Menuju konten utama
14 Agustus 2000

Mengapa Anak-Anak Menggemari Dora the Explorer?

Bocah berponi.
Ransel, peta, dan jejak
rubah pencuri.

Mengapa Anak-Anak Menggemari Dora the Explorer?
Dora the Explorer. tirto.id/Sabit

tirto.id - Kepada siapa kita bertanya saat kita tidak tahu arah?

[Jeda]

Peta! Benar! Katakan Peta!

[Jeda]

Katakan Peta! Katakan Peta!

[Muncul Peta, lalu Peta bernyanyi]

Kalau kau mencari tempat akulah orang yang tepat. Aku Peta! Aku Peta! Aku Peta!

Potongan dialog di atas diucapkan Dora dalam serial televisi Dora the Explorer. Bagian jeda disediakan bagi penonton untuk merespon pertanyaan Dora. Dialog macam ini—yang muncul saat Dora bertanya kepada penonton—akan diulang-ulang dan barangkali membikin penonton dewasa jengkel. Namun, tidak demikian bagi target penontonnya: anak-anak prasekolah berusia 2-5 tahun.

Dora the Explorer memang aneh. Tapi ia sangat menarik.

¡Hola! ¡Soy Dora!

Dora the Explorer adalah serial animasi televisi anak-anak milik jaringan televisi kabel Nickelodeon. Ide cerita dan karakternya dibuat oleh Chris Gifford, Valerie Walsh, dan Eric Weiner. Serial ini ditayangkan pertama kali di Amerika Serikat pada 14 Agustus 2000, tepat hari ini 18 tahun lalu.

Karakter utamanya adalah Dora Marquez, seorang gadis Latina berusia 7. Dora menggunakan keterampilan pemecahan masalah, pengetahuan bahasa Spanyol, ketangkasan, dan kecerdasan untuk menaklukkan rintangan dan mencapai tujuan.

Penampilan Dora serba cokelat. Matanya cokelat besar dengan potongan rambut bob cokelat gelap dan berkulit cokelat. Setelan pakaiannya selalu sama: kaos pink, celana pendek oranye, kaus kaki kuning, sneakers putih, dan ransel ungu yang bisa bicara. Ia ditemani Boots—seekor monyet yang, tentu saja, hanya memakai sepatu boots

Di awal tiap episode, Dora menghadap penonton dan memperkenalkan dirinya: "¡Hola! ¡Soy Dora!"

Ya, Dora menguasai bahasa Spanyol, selain bisa bicara Inggris. Serial Dora the Explorer memang memberi isyarat bahwa Dora bilingual. Pada 2010, serial ini telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa.

Pendekatan Parasosial

Sebagian besar tayangan dalam serial itu menggambarkan Dora bicara langsung ke penonton dan bertanya-tanya dengan lantang bagaimana “kita” akan menyelesaikan tantangan.

Dalam penelitian Erin L. Ryan berjudul “Dora the Explorer: Empowering Preschoolers, Girls, and Latinas” (2010) disebutkan, penggunaan kata “kita” mengimplikasikan bahwa penonton merupakan bagian dari cerita. Anak-anak prasekolah mungkin percaya mereka ikut ambil bagian dalam memecahkan masalah Dora—sebuah keyakinan yang secara positif berpotensi memengaruhi harga diri dan kepercayaan diri para penontonnya.

Adanya jeda dalam percakapan Dora dimaksudkan untuk mendorong penonton menanggapi secara lisan pertanyaan yang diberikan Dora dan kawan-kawan. Terang, Dora ingin penonton masuk dalam tiap langkah perjalanannya. Cara Dora menghadap dan berbicara langsung ke audiensnya menciptakan dan membangun ikatan emosional antara karakter Dora dan penonton anak.

Karakter lain juga bicara langsung kepada penonton. Boots, Peta, dan Ransel, misalnya, berperan mendorong penonton untuk membantu Dora dan memuji penonton ketika sukses membantu Dora. Interaksi yang melibatkan audiens anak dalam tiap keputusan menciptakan ilusi bahwa merekalah yang mengarahkan karakter Dora dan kawan-kawan.

Tak cuma mengajak bicara, Dora juga meminta penonton untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik. Dora mengarahkan penonton untuk bangun dan bergerak. Menurut Erin L. Ryan, penggunaan gerakan fisik audiens untuk membantu Dora mengatasi rintangan tampaknya mengomunikasikan kepada anak-anak prasekolah bahwa tindakan mereka penting.

Dalam serial program televisi anak, interaksi Dora dengan penontonnya disebut sebagai parasosial. Menurut Alexis R. Lauricella dan kawan-kawan dalam penelitian mereka (2011), parasosial disimulasikan dengan menampilkan karakter di layar kaca yang bicara langsung ke penonton. Teknik dan pendekatan ini dipelopori Fred Rogers di Mister Rogers Neighborhood, lalu diikuti Blue’s Clues dan Dora the Explorer.

Masih meurut Lauricella dan kawan-kawan, dengan menggunakan teknik yang menciptakan ilusi rasa kontingensi antara tindakan anak dan karakter, jeda periodik dibangun sehingga karakter bisa secara langsung menangani audiens. Karakter menunggu anak untuk membalas, dan kemudian bertindak seolah-olah anak itu melakukan balasan.