Menuju konten utama
K O N F R O N T A S I

Mengapa Jokowi Undang Influencer Corona ke Istana adalah Sia-Sia?

Setelah Jokowi mengundang influencer ke istana, dua di antaranya justru membuat publik percaya dengan keamanan palsu.

Mengapa Jokowi Undang Influencer Corona ke Istana adalah Sia-Sia?
Raffi Ahmad (kiri), Andre Taulany (kanan), dan Ari Lasso berbincang seusai bertemu Presiden Joko Widodo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/7/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

tirto.id - Setelah Dwifungsi Polri, muncul tren politik baru. Namanya adalah politik selebritas.

Penggunaan selebritas dalam sebuah iklan adalah hal yang lumrah. Dalam penelitian bertajuk The State of Influencer Marketing 2018 in Indonesia: Kupas Tuntas Tren Pemasaran Endorse, influencer merujuk kepada siapapun yang mempunyai jumlah pengikut banyak di media sosial.

Artis adalah salah satunya. Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, misalnya, punya pengikut 43,5 juta orang di Instagram. Jika akun @raffinagita1717 menjadi sebuah agama, pengikutnya adalah terbanyak se-Indonesia setelah agama Islam. Dengan pengikut sejumlah itu, Raffi-Nagita mematok harga Rp22 juta untuk satu kali unggahan di akunnya.

Influencer dipercaya bisa meningkatkan kesadaran akan suatu produk, mengedukasi konsumen, dan meningkatkan penjualan. Selain karena banyaknya pengguna aktif yang menjadi pengikut, influencer juga diyakini bisa memengaruhi gaya hidup pengikutnya.

Dalam konteks politik, influencer dahulu cuma dikenal dalam konteks artis yang berpolitik. Menurut laporan penelitian bertajuk "Manifestasi Pragmatisme Pendidikan Politik" (PDF), kemunculan para artis dalam dunia politik mulai ramai setelah Orde Baru. Kesuksesan pertama didulang Dede Yusuf yang menjadi Gubernur Jawa Barat periode 2008-2013. Kemudian disusul Deddy Mizwar untuk posisi yang sama pada periode 2013-2018. Ada pula Rano Karno yang menjadi Bupati Tangerang 2008-2011.

Selain sebagai politikus, artis juga efektif untuk kendaraan politik. Di Amerika Serikat, Barack Obama yang maju dalam pilpres 2008 belum seterkenal Hillary Clinton. Kala itu pembawa acara televisi, Oprah Winfrey, menjatuhkan dukungannya kepada Obama.

Sebagai salah satu wanita paling berpengaruh di dunia, Winfrey dipercaya pengamat politik bisa membuat dukungan beralih kepada Obama. Fenonema ini dikenal dengan 'Oprah’s Effect' dan menjadi salah satu faktor kemenangan Obama.

Disertasi Sean R. Ridley dari Universitas Wake Forest berjudul "The Importance of Celebrities in Political Decision Making: A Rhetorical Analysis of The Barrack Obama Presidential Campaign" (PDF, 2010) menyebut dukungan artis William James Adam atau lebih dikenal Will.I.Am sebagai salah satu faktor kemenangan Obama lainnya.

Dalam unggahan video di YouTube, Will.I.Am bisa memengaruhi kesadaran masyarakat terhadap pencalonan Obama.

Kini Presiden Joko Widodo kembali menggunakan trik lawas tersebut. Pada Rabu (14/7/2020) Jokowi mengundang artis-infuencer ke Istana Negara. Setidaknya ada 23 orang yang diundang Jokowi ke Istana, termasuk diantaranya Erdian Aji Prihartanto dan Yuni Shara. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnuatama, tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengedukasi masyarakat.

"Agar [sosialisasi protokol kesehatan] lebih dapat didengar, disosialisasikan, dilaksanakan oleh masyarakat secara lebih luas,” kata Wishnutama.

Namun yang ramai setelahnya bukan soal protokol kesehatan, melainkan keraguan terhadap bahaya virus corona atau COVID-19.

Rasa Aman Semu

Setelah pertemuan tersebut, media sosial ramai karena foto yang diunggah fotografer National Geographic, Joshua Irwandi. Dia mengabadikan momen jenazah pasien COVID-19 yang dibalut dengan sangat ketat di kamar pasien. Sampai berita ini ditulis, foto itu telah disukai oleh 353.975 akun.

Josh memberikan keterangan pada unggahannya. Isinya menggambarkan kekhawatiran Josh terhadap keluarga dan kerabat dekatnya yang mungkin terinfeksi virus COVID-19 dan kemungkinan menyebabkan hilangnya nyawa. “Dan selagi kita menuju ke gelombang kedua pandemi, masyarakat harus sadar mereka tidak bisa menganggap remeh penyebaran Covid-19.”

Sekilas, catatan Josh harusnya meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap virus COVID-19 dan tidak bertentangan dengan narasi pemerintah. Namun Anji, influencer yang diundang Jokowi ke Istana Negara, justru mengerdilkannya.

Anji mengunggah ulang foto Josh dengan memberi beberapa catatan. Pertama, dia curiga mengapa banyak akun-akun terkenal ikut meramaikan foto tersebut. Kedua, dia mempertanyakan bagaimana pewarta foto seperti Josh bisa masuk ke dalam ruang jenazah dan menggiring narasi untuk mendiskreditkan Josh.

Di kanal media sosial lainnya, Anji juga menyatakan "saya percaya COVID-19 itu nyata, tapi tidak semengerikan apa yang diberitakan media."

Belum kapok, Anji juga mengunggah video diskusi bersama Hadi Pranoto, pria yang diklaim sebagai profesor dan pakar mikrobiologi. Dalam diskusi itu, Anji dan Hadi sama-sama mempromosikan antibodi virus COVID-19 yang menurut keduanya sangat mujarab. Namun banyak orang yang meragukan penjelasannya, seperti keterangan tentang "dosis" COVID-19 dan penelitian yang sudah dilakukan sejak tahun 2000, tapi tidak pernah terdengar—hingga sekarang tentunya.

Sedangkan Yuni Shara dalam satu wawancara mengenakan kalung eucalyptus yang diklam oleh Kementerian Pertanian sebagai antivirus corona. Padahal sejauh ini, pengembangan vaksin virus corona masih dilakukan beberapa negara dan belum ada yang berhasil 100 persen. Kalung tersebut juga belum melalui uji klinis.

Yuni mengaku mendapatkan rasa aman dengan menggunakan kalung tersebut. "Kadang ada hal yang tidak dapat dikerjakan dari rumah sehingga harus keluar. Dengan adanya inovasi kalung eucalyptus ini, saya jadi merasa lebih safety.”

Apa yang dilakukan Anji dan Yuni justru menciptakan rasa aman semu. Pernyataan dan perilaku mereka bisa melahirkan benih-benih lain berupa keyakinan “COVID-19 tidak berbahaya” dan bisa menjurus kepada percaya “teori konspirasi” bahwa COVID-19 dibuat kelompok tertentu atau bahkan tidak ada, kemudian melangkahi protokol kesehatan.

Fenomena ini sudah muncul di belahan dunia lain, yakni Inggris. Survei yang dilakukan King’s College London dan IPSOS MORI terhadap 2.254 penduduk menghasilkan 82 persen responden percaya bahwa COVID-19 sebenarnya tidak ada. 70 persen percaya bahwa ada sekelompok elite global yang sengaja memakai COVID-19 untuk memaksakan vaksinasi. 69 persen percaya bahwa angka jumlah korban tewas COVID-19 dilebih-lebihkan. Satu lagi yang paling populer di Inggris: COVID-19 berkaitan dengan sinyal 5G dan ada 79 persen yang memercayai hal itu.

Dampak dari kepercayaan ini menghasilkan masyarakat yang tidak patuh kepada aturan lockdown. Hasil riset menunjukan 38 persen orang yang percaya teori konspirasi menerima kunjungan dari teman atau keluarganya di saat lockdown. Bias-bias informasi ini disebabkan oleh berbagai informasi dari platform media sosial yang dipenuhi para influencer.

Publik terbelah antara yang menerapkan protokol kesehatan dan yang tidak. Di Bali, misalnya, influencer seperti I Gede Ari Astina atau Jerinx (JRX), penggawa band Superman is Dead, menyebarkan berbagai teori tentang COVID-19 adalah sebuah konspirasi.

Tidak hanya itu, dia menghasut berbagai pihak agar tidak menerapkan protokol kesehatan. Hasilnya cukup efektif. Di salah satu bar kawasan Bali milik JRX, dia mempersilakan orang-orang menikmati acara tanpa menerapkan protokol kesehatan. Namun pemerintah justru abai kepada figur-figur semacam JRX dan malah membiarkannya.

Contoh lain adalah di Palangkaraya. Dalam salah satu tayangan video di media sosial, petugas kesehatan di Palangkaraya harus menerima bogem mentah karena menerapkan prosesi pemakaman jenazah terduga COVID-19 dengan protokol kesehatan. Karena tidak senang dengan pemakaman itu, anggota keluarga korban kemudian melakukan pemukulan.

Ketidakpahaman orang akan bahaya COVID-19 membuat potensi penyebaran virus ini makin membesar. Tapi pemerintah Indonesia sendiri, melalui influencer seperti Anji dan Yuni, juga berandil dalam kesesatan tersebut. Yuni, Anji, dan mungkin akan ada lagi yang lain seakan-akan menjadi ideological state apparatuses modern. Apalagi, jumlah lonjakan kasus harian penderita COVID-19 kini tidak lagi diumumkan kepada publik secara langsung.

Infografik Influencer ke Istana

Infografik Influencer ke Istana. tirto.id/Rangga

Salah Sasaran

Undangan Joko Widodo kepada para influencer untuk menyebarluaskan informasi seputar protokol kesehatan terkesan pencitraan belaka. Raffi Ahmad pada akun @raffinagita1717, misalnya, sebagai salah satu akun dengan pengikut terbanyak di antara influencer tersebut, tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Unggahan video pada 21 Juli 2020 menunjukkan Raffi bermain futsal di tempat terbuka dengan teman-temannya. Tidak masalah memang bermain futsal dengan pengecekan suhu tubuh dan semacamnya, tapi ada juga kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) yang seharusnya patut diwaspadai.

Unggahan seperti ini bukan membuat waspada, tetapi cenderung mempromosikan orang keluar rumah, bermain futsal, beraktivitas seperti biasa, tanpa mewaspadai mereka bisa menjadi salah satu OTG dan menularkan kepada orang lain.

Memang, orang-orang seperti Raffi, Addie M.S., dan influencer lain yang diundang Jokowi cenderung tidak pernah menyebarkan informasi keliru soal COVID-19. Para selebritas media sosial yang cenderung menyebarkan disinformasi adalah JRX melalui akun media sosial, Andreas Deodatus Deddy Cahyadi Sunjoyo alias Deddy Corbuzier melalui kanal YouTube, dan Helmy Yahya juga melalui kanal YouTube. Dan tidak ada dari ketiga orang itu yang diundang Jokowi untuk membekali masyarakat dengan informasi yang tepat soal COVID-19.

Untuk meminimalisasi disinformasi soal COVID-19, pemerintah sebenarnya bisa memilih jalan lain yang lebih sederhana seperti yang dilakukan Filipina. Negara yang dipimpin Rodrigo Duterte itu mempunyai satu kanal khusus (https://www.covid19.gov.ph/fact-check/) yang hanya bisa diakses melalui jaringan internet Filipina untuk cek fakta tentang berita dan informasi COVID-19.

Sejauh ini, situs covid19.go.id yang diampu pemerintah memang menyediakan kanal Hoax Buster. Tapi kanal tersebut hanya melakukan cek fakta terhadap disinformasi yang merugikan citra pemerintah secara umum, bukan berkonsentrasi kepada keselamatan publik. Kanal edukasi dalam situs tersebut juga hanya berisi informasi umum tentang cara pencegahan tertular COVID-19 dan imbauan diam di rumah dan semacamnya.

Pemerintah seperti membiarkan berbagai disinformasi dari para influencer menjadi bola liar dan membuat Indonesia semakin jauh dari impian bebas corona.

==========

KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait INFLUENCER atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan