Menuju konten utama

Mengapa Ada Kesenjangan Kosakata Balita Keluarga Miskin & Kaya?

Ada perbedaan pandangan terkait investasi akademik bagi anak di masa depan di antara orangtua dari keluarga berpenghasilan tinggi dan rendah.

Mengapa Ada Kesenjangan Kosakata Balita Keluarga Miskin & Kaya?
Seorang guru sedang mendongeng kepada murid-murdinya di perpustakaan. Foto/iStock

tirto.id - Perkembangan kosakata adalah proses pemerolehan kata-kata yang dilalui setiap orang. Di usia beberapa bulan bayi mulai mengoceh, lalu berganti ucapan-ucapan tak sempurna, hingga akhirnya mengucapkan kata pertamanya di sekitar usia satu tahun. Proses ini berjalan perlahan. Pada usia 18 bulan, bayi biasanya mengantongi sekitar 50 kata serta mulai mampu mengkombinasikan beberapa di antaranya.

Beragam sumber kata di sekitar si bayi turut membentuk perbendaharaan katanya. Obrolan orang dewasa, tayangan televisi, siaran radio, dan lain sebagainya. Orangtua yang aktif berbicara pada bayinya ikut membantu si bayi dalam mengembangkan kosakata dengan lebih cepat sekaligus lebih kaya. Kebiasaan ini juga berpengaruh besar terhadap kecerdasannya saat ia tumbuh besar atau ketika memasuki usia sekolah.

Pemahaman tersebut mungkin bukan hal baru bagi masyarakat hari ini. Namun, penelitian ilmiah yang menguatkan teori bahwa masa-masa emas bayi belajar bahasa terkait dengan latar belakang finansial keluarga baru dipublikasikan pada pertengahan tahun 1990-an oleh Betty Hart dan Toff Risley, dua akademisi asal University of Kansas, Amerika Serikat.

Baca juga: Potret Anak Indonesia: Lemah Nalar karena Kurang Membaca

Riset Hart dan Risley berlangsung selama satu dekade. Mereka mengunjungi 42 keluarga dari latar belakang kaya dan miskin di Kansas sebagai responden penelitian. Hart dan Risley menemukan korelasi antara jumlah kata yang dihasilkan anak usia 3 tahun di ke-42 keluarga dan tingkat kesuksesan akademiknya pada usia 9 tahun. Pada usia 3 tahun, ditemukan data bahwa anak dari keluarga kaya memiliki koleksi 30 kata lebih banyak dibanding jumlah koleksi kata anak dari keluarga miskin.

Riset yang dilaporkan Economist tersebut punya pengaruh besar terhadap tren menyekolahkan anak usia dini di lembaga-lembaga sejenis PAUD. Mengirim anak di bawah usia lima tahun (biasanya mulai usia 4 tahun) dinilai akan mempersiapkan si kecil mengarungi Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Langkah ini didukung pula oleh para pembuat kebijakan. Meski demikian, kurikulum di PAUD pun masih longgar. Yang diperbanyak adalah program bermain, namun didesain supaya edukatif dan baik untuk ranah motorik, kekayaan kosakata, dan sebagainya.

Riset serupa bermunculan di tahun-tahun setelahnya. Salah satu yang paling banyak dikutip adalah riset Anne Fernald dari Stanford University yang menemukan jarak kekayaan kosakata antara anak dari keluarga kaya dan miskin terjadi di usia yang lebih muda lagi, yakni 18 bulan.

Baca juga: Yuk, Jadi Pendamping Membaca bagi Anak-Anak

Dr. Fernald mengukur kecepatan anak-anak balita dengan cara mendudukkan mereka ke pangkuan ibunya masing-masing. Si balita ditunjukkan dua foto: satu bergambar anjing dan lainnya bergambar bola. Sebuah perekam suara memerintahkan para balita untuk melihat bola. Melalui sebuah kamera yang merekam reaksi mereka, Fernald mencatat momen-momen saat si anak mulai bergeser ke arah gambar yang benar.

Hasil analisis Fernald menyatakan bahwa pada usia 18 bulan balita dari latar belakang ekonomi yang lebih baik dapat mengidentifikasi objek yang benar dalam 750 milidetik atau 200 milidetik lebih cepat ketimbang anak dari keluarga miskin. Meski hanya berjarak ukuran milidetik, kata Fernald, hasil ini menunjukkan perbedaan yang sesungguhnya besar.

Kemiskinan kosakata mengasingkan bayi dari visualisasi yang ada di hadapannya. Sementara bayi yang kaya kosakata akan membuka memorinya atas objek yang dikenalinya lewat mata. Fernald menemukan hasil lanjutan, bahwa di usia dua tahun, kemampuan memproses bahasa dan kosakata dari dua kelompok balita menjauh hingga enam bulan.

Baca juga: Jangan Ajarkan Calistung kepada Anak TK

Fernald kemudian memuat kesimpulan penting: kata-kata akan dipahami seorang anak jika dikenalkan langsung sembari diberi artinya. Kata-kata yang diajarkan, dengan demikian, punya konteks khusus. Kosakata terbentuk dalam proses yang demikian, bukan dengan membiarkan anak menonton televisi atau jadi pendengar obrolan orang dewasa.

Jika anak dibiarkan asal mendengar, ia hanya akan mampu mengingat tanpa tahu visualisasinya. Misalnya, orang-orang dewasa di sekeliling sang anak sering mengucap kata "makan", tapi ia tak akan paham bentuk aktivitas "makan" itu sendiri. Kondisi yang sama berlaku untuk kata benda, kata sifat, dan lainnya, termasuk dalam bentuk susunan kalimat.

"Jika Anda mengatakan 'anjing itu ada di sofa' dan si bayi berusia 18 bulan lambat memproses 'anjing', kata 'sofa' yang mengikuti setelahnya tidak akan dipahamu. Jika seorang bayi cepat memahami kata dan bentuk 'anjing', maka ia akan cenderung lebih cepat belajar tentang 'sofa' dari konteksnya," kata Farnald dalam ulasan di website resmi Stanford University.

Perkara Investasi

Mengapa latar belakang ekonomi berpengaruh pada kekayaan kosakata anak? Elizabeth Caucutt, profesor ekonomi di University of Western Ontario, pernah mengulasnya di kanal Conversation dua tahun silam. Menurut Caucutt, kesenjangan pencapaian peforma berbasis pendapatan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan terhadap investasi pendidikan antara orangtua kaya dan orangtua miskin.

Sebagai contoh, paparnya mengacu pada hasil riset mandiri, orangtua berpenghasilan tinggi memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk punya minimal sepuluh buku di rumahnya ketimbang orangtua berpenghasilan rendah. Ibu dari keluarga kaya juga punya kemungkinan 50 persen lebih tinggi untuk membacakan literasi ke anaknya ketimbang ibu dari keluarga miskin.

Pendidikan sedini mungkin, dalam benak orangtua berpenghasilan tinggi, adalah investasi untuk karier masa depan sang anak kelak. Caucutt mengutip sebuah teori ekonomi yang mengatakan bahwa keluarga berinvestasi pada anak-anak mereka dengan segala daya, baik waktu maupun uang, sampai nanti anak mereka punya pekerjaan dengan gaji akumulatif minimal setara dengan segala pengeluaran yang dikeluarkan orangtua yang bersangkutan.

Baca juga: Anak Batita Diajari Membaca?

Hal ini menjelaskan mengapa orangtua dengan kondisi akademik lebih baik maka akan mewariskan anak dengan kondisi akademik yang baik pula—minimal punya pencapaian akademik yang sama. Idealnya, dalam benak para orangtua, tentu prestasi si anak diharapkan bisa lebih.

Para orangtua jenis ini bersemangat membacakan anaknya segala jenis cerita yang dianggap edukatif sekaligus menghibur sejak si anak masih bayi. Mereka senang jika si anak berlatih alat musik baru atau aktivitas seni lainnya. Pada akhirnya, mereka tak segan menyombongkan prestasi anaknya di sekolah ke teman-teman mereka.

Sebaliknya, orangtua dari kalangan penghasilan rendah punya dua kemungkinan: merasa ragu atas keberhasilan investasi akademik anaknya sejak bayi, atau tak mampu berinvestasi karena ketiadaan modal. Kondisi ini tergolong klasik dalam sebuah negara dengan biaya pendidikan mahal. Jika pun tersedia, akan tetap muncul kesenjangan antara anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang dititipkan di lembaga PAUD berkualitas rendah, dengan anak dari keluarga berpenghasilan tinggi di lembaga PAUD bermutu tinggi.

Baca juga: Dongeng Meningkatkan Kepekaan Otak Anak

Bagi Caucutt tak ada solusi terbaik kecuali datang dari pembuat kebijakan sendiri. Pemerintah mesti membuat program untuk menginformasikan pentingnya literasi (biasanya dalam bentuk dongeng) dan berbicara langsung ke anak, juga tentang keuntungan mendidik anak di PAUD—yang seharusnya disediakan secara gratis atau setidaknya terjangkau tapi berkualitas baik.

“Dengan memastikan keluarga miskin memiliki akses terhadap sumber keuangan dan informasi tentang pentingnya investasi sederhana terhadap anak-anak mereka, seperti cerita pengantar tidur, kita dapat menempuh jalan panjang untuk mengurangi kesenjangan (kosakata di antara balita) ini,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN ANAK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan