Menuju konten utama

Mengapa Jokowi Perlu Pulangkan Anak-Anak WNI Eks ISIS?

Peneliti ICJR Ari Pramuditya merujuk pada Kovensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia 1996, pemerintah seharusnya memulangkan seluruh anak-anak dari WNI eks ISIS itu.

Mengapa Jokowi Perlu Pulangkan Anak-Anak WNI Eks ISIS?
Presiden Joko Widodo memberikan arahan pada Rakornas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 2020 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/2/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo tegas menutup pintu pulang bagi sekitar 689 WNI eks ISIS yang masih berada di kamp pengungsian di Suriah. Namun, Jokowi membuka peluang untuk memulangkan anak-anak yatim piatu di sana. Ia telah memerintahkan kementerian terkait turun ke lapangan melakukan pendataan.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah hanya akan memulangkan anak dengan usia 10 tahun ke bawah. Selain itu, pemerintah juga melihat anak-anak itu per kasus, alias tak semua anak akan dipulangkan.

“Ya lihat saja apakah ada orang tuanya ada atau tidak, yatim piatu (atau tidak)," ujar Mahfud usai rapat membahas hal tersebut bersama Presiden Jokowi, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengakui, memulangkan anak-anak eks ISIS yang aktif dalam kekerasan memang berpotensi menimbulkan masalah radikalisme atau kriminalitas di kemudian hari. Namun itu bukan sesuatu yang tak bisa diatasi.

Tidak memulangkan mereka pun, kata dia, tak jadi jaminan keamanan Indonesia. Menurut dia, di masa depan mereka juga bisa jadi agen penyebar radikalisme. Apalagi propaganda ISIS di masa lalu pun dilakukan secara masif melalui internet.

Karena itu, kata Khairul, pemerintah harus melakukan pendataan terhadap anak-anak tersebut. Memang ada anak yang secara aktif terlibat dalam kekerasan-kekerasan ISIS, tapi di sisi lain ada juga anak-anak yang sama sekali tidak terlibat atau hanya sekadar terpapar kekerasan.

Perbedaan latar belakang tersebut akan memengaruhi perlakuan ketika dipulangkan.

"Sebenarnya kita butuh data yang betul-betul valid dan assesment yang presisi. Bagaimana mungkin kita mengambil keputusan dari asumsi-asumsi yang lebih didasarkan pada ketakutan? Pemerintah tidak boleh seperti itu. Pemerintah harus rasional," kata Fahmi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (17/2/2020).

BBC pada 2017 pernah melaporkan bagaimana ISIS memperlakukan anak-anak mereka. Mutassim, seorang remaja 16 tahun ditugaskan di rumah sakit merawat kombatan atau pasien. Sebelumnya ia ditugaskan di unit propaganda.

Menjadi bagian dari rumah sakit, Mutassim juga aktif mengikuti pelatihan militer ISIS. Selama 15 hari mereka digembleng dengan latihan fisik, beberapa anak menjalani pelatihan lebih lama.

Dalam hal kurikulum sekolah, ISIS telah mengenalkan anak-anak usia 5 tahun dengan kosakata kekejaman dan permusuhan, hal itu terungkap dari buku-buku sekolah ISIS. Mereka pun menyisipkan pesan-pesan kekerasan kala mengajarkan Alquran kepada anak-anak.

Anak-Anak Adalah Korban

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Ari Pramuditya menegaskan, anak-anak WNI eks ISIS itu adalah korban.

Ari menjelaskan, anak-anak Indonesia datang ke timur tengah karena dibawa oleh keluarga mereka, dan mereka tak memiliki pilihan lain. Selain itu, besar kemungkinan tindakan kekerasan yang mereka lakukan didasari oleh relasi kuasa dari orang tua atau orang lainnya yang lebih kuat.

Karena itu, kata dia, merujuk pada Kovensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia 1996, pemerintah seharusnya memulangkan seluruh anak-anak itu. Selanjutnya mereka dimasukkan ke program deradikalisasi untuk mengembalikan mereka menjadi anak-anak.

"Jangan sampai nanti mereka di dalam negeri akhirnya kebingungan menimbulkan tekanan-tekanan sosial lainnya dan akhirnya menjadi bibit-bibit radikalisme baru karena tidak ada pendidikan yang baik dan arahan keluarganya," kata Ari saat dihubungi reporter Tirto, Senin (17/2/2020).

Di sisi lain, Ari mengkritisi alasan pemerintah memberi batasan hanya anak-anak yang berusia 10 tahun ke bawah. Sebab, kata dia, angka itu tak memiliki dasar hukum sama sekali.

Merujuk pada hukum Indonesia, yang dimaksud dewasa ialah orang berusia 18 tahun ke atas, sebelum itu dikategorikan sebagai anak-anak. Jika berpatokan pada UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana bila berusia 12 tahun ke atas.

Dukungan serupa juga diungkapkan, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau yang kerap disapa Kak Seto. Dia mendukung penuh langkah pemulangan anak-anak WNI eks ISIS kembali ke Indonesia.

"Jadi mungkin mereka yang masih dalam usia lentur dan dinamika psikologis masih mudah diarahkan kembali," kata Kak Seto di Jakarta, kemarin.

Begitu juga Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. Dia memberi catatan, pemerintah harus memastikan anak-anak itu memang bersedia dipisahkan dengan orang tuanya.

Jika mereka bersedia, kata Retno, maka pemerintah harus memikirkan pengasuhan terhadap mereka setibanya di Indonesia.

"Jangan sampai mereka menaruh dendam kepada pemerintah Indonesia yang seolah memisahkan dengan orang tua mereka," kata Retno kepada reporter Tirto, Senin (17/2/2020).

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak, anak-anak itu harus diasuh oleh tiga derajat keluarganya, antara lain: kakek/nenek atau paman/bibi.

Jika keluarga dirasa tidak layak merawat, maka anak bisa diadopsi keluarga lain. Jika tidak ada keluarga yang mengadopsi, maka negara bertanggung jawab untuk mengasuh dan anak-anak itu berstatus anak-anak negara.

Baca juga artikel terkait WNI EKS ISIS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz