gombang, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul positif bakteri antraks.

"Yang [sampel] tanah itu positif [antraks]. Tanah di mana bekas hewan itu mati,” kata Kepala BBVet Wates Yogyakarta Bagoes Poermadjaja kepada reporter Tirto, Senin (13/1/2020).

Sementara untuk sampel yang diambil dari bekas luka pada manusia, dari hasil tes laboratorium, kata Bagoes, telah dinyatakan negatif antraks.

"Kalau yang luka dari manusia yang dikirim itu negatif. Mungkin sudah diobati,” kata Bagoes.

Oleh sebab itu, kata dia, adanya satu warga yang meninggal akibat suspect antraks menurutnya belum dapat dipastikan ada kaitanya dengan bakteri antraks.

Akan tetapi, kata Bagoes, semua sampel yang dikirimkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada awal Januari ini, hasilnya telah diserahkan kembali untuk dilakukan tindakan, salah satunya vaksinasi.

Bagoes menjelaskan, dari hasil investigasi diketahui sebenarnya kasus kematian ternak kambing sudah terjadi sejak 16 Desember 2019, dan ada kematian sapi pada 18 Desember 2019. Kasus itu berlangsung sampai 28 Desember 2019.

Selain itu, temuan dari tim menunjukkan bahwa terdapat sebagian ternak yang mati tersebut disembelih dan dagingnya dikonsumsi warga. Hal ini, kata dia, patut disayangkan karena dapat menimbulkan potensi kasus pada manusia.

“Harusnya kalau ada ternak yang mati mendadak dilaporkan. Tidak boleh disembelih dan dikonsumsi,” kata Bagoes.

Tiga Sapi dan Enam Kambing Suspect Antraks

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunugkidul Bambang Wisnu Broto mengatakan pada Desember 2019 terdapat laporan adanya hewan ternak yang mati mendadak yang diduga karena bakteri antraks.

"[Suspect antraks] kemarin diawali ada kematian. Kambingnya enam dan sapinya tiga pada akhir 2019 di Desa Gombang," kata Bambang saat ditemui reporter Tirto, Jumat (10/1/2020).

Atas laporan itu, kata dia, selain mengambil sampel untuk dikirim ke BBVet, pihaknya juga telah melakukan tindakan pencegahan yakni dengan memberikan disinvektan pada lokasi hewan yang mati.

Sedangkan untuk hewan ternak yang masih hidup di wilayah sekitar terduga antraks, kata dia, pihaknya telah melakukan menyuntikkan antibiotik ke setiap hewan ternak.

Ia mengakui memang terdapat salah satu hewan ternak yang mati tersebut disembelih dan dikonsumsi warga. Hal itu, kata dia, menimbulkan kemungkinan kasus antraks pada manusia.

Untuk mencegah kejadian serupa, kata dia, pihaknya telah menyiapkan surat edaran bupati. Surat edaran tersebut berisi larangan untuk tidak mengkonsumsi ternak yang mati mendadak. Termasuk menjual ternak yang mati.

Kepala Desa Gombang Supriyanto mengatakan di desanya memang pada pertengahan Desember 2019 lalu terdapat tiga sapi mati mendadak. Dua di antara sapi yang mati itu dikubur oleh warga.

"Ada satu ekor sapi yang disembelih. Itu sapi yang mati pertama," kata dia, pada Jumat (10/1/2020).

Sapi yang disembelih itu adalah milik Sukiat yang belakangan meninggal karena suspect antraks. Daging sapi itu kemudian dibagikan dan dikonsumsi.

Selain ada tiga sapi mati mendadak, kata dia, ada enam orang yang sakit suspect antraks termasuk satu orang meninggal yang disebutnya memang sudah memiliki riwayat sakit.

12 Warga Suspect Antraks, 1 Meninggal

Sebanyak 12 warga Gunungkidul suspect antraks mendapatkan penanganan medis dari RSUD Wonosari Gunungkidul, namun satu di antaranya meninggal dunia.

“Sampai dengan hari ini kami RSUD Wonosari merawat 12 pasien yang enam rawat inap yang enam rawat jalan [...] termasuk yang meninggal satu,” kata Kepala Bidang Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD Wonosari Gunungkidul Triyani Heny Astuti, Jumat (10/1/2020).

Sebanyak 12 pasien yang mendapat perawatan itu, kata Heny, adalah suspect antraks berdasarkan dua kriteria. Pertama pasien berasal dari adanya ternak baik sapi atau kambing yang mati suspect antraks.

"Kedua dengan gejala-gejala yang mengarah ke sana [antraks], sehingga dokter mendiagnosa dia suspect [antraks]," kata dia.

Asal daerah dari 12 pasien suspect antraks tersebut, kata Heny, yakni Desa Gombang, Kecamatan Ponjong dan Kecamatan Semanu.

"[Satu pasien suspect antraks] yang meninggal dari Gombang," kata Henny.

Pasien suspect antraks yang meninggal tersebut bernama Sukiat (52). Kondisi saat dibawa ke RSUD, kata Heny, memang sudah parah. Dari IGD menyampaikan kondisinya sudah nyeri kuduk sehingga sudah kaku.

"Jadi seperti infeksi meningitis jaringan otak. Diagnosa dokter memang infeksi jaringan otak. Jadi diagnosa meninggalnya meningitis atau radang otak dengan suspect antraks," ujar dia.

Kepala Dinas Kesehatan Gunungkidul Dewi Irawati mengatakan telah melakukan sejumlah tindakan. Pertama menyusur lokasi, memeriksa sejumlah orang yang kontak langsung dengan ternak mati baik itu menyentuh, menyembelih, atau mengkonsumsi.

Dari penyusuran tersebut kemudian Dinkes juga mengambil sampel darah 41 orang untuk dicek di laboratorium guna memastikan positif atau negatif antraks.

"Kami ambil sampel darah dan sampel luka kalau yang ada lukanya, kemudian sampel luka kami kirim ke BBVET Wates, dan yang serum darah kami kirim ke BBVET Bogor," kata Dewi.

Sementara di dua dusun Desa Gombang tempat terjadinya sapi meninggal mendadak dan satu orang meninggal suspect antraks, kata Dewi, Dinkes Gunungkidul memberikan antibiotik kepada seluruh warga.

"[Antibiotik] kami beri ke 540 orang, namanya di dalam medis adalah terapi pencegahan," ujar dia.

Kasus Antraks Berulang

Kejadian ini bukan yang pertama, sebab pada April 2019 kasus antraks juga terjadi di Gunungkidul.

Saat itu, terdapat lima sapi mati mendadak di Dusun Grogol 4, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul. Salah satu pemilik sapi, Partini yang saat itu diwawancarai reporter Tirto mengatakan tak tahu jika sapinya terkena antraks.

Sapi milik Partini tiba-tiba mati. Ia bersama suaminya kemudian membawa sapi tersebut ke jagal dan menjual gading sapi tersebut seharga Rp3,8 juta.

Selain sapi milik Partini, ada empat sapi lain yang mati mendadak pada jangka waktu satu bulan (data 25 April-8 Mei). Dari 48 sampel tanah yang diuji laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVET) Wates, ada tiga sampel positif.

Sementara itu, hasil uji laboratorium satu orang yang memiliki luka dan mengalami kontak saat melakukan pemotongan, dinyatakan negatif antraks.

Berulangnya kasus antraks ini karena memang ada beberapa faktor yang memengaruhi. Salah satunya adalah faktor alam berupa panjangnya umur hidup spora dan kondisi lingkungan di Indonesia yang mendukung daya tahan spora.

Pertama, pengetahuan peternak rendah dalam mengenali dan melaporkan dugaan kasus antraks kepada unit veteriner setempat. Biasanya, untuk menghindari kerugian akibat ternak mati mendadak, sebagian peternak menyembelih dan menjual daging ternak sakit.

Kemudian darah yang keluar saat penyembelihan dari tubuh hewan terjangkit antraks dapat menjadi sumber utama pencemaran spora pada tanah. Sementara itu, tak ada upaya pembasmian bakteri dan spora karena kasus tersebut tak dilaporkan pada unit veteriner.

Kedua, cakupan vaksinasi rendah karena kombinasi faktor pertama dengan belum optimalnya unit pelayanan kesehatan hewan daerah melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit hewan. Apalagi, Indonesia saat ini tengah kekurangan dokter hewan.

Data dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) menyebut Indonesia butuh 70 ribu dokter hewan.

Masalah lain adalah soal lalu lintas hewan ternak yang kurang mendapatkan pantauan yang ketat. Di Gunungkidul misal, Dinas terkait menyatakan belum ada bukti yang mengarah adanya hubungan kasus antraks sebelumnya dengan yang terbaru.

Dugaan awal lalu lintas hewan ternak dari daerah lain yang memiliki kasus antraks menjadi penyebab adanya kasus serupa di Gunungkidul.

Baca juga artikel terkait KASUS ANTRAKS atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz