Menuju konten utama
Analisis

Mengapa Indonesia Tak Pernah Terus Terang Mengaku Negara Sekuler?

Sejak RI didirikan, sudah terjadi ketegangan kelompok sekuler dan agama. Tapi mengapa sekularisme tak pernah benar-benar menang?

Sidang BPUPKI pada 29 April 1945, salah satu forum awal perdebatan kelompok sekuler versus kelompok Islam. FOTO/ANRI

tirto.id - Dalam Pidato Kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta, 10 November 2010, Rocky Gerung menyuarakan dua tesis tentang pentingnya menjaga makna Republik. “Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep ‘publik’ pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik,” kata dia.

Pada tesis pertama, Rocky hendak mengatakan ruang publik haruslah berupa ruang di mana setiap orang dapat mempercakapkan gagasannya secara bebas, asalkan bersetia pada komitmen rasionalitas. Konsekuensinya, dan ini merupakan maksud dari tesisnya yang kedua, upaya menghadirkan argumen-argumen agama dalam percakapan publik harus dilawan.

Keduanya merupakan posisi epistemik para pemikir sekuler sejati sejak era Renaisans Eropa, apalagi setelah George Jacob Holyoake memberi nama posisi ini 'sekularisme' di akhir abad ke-18. Buat mereka yang mengenal sosok Rocky sebagai pemikir dan akademisi sejak lama, pernyataan dalam pidato di atas hanyalah percikan kecil dari gagasan-gagasan sekulernya.

Tak sampai sewindu sejak pidatonya itu, Rocky justru menjadi juru bicara “akal sehat” bagi kalangan yang dikritiknya dengan ketus: kaum islamis. Ia bukan sekadar merapat kepada mereka dalam suatu kalkulasi strategis, tetapi bahkan banyak menjilat ludahnya sendiri. “Teokratisasi institusi-institusi publik” yang dilakukan kaum islamis di Monas dalam rangkaian Aksi Bela Islam dipuji Rocky sebagai "Monumen Akal Sehat"—sebuah pelesetan atas Monumen Nasional.

Ia juga memuji Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di banyak kesempatan, seperti dengan frasa “Partai Kehendak Semesta” atau “Saya mencintai PKS karena PKS mencintai Indonesia.” Ketika Rizieq Shihab pulang ke Indonesia, Rocky menyebutnya sebagai pulangnya sebuah "janji perubahan." Dalam ukuran premis-premis sekuler, partai politik atau sosok pemimpin paramiliter berbendera agama adalah upaya nyata teokratisasi.

Apa yang terjadi pada Rocky hanyalah satu contoh karikatural mengenai wacana gagah bernama 'sekularisme' yang takluk kepada realitas masyarakat Indonesia, setidaknya sampai hari ini. Menurut Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011), "saham keagamaan" sudah begitu kuat dalam pembentukan kebangsaan sehingga para pendiri bangsa yang terdidik secara sekuler pun “… tidak bisa membayangkan ruang publik yang hampa Tuhan.”

Jika berpatokan kepada sejarah dan realitas politik hari ini, sampai beberapa masa ke depan kondisi itulah yang seakan-akan menjadi takdir bagi Indonesia.

Anatomi Ringkas Sekularisme

Holyoake mendefinisikan sekularisme dalam English Secularism: a Confession of Belief (1896) sebagai “Seperangkat tanggung jawab yang berkaitan dengan kehidupan ini, berdasarkan pada pertimbangan yang murni manusiawi.”

Melalui definisi itu, Holyoake menyasar mereka yang sudah menganggap teologi sebagai hal tak jelas karena tidak dapat didefinisikan atau tak lagi memadai bagi perkembangan zaman. Teologi, khususnya teologi kristianitas, bagi Holyoake, sudah tidak lagi bisa diandalkan apalagi dipercaya. Historiografi filsafat Barat memang mencanangkan Renaisans (abad ke-17) dan Pencerahan (abad ke-18) sebagai kurun bagi tumbuhnya asas-asas sekularisme. Cara Holyoake mendefinisikannya membuat asas-asas itu memiliki tubuh dan nama.

Nama lain dari sekularisme di Perancis, laicitē, bahkan tumbuh bersama kejengkelan rakyat setiap kali berurusan dengan institusi gereja. Secara bertahap sejak Revolusi Perancis (1789-1799) hingga awal abad ke-20, Perancis melucuti wewenang gereja hingga tak tersisa sama sekali. Para filsuf Perancis memang sudah lebih dulu memikirkan suatu pandangan dunia sekuler, sejak Descartes (subjek rasional dan otonom), Spinoza (agama liberal yang demokratis), hingga Rousseau (kontrak sosial yang rasional). Semuanya memberi bekal intelektual sehingga Revolusi Perancis menjadi sangat bertenaga.

Sejak itu, sekularisme menjadi arus utama dalam pelbagai percakapan mengenai kebudayaan modern, baik soal politik, norma, maupun ilmu pengetahuan. Arus itu mengalir deras sampai ke negeri-negeri muslim, di mana bangsa-bangsa Eropa melangsungkan praktik kolonialisme. Ketika memasuki kondisi pascakolonial, negeri-negeri muslim berhadapan dengan ambivalensi dalam menyikapi sekularisme: menolak atau menerimanya.

Pada konteks ini, contoh paling benderang dalam penerimaan atas sekularisme tentu saja Turki sejak era Ataturk hingga pra-Erdogan, yang menelan bulat-bulat konsep laicitē. Negeri-negeri muslim lain, termasuk Indonesia, juga menghadapi persoalan ini. Mereka bahkan turut memperdebatkan konsep-konsep modern lain yang dianggap sebagai turunan langsung sekularisme seperti nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan sains modern.

Kalangan islamis lantas memberikan respons beragam atas fenomena ini. Ada yang menanggapinya dengan moderat seperti menerima demokrasi sebagai sarana memperjuangkan gagasan, tetapi tak sedikit yang secara ekstrem menyatakan perang terhadap pemerintahan yang demokratis dan menyebut mereka telah murtad. Ketegangan itu terus berlangsung hingga sekarang, seiring dengan meningkatnya masyarakat (dan pemerintahan) muslim yang tertarik dengan sekularisme, termasuk dengan perkembangan liberalisasi pemikiran Islam.

Bagi Syed Muhammad Naquib al-Attas, cendekiawan muslim asal Malaysia, tantangan terbesar sekularisme bukanlah pada dimensi politiknya, melainkan pada dimensi filosofisnya. Suatu negara yang menganut sekularisme tak serta-merta bertentangan dengan cita-cita Islam, karena lawan sekularisme adalah teokrasi sedangkan Islam tak mengenal sistem itu.

Dalam Islam and Secularism (1978), al-Attas membedah anatomi sekularisme sejak akar katanya, 'saeculum' dan 'mundus'. Keduanya merupakan penanda bagi waktu ‘kini’ dan tempat ‘di sini’. Setiap istilah itu digunakan untuk mengidentifikasi diri: seseorang mencukupkan kesadarannya hanya pada ‘kekinidisinian’, sehingga menghentikan pembicaraan tentang alam dan waktu yang lain. Dalam Islam, meski istilah 'al-dunya' juga mencakup dimensi kekinidisinan, arti dasarnya adalah ‘sesuatu yang dirasa dekat’ dan tak terpisah secara ontologis dari ‘yang-jauh’: akhirat dan, pada akhirnya, Tuhan.

Ketika istilah ini menjadi penanda bagi proses historis, yakni sekularisasi, al-Attas dengan mengacu kepada Harvey Cox memaparkan ketiga dimensinya, yakni penghilangan pesona atas alam, pelucutan kesucian politik, dan penghapusan atas unsur kesucian pada nilai-nilai kehidupan. Islam beririsan dengan dua yang pertama karena juga menolak kuasa magis dan mitologis atas alam serta menolak segala klaim politik yang mengatasnamakan Tuhan.

Tetapi, Islam tak memandang alam sebagai fakta material kering karena secara ontologis alam adalah ‘alamat’ yang harus dibaca dengan ilmu sehingga mengantarkan manusia pada al-‘Alim (Yang Berilmu, salah satu nama Allah). Dalam bahasa Arab, istilah-istilah itu memiliki akar kata yang sama, ‘ain-lam-mim. Para sufi bahkan menyebut alam, yakni segala sesuatu selain Allah, sebagai 'tajalli' (penampakan-diri) Tuhan. Dalam dirinya, alam tak punya kesakralan, tetapi ia menjadi sakral ketika dikenali sebagai alamat menuju Allah.

Dalam urusan politik, Islam memang tak menentukan sistem baku apalagi teokrasi, tetapi nilai-nilai Islam tetap menjadi tujuannya. Inilah yang membuat sebagian islamis menerima, bahkan berusaha "mengislamkan", demokrasi sebagai sistem dan nilai. Premis ini juga yang membuat setiap klaim manipulatif atas nama Islam, terutama yang datang dari aktor politik, dapat digugat bahkan dibatalkan oleh umat.

Pertentangan paling tajam terjadi di dimensi terakhir, yakni nilai. Berbeda dengan arus sekularisasi, tradisi Islam memiliki istilah ‘yang tetap’ (tsawabit) dan ‘yang berubah’ (mutaghayyirat) terkait nilai-nilai, sehingga tak membiarkan nilai-nilai kehidupan melaju tanpa henti, apalagi tanpa telos (tujuan) seperti asumsi pascamodernisme. Kondisi tanpa telos ini, menurut al-Attas, hanya membuat seseorang memaknai kehidupan secara tragis.

Sekularisme Wajah Lain

Dimensi-dimensi sekularisasi di atas, dan sekularisme sebagai gagasan politis maupun filosofis, hidup di tengah masyarakat Indonesia hingga sekarang. Bermula dari politik pengetahuan kolonial, sekularisme menjadi wacana mengasyikkan bagi para pemikir bebas dari Sutan Takdir Alisjahbana sampai Sukarno.

Meski tubuhnya adalah negara-bangsa modern, Indonesia menemukan nasionalismenya pada apa yang disebut Jeremy Menchik sebagai 'Nasionalisme Berketuhanan'. Dalam bukunya, Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism (2015), Menchik bahkan menemukan fakta unik, yakni pengaruh ortodoksi organisasi-organisasi Islam dalam nasionalisme Indonesia. Perjumpaan dengan kelompok Kristen dan "aliran sesat" membuat ormas-ormas Islam memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga Indonesia dari anasir-anasir itu.

Perjalanan Indonesia modern lantas menunjukkan bagaimana Orde Lama, Orde Baru, dan masa Reformasi memiliki kondisi tenang dan tegangnya sendiri setiap berurusan dengan kekuatan politik Islam. Di sisi lain, hampir semua rezim membutuhkan legitimasi islami agar kepentingan politik mereka bisa berjalan. Seperti ungkapan Yudi Latif di atas, mereka tak pernah sampai pada bayangan ruang publik yang benar-benar hampa Tuhan. Kondisi ini lantas mencorengkan arang di dahi mereka dengan bentuk sekularisme lain: pragmatisme berwajah agama.

Di masa Orde Lama, partai-partai berhaluan nasionalis sekuler merangkul basis massa Islam. Bahkan PKI juga melakukan langkah ini. Dalam skripsi di IAIN Salatiga bertajuk Relasi Islam dan Komunis: Dinamika Pemikiran Sang Kyai Ahmad Dasuki di Surakarta Tahun 1910-1965 (PDF), Anisa Septiana Setyaningrum menjelaskan bagaimana PKI menempatkan salah satu wakilnya di Konstituante yang berlatar belakang santri, yakni K.H. Achmad Dasoeki Siradj. Ia bertugas untuk menangkis argumentasi keislaman tokoh-tokoh Masyumi dan NU di forum yang sama, sekaligus memberikan justifikasi teologis bagi gagasan PKI dan ide negara sekuler.

Pada tingkat individual, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan para pendiri bangsa lainnya memiliki pandangan dan sikap religius masing-masing. Dalam suatu kesempatan, Sukarno tak canggung menggunakan istilah nasionalisme sebagai “perkakasnya Tuhan”, bahkan “Nasionalisme Tauhid.” Hatta mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia di akhir karier politiknya, sedangkan Tan Malaka percaya bahwa Komunisme Internasional perlu bersekutu dengan kekuatan Pan-Islamisme.

Infografik Sekularisme

Infografik Sekularisme

Lain Orde Lama, lain pula Orde Baru. Soeharto sempat memberi angin segar bagi kelompok islamis. Bermula dari kerja sama yang kompak dalam menumpas PKI dan semua orang yang dituduh berafiliasi dengannya, kaum islamis berharap Orba bersedia merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan oleh Sukarno karena terlibat PRRI. Harapan itu kandas. Alih-alih memenuhi harapan mereka, Orde Baru justru membentuk partai baru, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan menaruh banyak pendukung Soeharto di dalamnya. Tak lama setelah itu, Parmusi dan partai-partai Islam lain bahkan dipaksa berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan.

Kondisi ini membuat kelompok islamis memeras otak untuk menyiasati keadaan. Hasil yang paling siginifikan karena mengubah jalan sejarah adalah gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid, sosok yang menyandang julukan Natsir Muda. Babak baru perdebatan para pemikir mengenai sekularisasi dan sekularisme dimulai sejak pidato Nurcholish yang terkenal itu. Pardoyo dalam Sekularisasi dalam Polemik (1993) mencatat prediksi Sosiolog UI, Selo Soemardjan, di akhir 1980-an bahwa Indonesia akan mengalami sekularisme di tahun 2012, juga mengundang polemik.

Terlepas dari wacana para pemikir di atas, Orde Baru tetap tak melewatkan kesempatan untuk menggarap suara umat Islam. Mereka sempat berwajah sangat sekuler dengan pelbagai kebijakan dan usaha politik seperti larangan jilbab, memasukkan Aliran Kepercayaan ke dalam GBHN, menetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, dan pendekatan represif terhadap kekuatan politik Islam—beberapa di antaranya berujung pembantaian. Tapi Soeharto, pada awal 1990-an, lantas melihat kelompok Islam sebagai sumber dukungan baru, terlebih setelah kelompok Katolik meninggalkannya sebagai kritik atas otoritarianisme.

Bahtiar Effendy dalam Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (2009) mencatat tarik-ulur kepentingan Orde Baru dan kelompok Islam. Meski tampak dijinakkan Orba, kelompok Islam banyak memanfaatkan peluang mendekati dan memengaruhi rezim, baik melalui PPP maupun Golkar. Effendy mencatat tiga pertimbangan mereka, yakni karena Golkar adalah organisasi politik terbesar dan terkuat; memberikan kesempatan bagi para aktivis Islam untuk “mengekspresikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka”; dan beberapa agenda sosial, ekonomi, dan politik Golkar yang mulai menunjukkan indikasi selaras dengan prinsip Islam.

Entah siapa menaklukkan siapa dalam tarik-ulur itu. Yang pasti, keadaan ini memuluskan jalan bagi tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam berislam secara kultural, seiring dengan nasib politik Islam secara simbolik yang belum berhasil meraih kejayaan. Tokoh-tokoh organisasi Islam, terutama dari NU dan Muhammadiyah, menjadi aktor penting yang mengantarkan Indonesia menuju Reformasi, tanpa kendaraan partai Islam. Mereka, seperti Gus Dur dan Amien Rais, bahkan tak mendirikan partai Islam setelah Orba tumbang.

Para akademisi kemudian berlomba-lomba menganalisis gejala ini. Salah satu yang analisisnya jitu adalah Anies Baswedan. Dalam artikel jurnal bertajuk “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory” di Asian Survey (2004), ia memperkenalkan istilah Islam-friendly Parties, yang terdiri dari Islamist (PKS, PPP, dan PBB), Islam-inclusive (PAN dan PKB), serta Secular-inclusive (Golkar). Dengan menyebut Golkar sebagai bagian dari “Islam Politik” meski masih bersifat sekuler, Anies hendak menunjukkan kesinambungan keterlibatan pelbagai aktivis Islam di tubuh Golkar sejak Orba.

Semenjak saat itu, kampanye partai politik yang kian meriah tak pernah meninggalkan isu sentimen agama, setajam apapun kritik para pemikir sekuler terhadap mereka. Pecahan Golkar seperti Demokrat, Hanura, Gerindra, dan NasDem memainkan rumusan yang sama untuk menggaet suara pemilih muslim. PDIP juga tak tinggal diam mengambil kesempatan ini, seperti dengan memuluskan bahkan merumuskan Perda Syariah di beberapa daerah dan menjadikan ulama karismatik, K.H. Ma’ruf Amin, sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2019. Di akar rumput, jargon keislaman bertebaran pada setiap pemilu.

Wajah politik sekuler termuda, Partai Solidaritas Indonesia (PSI—yang akronimnya mengingatkan kita kepada partainya Sutan Sjahrir di tahun 1950-an), tertular gaya yang sama. Partai yang dihuni tokoh muslim liberal seperti Guntur Romli ini memulai debut politik dengan menolak Perda Syariah dan sentimen agama, tetapi secara tipis-tipis menggunakannya juga. Di Jakarta Selatan, caleg PSI Tsamara Amany Alatas, misalnya, menggunakan kerudung di banyak baliho kampanyenya. Guntur Romli sendiri memasang foto kiai dan predikat santri kala berkampanye di Dapil Jatim III.

Godaan politis di tengah "takdir" Indonesia yang religius ini menjadi sumbatan tebal bagi para sekularis. Tetapi, daripada menjilat ludah sendiri seperti Rocky Gerung, pendukung-pendukung sekularisme di Indonesia lebih baik bersabar memperjuangkan keyakinan. Paling tidak, mereka masih bisa "menjual" sekularisme sebagai wacana di kampus, jurnal ilmiah, diskusi online dan offline, serta media-media massa.

==========

Ismail Al-'Alam adalah alumnus Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina. Saat ini menjadi Manajer Program Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara dan Rumah Pengetahuan Amartya. Ia bermukim serta melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait SEKULARISME atau tulisan lainnya dari Ismail Al-‘Alam

tirto.id - Politik
Penulis: Ismail Al-‘Alam
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->