Menuju konten utama

Mengapa Ada Kerusuhan "Anti-Cina" di Kepulauan Solomon?

Berikut adalah kronologi dan penyebab kerusuhan "anti-Cina" di Kepulauan Solomon. 

Mengapa Ada Kerusuhan
Foto ini menunjukkan akibat dari jalan yang dijarah di Pecinan Honiara, Kepulauan Solomon, Sabtu, 27 November 2021. Kekerasan mereda pada hari Jumat di ibu kota Kepulauan Solomon, tetapi pemerintah tidak menunjukkan tanda-tanda menangani keluhan mendasar yang memicu dua hari kerusuhan. kerusuhan, termasuk kekhawatiran tentang meningkatnya hubungan negara itu dengan China. (AP Photo/Piringi Charley)

tirto.id - Terjadi kerusuhan lokal selama dua hari di Kepulauan Solomon sehingga membuat warga negara Cina mengalami kerugian besar, toko-toko mereka dihancurkan, dibakar dan dijarah, bahkan mengancam keselamatan pribadi mereka.

Global Times melaporkan, para perusuh menjarah berbagai wilayah ibu kota Honiara dan yang mengalami kerusakan paling parah adalah kawasan Pecinan. Sekretaris Asosiasi Cina Kepulauan Solomon, Tan Jingquan mengatakan, lebih dari 100 toko milik warga negara Cina hancur, mereka merasa cemas dan takut sekarang.

Tan mengatakan, sekitar 3.000 warga China tinggal dan bekerja di Kepulauan Solomon, 90 persen di antaranya tinggal di Honiara. Sejauh ini, setidaknya 100 warga Cina yang telah menyatakan ingin dievakuasi.

Beberapa warga Tionghoa menyewa penjaga keamanan dan memanggil polisi, tetapi para perusuh turun ke jalan dalam jumlah yang besar sehingga situasi menjadi tidak terkendali. Seorang warga bernama Wang mengatakan: "Mereka bahkan membakar kantor polisi dan sekolah setempat."

"Saya tahu beberapa orang sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan tempat ini. Mereka bosan dengan itu," kata Wang yang bersembunyi di perbukitan.

Menurut Lin, seorang pengusaha lokal, awalnya kerusuhan itu ditujukan kepada pemerintah Solomon, tetapi sebenarnya direncanakan dan dilaksanakan secara rumut oleh beberapa politikus di provinsi Malaita.

Apa Penyebab Protes di Kepulauan Solomon?

The Guardian melaporkan, pada tahun 2019, Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare membuat marah banyak orang--khususnya para pemimpin di provinsi Malaita--ketika Sogavare memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mengalihkannya ke Beijing.

Banyak pengunjuk rasa berasal dari Malaita, sebuah provinsi terpadat. Mereka merasa diabaikan oleh pemerintah di provinsi Guadalcanal dan menentang keputusan di tahun 2019 itu, terkait dengan sikap pemerintah yang mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Menurut laporan Times, para pemimpin Malaita mengeluh karena pulau mereka telah dirampas secara tidak adil oleh investasi pemerintah sejak perubahan hubungan diplomatik itu.

Kekerasan di solomon

Sebuah bangunan terbakar di Chinatown, di ibu kota Honiara, Kepulauan Solomon, Jumat, 26 November 2021. Kekerasan mereda di ibu kota Kepulauan Solomon, tetapi pemerintah tidak menunjukkan tanda-tanda berusaha untuk mengatasi keluhan mendasar yang memicu dua hari kerusuhan, termasuk kekhawatiran meningkatnya hubungan negara itu dengan China. (AP Photo/Piringi Charley)

Wartawan lokal, Gina Kekea mengatakan, peralihan kebijakan luar negeri dari Taiwan ke Beijing, terlebih dengan sedikitnya konsultasi yang melibatkan publik, adalah salah satu campuran masalah yang menyebabkan protes.

“Bisnis China dan bisnis Asia [lainnya] … tampaknya memiliki sebagian besar pekerjaan, terutama dalam hal penggalian sumber daya, yang sangat dirasakan orang,” kata Kekea kepada ABC.

Kendati demikian, para pengunjuk rasa telah digantikan oleh penjarah pada hari Jumat di Pecinan Honiara yang terkena dampak parah. “Sudah dua hari, dua hari penuh penjarahan dan protes dan kerusuhan dan Honiara hanyalah sebuah kota kecil,” kata Kekea.

“Jadi saya pikir tidak banyak yang tersisa bagi mereka untuk dijarah dan dirusak sekarang.”

Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare menyalahkan campur tangan asing terkait protes anti-pemerintah atas keputusan pemerintahannya yang mengalihkan diplomatik dari Taiwan ke Beijing.

Tetapi para kritikus menyalahkan kerusuhan itu akibat kurangnya layanan dan akuntabilitas pemerintah, korupsi dan pekerja asing yang mengambil pekerjaan lokal.

Perdana Menteri Sogavare mengatakan, dia mendukung keputusan pemerintahnya merangkul Beijing yang dia gambarkan sebagai "satu-satunya masalah" dalam kekerasan, yang "sayangnya dipengaruhi dan didorong oleh kekuatan lain".

"Saya tidak ingin menyebut nama. Kami akan meninggalkannya di sana,” kata Sogavare. “Saya tidak akan tunduk pada siapa pun. Kami utuh, pemerintah utuh dan kami akan membela demokrasi,” tambahnya.

Sementara itu, Perdana Menteri Malaita Daniel Suidani mengatakan dalam sebuah pernyataan minggu ini bahwa Sogavare telah "meningkatkan kepentingan orang asing di atas orang-orang Kepulauan Solomon" dan harus mengundurkan diri.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN ANTI CINA atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya