Menuju konten utama

Mengapa Foto Jepretan Sony Dianggap Keliru & iPhone "seimbang"?

Penglihatan, atau persepsi visual, merupakan kemampuan untuk mendeteksi cahaya dan menafsirkannya.

Mengapa Foto Jepretan Sony Dianggap Keliru & iPhone
Ilustrasi Color Science. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sepanjang 2020 lalu, lebih dari 115 juta unit kamera terjual di seluruh dunia, dengan Canon sebagai merek paling populer. Canon, merujuk data Statista, menggenggam 45 persen pangsa pasar kamera, unggul jauh dibandingkan Sony dan Nikon yang hanya memperoleh 20 dan 19 persen ceruk bisnis kamera.

Canon dipandang merek paling top di dunia kamera karena menghasilkan foto dengan kualitas warna yang relatif lebih unggul dibandingkan yang lain. Akurasi warna yang dihasilkan juga tak berbeda jauh dengan objek yang dipotret. Usman Dawood, yang membandingkan jepretan Canon dan Sony untuk PetaPixel, menyebut foto-foto yang dihasilkan kamera Sony menghasilkan warna kulit (skin tones) yang lebih kejingga-jinggan dibandingkan aslinya, sementara foto yang dihasilkan Canon "lebih alamiah". Ketika memotret objek berwarna ungu, Sony menampilkan warna yang "lebih condong mendekati warna biru, sementara Canon tidak". Tatkala Sony dan Canon memotret pisang cavendis, "foto yang dihasilkan Canon terlihat lebih hidup, sedangkan Sony lebih condong ke warna hijau dan tampaknya tidak dapat mewakili rona kuning secara efektif".

Secara umum, meskipun objek yang difoto sama, ada kesan "berbeda" dari foto yang dihasilkan Canon, Nikon, Sony, Fujifilm, Leica, atau berbagai kamera ponsel. Fujifilm, misalnya, dianggap menghasilkan foto dengan warna yang lebih "hangat", sementara Leica dianggap menghasilkan "masterpiece" dan Hasselblad diyakini menghasilkan foto yang "sebenar-benarnya". Di sisi lain, Samsung Galaxy S21 Ultra diklaim menghasilkan foto yang "tajam", sementara iPhone 11 Pro Max menghasilkan gambar dengan kualitas "warna yang lebih seimbang dan rentang dinamis yang lebih baik". Tak ketinggalan, berbagai ponsel bikinan perusahaan Cina acap kali dituduh menghasilkan foto yang "berlebihan", membuat wajah yang biasa-biasa saja menjadi lebih ganteng atau cantik.

Tentu, ada alasan di balik penilaian subjektif pada foto yang dihasilkan berbagai merek kamera. Secara mendasar, sebuah foto bisa "hangat", "tajam", "warnanya seimbang", "alamiah", dan "masterpice" karena mata manusia juga subjektif menilai warna.

Dengan penilaian subjektif inilah kamera diciptakan manusia.

Color Science

"Penglihatan, atau persepsi visual, merupakan kemampuan untuk mendeteksi cahaya dan menafsirkannya," tulis Mukul Sarkar dalam bukunya berjudul A Biologically Inspired CMOS Image Sensor (2012). Sementara itu, Kassia St Clair, dalam The Secret Lives of Colour (2016), menyatakan warna sebagai pondasi utama dari cara "manusia dan makhluk hidup lainnya merasakan dunia". Cahaya dan warna merupakan satu kesatuan, karena melalui cahaya, warna tercipta. Melalui warna, makhluk hidup (terutama manusia) akhirnya dapat menafsirkan apa yang mereka saksikan dengan mata kepala.

Namun, apa itu warna sesungguhnya?

Segala objek yang terlihat oleh mata merupakan buah dari pantulan cahaya dari permukaan objek yang mengenainya. Masalahnya, setiap objek memproses cahaya dengan berbeda rupa. Demikian juga cahaya yang memiliki spektrum yang berbeda-beda. Terungkapnya perbedaan spektrum cahaya ini kali pertama digaungkan oleh Isaac Newton.

Merujuk buku berjudul The Science of Color (edisi kedua, 2003) karangan Steven K. Shevell, Newton menemukan "phaenomena of color". Kala itu, pada abad ke-17, Newton bereksperimen dengan menembakkan cahaya matahari pada prisma kaca segitiga. Tatkala cahaya matahari mengenai prisma, Newton lantas menembakkan cahaya tersebut ke prisma kedua, dan membuat cahaya matahari tersebut sangat membias. Dari pembiasan yang luar biasa itu, sebagaimana terangkum dalam karyanya berjudul Opticks, Newton menemukan fakta bahwa cahaya memiliki spektrum warna (visible light)--yang timbul dari satu panjang tertentu gelombang elektromagnetik. Bukan hanya satu--putih seperti yang diyakini kalangan ilmuwan sebelum dirinya, tetapi cahaya menghasilkan tujuh spektrum warna, yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, indigo, dan violet (terkadang, violet dianggap sebagai "biru" merujuk pada pantun lawas Eropa: "Roses are red, violet are blue"). Dari ketujuh warna tersebut, merah, hijau, dan biru (RGB) merupakan warna dasar (primary color) dan warna-warna lainnya adalah "warna tambahan". Warna dasar merupakan warna yang tidak dapat dihasilkan dari mencampur-adukkan spektrum cahaya. Warna tambahan tercipta atas percampuran spektrum warna dasar. Jingga, misalnya, adalah campuran merah dan kuning.

Menurut The Secret Lives of Colour, ketika cahaya (dan berbagai spektrum warna yang dibawanya) menimpa objek, objek memperlakukannya secara berbeda. Di satu sisi, sebuah objek menyerap salah satu atau sebagian spektrum warna yang mengenainya, dan memantulkan satu atau sebagian spektrum lain. Di sisi lain, sebuah objek hanya menyerap secuil spektrum warna yang mengenainya, dan memantulkan secuil lainnya. Tomat, misalnya, menyerap spektrum berwarna biru, ungu, hijau, kuning, dan jingga (panjang gelombang spektrum warna ini berukuran pendek dan menengah), dan memilih memantulkan spektrum berwarna merah (spektrum yang memiliki ukuran gelombang terpanjang). Maka, dari spektrum yang dipantulkan tomat ini, manusia menafsirkan bahwa tomat berwarna merah--dengan menihilkan intensitas cahaya yang menerpa objek (misalnya, tomat dilihat dalam ruangan terang atau redup).

(Catatan: Anda dapat melihat perbedaan panjang gelombang warna di sini)

Tentu, suatu objek ditafsirkan manusia berwarna merah, kuning, atau hijau tidak semata-berkat hukum-hukum fisika. Kembali merujuk buku yang ditulis Clair, tatkala cahaya masuk ke dalam bola mata manusia, cahaya diproses sensor peka cahaya bernama "rod" (sel batang), yang berfungsi membedakan terang dan gelap, dan "cone" (reseptor), yang sangat peka warna. Dalam mata manusia, rata-rata terkandung 120 juta sel batang dan enam juta reseptor. Ketika cahaya yang dipantulkan tomat menerpa mata, misalnya, reseptor yang peka terhadap merah terangsang, dan sinyal rangsangan ini diterima otak--hingga otak berpikir bahwa tomat berwarna merah. Masalahnya, tiap-tiap manusia hanya memiliki satu dari tiga bentuk reseptor. Dan perbedaan bentuk reseptor ini berkorespondensi dengan ukuran spektrum/gelombang warna yang dapat diterima, yakni 440 nanometer (nm), 530 nm, dan 560 nm. Jika Anda akrab dengan color picker misalnya, #ed0e0e, #b80d0d, dan #fa4646 semuanya dapat dianggap sebagai warna merah, tetapi sesungguhnya berbeda.

Proses fisika-biologi yang menggiring manusia memahami warna dengan subjektif ini dibawa dalam penciptaan sensor kamera.

The Science of Color menyebut sensor kamera sebagai teknologi bikinan manusia yang berfungsi menangkap spektrum elektromagnetik/gelombang warna dari cahaya hasil pantulan objek. Umumnya, sensor kamera mengandung tiga sub-sensor yang fokus pada spektrum berbeda. Dari spektrum yang tertangkap, kamera menerjemahkannya ke dalam bentuk data, dan akhirnya menggunakan data tersebut untuk mereproduksi gambar dari suatu objek.

Infografik Spektrum Warna

Infografik Spektrum Warna. tirto.id/Fuad

Hingga hari ini, terdapat dua sensor kamera yang umum terpasang pada DSLR/mirrorless/ponsel, yakni charge couple device (CCD) dan complementary metal oxile semiconductor (CMOS). Diciptakan pada 1969 oleh George Smith dan Williard Boyle ketika mereka bekerja untuk Bell Labs, CCD awalnya dibuat sebagai media penyimpanan, mirip seperti hard disk HDD atau SSD, bukan sensor kamera. Namun, karena CCD dibuat dengan menggunakan wafer kristal silikon (nama "wafer" tercipta karena benda ini berbentuk lempengan tipis berbentuk lingkaran.

Umumnya wafer terbuat dari kristal silikon) tipe p atau n, yang pas untuk menyimpan data. Namun, ternyata di dalamnya terkandung pula metal-oxide-semiconductor sehingga memiliki kemampuan bak kapasitor. Dalam dunia elektronik, kapasitor berfungsi seperti baterai, yakni menyimpan listrik. Pada metal-oxide-semiconductor, benda ini menyimpan cahaya--menyimpan berbagai spektrum warna. Selain itu, dalam CCD, terbagi array, kotak piksel yang berguna mendeteksi satu per satu cahaya yang mengenainya, dari ujung atas hingga ujung bawah. Persis seperti Anda membaca artikel ini, dari huruf yang tercetak di ujung kiri atas hingga huruf yang termuat di ujung kanan bawah.

Merujuk apa yang ditulis Sarkar, cahaya hasil refleksi suatu objek ditembakkan pada CCD melalui optik, lensa. Cahaya yang diterima CCD tersebut termuat dalam photon (foton)--partikel dasar yang membawa radiasi elektromagnetik seperti cahaya. Tatkala foton diterima, CCD melakukan dua tugas utamanya. Pertama, mengubah foton menjadi electron-hole pair. Dalam dunia fisika, electron-hole sendiri merupakan frasa yang merujuk pada kekurangan/ketiadaan elektron (soal elektron, ingat pelajaran SMP/SMP tentang bagaimana arus listrik dihasilkan).

Sementara itu, tambahan makna "pair" secara sederhana merupakan reaksi terciptanya arus listrik gara-gara electron-hole. Ingat, CCD dibuat dengan semikonduktor yang jelas-jelas mengandung valance band dan conduction band, dua benda yang berfungsi seperti PLN: menciptakan arus listrik atas perpindahan elektron. Saat foton yang memuat spektrum warna itu diterima, arus tercipta (dan tiap-tiap warna memiliki temperatur panas dan ini menyebabkan mengapa listrik dapat timbul). Usai arus listrik tercipta, CCD melakukan tugas keduanya, yakni mengubah electron-hole pair menjadi voltase yang kemudian menghasilkan data. Data kemudin diubah ke dalam bentuk binari untuk dikelola oleh algoritma sehingga menentukan, misalnya, warna hijau di sudut atas foto dan biru di sudut bawah foto.

(Catatan: soal hubungan antara warna dan temperatur, Anda dapat membaca tanya jawab di sub-forum fisika yang ada di StackExchange)

CMOS bekerja dengan melewati penerjemahan electron-hole pair menjadi voltase. Sederhananya, CMOS mem-bypass electron hole pair langsung menjadi data.

Ya, proses bagaimana kamera menghasilkan foto memang mirip seperti cara manusia melihat. Masalahnya, proses kamera menghasilkan foto tak berakhir di situ. Foto tomat berwarna merah yang dipotret misalnya, baru dianggap benar sebagai foto tomat tatkala mata manusia memang menganggapnya sama atau identik dengan apa yang dilihat. Para teknisi kamera mengkalibrasi kamera dengan matanya sendiri, menuntun pada kamera bahwa objek ini berwarna merah dan objek itu berwirna biru. Kembali ke atas, mata melihat objek dengan subjektif dan akhirnya kamera pun menghasilkan foto yang subjektif.

Baca juga artikel terkait KAMERA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf