Menuju konten utama

Mengapa 'African Spring' Tak Mampu Sesukses 'Arab Spring'?

Demokrasi dipandang esensial bagi sebagian besar rakyat Afrika. Namun, perwujudan melalui revolusi seperti 'Arab spring' masih diganjal sejumlah faktor. Apa saja?

Mengapa 'African Spring' Tak Mampu Sesukses 'Arab Spring'?
Warga Zimbabwe merayakan mundurnya Presiden Robert Mugabe di Harare, Zimbabwe (21/11/17). REUTERS / Mike Hutchings

tirto.id - Gelombang revolusi menyapu Tunisia, Mesir, Libya Yaman, Suriah, hingga Bahrain sepanjang akhir tahun 2010 hingga 2012. Media menyebutnya 'musim semi Arab' ('Arab Spring'), sebuah era di mana gerakan akar rumput di negeri-negeri Arab menuntut agar demokratisasi politik dimulai, dibarengi perbaikan di bidang hak asasi manusia, perbaikan ekonomi, serta penghapusan korupsi, kleptokrasi, hingga sektarianisme.

Kini delapan tahun berselang, negeri-negeri Afrika masih banyak yang mengalami kondisi politik-ekonomi menjelang Arab Spring. Kendati latar geopolitiknya adalah dunia Arab, secara geografis, Arab Spring lahir dari rahim masyarakat Afrika Utara: pertama di Tunisia, disusul Mesir, kemudian Libya. Di luar kawasan Afrika Utara, riak-riak pembangkangan akar rumput telah bermunculan sejak beberapa tahun lalu. Pertanyaannya, apakah mereka berhasil menurunkan rezim atau mendesak tuntutan-tuntutan perbaikan sistemik dalam tata kelola politik dan ekonomi seperti yang diharapkan?

Dua tahun silam muncul protes menuntut perbaikan gaji di Gabon, Pantai Gading, dan Ghana. Demonstrasi berujung kerusuhan meletus da Afrika Selatan dan Zambia bersamaan dengan protes-protes politik di Kenya, Zimbabwe, dan Ethiopia. Pada Akhir 2017, demonstrasi massa di Togo dan Republik Demokratik Kongo berakhir bentrok dengan aparat kepolisian.

Laporan Foreign Policy mengisahkan gerakan-gerakan tersebut dengan nada optimis, karena didukung oleh menjamurnya media-media independen yang kritis kepada pemerintah, makin dewasanya lembaga-lembaga pemerintahan dalam bekerja, hingga eksistensi LSM-LSM yang mulai berani menuntut transparansi pemerintah terkait pengelolaan pajak dan keuangan—meski masih rajin direpresi.

Baca juga: Mengapa Afrika Terus Diguncang Kudeta Militer?

Pada tahun 1980-an hanya ada beberapa negara di Afrika yang menerapkan kebebasan pers. Namun, kini media telah menjadi salah satu bagian penting dalam upaya menuju esensi demokrasi, yakni soal kebebasan mengeluarkan pendapat kritis kepada otoritas, di banyak negara. Antara lain di Botswana, Ghana, Afrika Selatan, Tanjung Verde, Komoro, Burkina Faso, Niger, Lesotho, Kenya, dan Pantai Gading.

Terjadi semacam pertarungan generasi, di mana pemerintah mewakili generasi tua yang cenderung konservatif, sementara tukang protes didominasi kaum muda yang membawa semangat perubahan.

Populasi Afrika tergolong dalam masyarakat yang paling cepat berkembang. Lingkungan urban kian sesak dengan orang-orang muda. Melek teknologi dan media sosial membuat komunikasi mereka lebih dinamis—termasuk untuk konsolidasi-konsolidasi politik yang bersumber dari rasa tak puas atas kinerja pemerintah setempat.

Sayangnya, aksi-aksi itu belum mampu melengserkan rezim atau mencapai tuntutan yang diharapkan. 'African Spring', yang digadang-gadang sejak 2011-2012, seharusnya bisa terjadi. Namun mengapa hingga memasuki 2018 situasinya belum berubah?

Baca juga: Game of Thrones ala Mugabe, Soeharto-nya Zimbabwe

Seorang anggota parlemen Tanzania, Hamisi Kigwangalla, punya perhatian khusus perihal topik ini, dan pernah menuliskan pendapatnya di Al Jazeera. Perbedaan mendasarnya, menurutnya, adalah bagaimana demokrasi bekerja di Arab dan Afrika. Sementara Arab masih banyak dikungkung oleh sistem kerajaan atau otokrasi hingga abad 21, demokratisasi sudah dimulai di Afrika sejak 1990an—meski hasilnya belum matang.

Secara politis, situasi seperti itu belum cukup untuk memberikan dorongan revolusi yang kuat dan radikal. Transformasi yang dinanti-nanti dianggap masih bisa dicapai tanpa kekerasan alias mengikuti prosedur yang berlaku. Di beberapa negara, tuntutan-tuntutan yang muncul kerap diakhiri dengan perundingan dan negosiasi antara oposisi dan pemerintah.

Faktor penyebab kedua adalah pertumbuhan kelas menengah yang lambat di negara-negara Sub-Sahara. Arab Spring, menurut Kigwangalla, didorong oleh kelas menengah karena kepentingan mereka terganggu. Barangkali terasa anomali mengingat kelas menengah di di belahan dunia lain biasanya dianggap apolitis. Namun Kigwangalla melihat kelas menengah Afrika pun bisa mendorong lahirnya protes besar—asal jumlahnya cukup, punya pengaruh yang signifikan bagi perekonomian negara, dan kepentingannya terganggu.

Militer juga menjadi pemain penting bagi keberhasilan penggulingan rezim di Timur Tengah. Sementara di negara-negara Afrika militer dan otoritas keamanan sangat loyal kepada pemerintah pusat. Ini dibuktikan dengan kerasnya otoritas keamanan di Afrika merepresi demonstran sehingga pertumpahan darah tak jarang terjadi.

Baca juga: Bisnis Asing Caplok Lahan, Kolonialisme Gaya Baru di Afrika

Di Kenya, misalnya, terjadi kasus extra judicial killing oleh otoritas kepolisian tanpa ada kejelasan penyelesaian kasus, meski keluarga korban menuntut. Di negeri itu, 2016 menjadi tahun paling berdarah, demikian menurut Amnesty International. Sementara Human Rights Watch mencatat ada 60 warga Kenya yang terbunuh antara awal Agustus, periode pemilihan umum, hingga pemilihan ulang pada Oktober 2017. Tak ada yang diinvestigasi hingga tuntas, sementara pemerintah justru memuji tindakan represif tersebut.

Bagi Kigwangalla, 'Arab spring' adalah puncak dari protes-protes yang terjadi secara sporadis dan menyebar daerah-daerah di luar ibu kota. Protes-protes tersebut dianggap sebagai pemanasan, sehingga rezim bisa ditumbangkan dengan menunggu momentum yang tepat. Afrika tak mengalami kondisi yang sama. Lagipula pemimpin negara-negara di Afrika menjadikan 'Arab spring' sebagai pembelajaran agar kekuasaannya aman—lagi-lagi dengan meningkatkan represi.

Sebetulnya, warga Afrika mendambakan dan menikmati demokrasi. Dalam riset Afrobarometer tahun 2016, 67 persen warga Afrika memilih demokrasi ketimbang sistem lainnya. Mayoritas juga menolak sistem otoriter dalam beragam wujudnya, baik itu presiden diktator, pemerintahan militer, atau pemerintahan satu partai.

Baca juga: Afrika Perlu Belajar dari Efek Industri Sawit di Indonesia

Secara demografis riset tersebut menunjukkan bahwa aspirasi demokratis banyak ditunjukkan warga perkotaan, kaum lulusan universitas, dan orang-orang kelas menengah. Sejak diteliti mulai tahun 2002, popularitas demokrasi selalu meningkat, namun mulai terjadi tren penurunan sejak tahun 2012. Positifnya, menurut Afrobarometer, pada masa mendatang demokrasi masih akan jadi sistem pemerintahan yang paling disukai masyarakat Afrika di 26 negara dari total 36, sebagaimana yang terlihat pada tahun 2015.

Aspirasi tersebut, menurut riset Afrobarometer lainnya, baru sekadar pengharapan sebagian orang. Kepuasan terhadap praktik demokrasi di Afrika sepanjang tahun 2011-2013 menurun dari angka 50 persen ke angka 46 persen.

Menurut laporan tahun 2015, hanya 18 persen warga Afrika yang yakin negaranya menerapkan demokrasi. 10 persen lain yakin bukan demokrasi, 27 persen menilai demokrasi tapi dengan sejumlah masalah besar, dan 34 persen lain menyatakan demokrasi dengan beberapa masalah kecil.

Di Zambia, misalnya, mereka yang menganggap pemilihan di negaranya berlangsung bebas dan adil menurun mulai dari titik tertingginya pada tahun 2012 yakni 68 persen, hingga pada tahun 2017 menurun ke angka 49 persen. Mereka yang melihat Zambia sebagai negara demokrasi berada di kisaran 76 persen, dan pada 2017 menjadi 59 persen.

Pada akhirnya, mereka yang puas dengan praktik demokrasi di Zambia mengalami penurunan paling drastis, yakni di angka 86 persen pada 2012 menjadi 60 persen di tahun 2017.

Baca juga: Penyebar Misi Anti-LGBT asal AS Menyerbu Eropa Timur hingga Afrika

Kualitas demokrasi di sejumlah negara menurun karena elite pemerintahannya makin otoriter dan melakukan segala cara agar jabatannya bisa dipegang lebih lama. Dalam catatan John Guthongo untuk Foreign Policy, pada tahun 1990-an, atau usai Tembok Berlin runtuh, muncul 48 konstitusi baru di Afrika tentang pelaksanaan sistem multi-partai; 33 di antaranya memasukkan pembatasan masa jabatan seorang presiden—antara lain dua periode yang masing-masing terdiri dari lima tahun masa pemerintahan.

Para pengamat politik menilai fenomena tersebut akan melahirkan fondasi demokrasi yang menuju kematangan di tahun-tahun setelahnya. Namun pada 2015 terjadi perubahan yang cukup dramatis. Setidaknya ada elite pemerintahan di 24 dari total 33 negara yang berusaha mengubah batasan durasi jabatan, bahkan meniadakannya sama sekali. Setengah di antaranya dilaporkan sukses, antara lain ada di Uganda, Rwanda, dan Burundi.

infografik african spring

Di tempat-tempat lain, rezim yang cenderung otoriter mengakali sistem demokratis dengan pelbagai cara. Ada yang menunda pemilu, sebagaimana yang dilakukan Presiden Republik Demokratik Kongo, ada pula yang mencurangi pemilihan umum dengan sedemikian halus sehingga bisa lolos dari pengawasan lembaga-lembaga pemerhati demokrasi internasional. Jomo Kenyatta telah melakukan manuver itu di negaranya, Kenya.

Baca juga: Dendam dan Kemiskinan Dorong Pemuda Somalia Jadi Teroris

Meski demikian, asa demokrasi di Kenya tetap terjaga karena dua hal: teknologi dan bisnis. Pemerintah tak berani mematikan internet atau media sosial meski kecurangan pemilu dibicarakan secara intensif di dua ruang itu. Kenya punya kelas oligarki yang terdiri rata-rata dari kalangan pebisnis, bukan tentara. Internet dan teknologi menjadi elemen penting yang menjaga ekonomi Kenya yang sudah bertaraf global. Beda nasib dengan Ethiopia atau Uganda. Di dua negara ini, pemerintah mematikan internet dan media sosial.

Di Zimbabwe, turunnya Robert Mugabe bisa menjadi awal kelahiran 'African spring' yang diharapkan sejak lama, demikian menurut Guthongo. Modalnya sebenarnya sudah ada, yakni anak muda yang lebih berpendidikan dan melek terhadap bagaimana demokrasi seharusnya dijalankan.

Mereka gandrung pelaksanaan demokrasi yang ideal karena paham bahwa demokrasi yang baik akan menjadi pondasi bagi pelaksanaan transparansi serta akuntabilitas lembaga negara, penyebaran semangat anti-korupsi, penegakan HAM, penegakan sistem peradilan yang bermutu, hingga memajukan ekonomi negara.

“Demokrasi memang berantakan, dan fase berikutnya dari pertarungan generasi ini pun akan kacau. Tapi pemuda Afrika juga mendefinisikan ulang aturan tentang keterlibatan politik dan akan menentukan masa depan benua itu.” pungkas Guthongo.

Baca juga artikel terkait AFRIKA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf