Menuju konten utama

Mengangkat Martabat Para Disabilitas Psikososial

Dunia internasional memberi perhatian khusus bagi persoalan kesehatan mental. Sehingga setiap tanggal 10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.

Mengangkat Martabat Para Disabilitas Psikososial
Panti rehabilitasi gangguan jiwa di Yayasan Galuh, Bekasi, Jawa Barat. Tirto/Andrey Gromico

tirto.id - Dignity in Mental Health : Psychological and Mental Health First Aid For All.” Ini jadi tema dari peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2016, yang diperingati pada hari ini.

Tema ini begitu mulia. Mengedepankan martabat bagi mereka yang menderita kesehatan mental atau disabilitas psikososial. Meningkatkan kesadaran tentang pertolongan dini bagi mereka yang terjangkit kesehatan mental di penjurua dunia, termasuk di Indonesia.

“Tujuannya agar keluar dari bayang-bayang permasalahan kesehatan mental. Jadi orang-orang secara umum merasa percaya diri dalam menangani stigma, isolasi, dan diskriminasi yang dialami orang-orang dengan gangguan kesehatan mental, termasuk keluarga dan para sukarelawan yang menanganinya,” kata President World Federation for Mental Health Professor Gabriel Ivbijaro.

Tema ini diangkat karena harapan dan kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Di Indonesia misalnya, termasuk yang memiliki banyak penderita kesehatan mental, tapi masih terbatas dari sisi infrastruktur hingga berdampak pada penanganan bagi mereka yang mengalami gangguan mental.

Berdasarkan hasil riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan, penyandang disabilitas psikososial di Indonesia pada 2013 mencapai 14 juta orang. Para penderita ini diukur dari gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia persentasenya 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.

Data lainnya dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, hampir 90 persen orang tidak bisa mengakses layanan kesehatan jiwa. Negara berpenduduk 250 juta jiwa ini hanya punya 48 rumah sakit jiwa. Lebih dari separuh dari jumlah rumah sakit jiwa itu hanya berada di empat provinsi dari keseluruhan 34 provinsi.

Tercatat delapan provinsi sama sekali tak punya rumah sakit jiwa, dan tiga provinsi tidak punya psikiater. Di seluruh Indonesia hanya ada 600 hingga 800 psikiater. Artinya, satu psikiater harus melayani 300.000 hingga 400.000 orang. Tidak ada standar yang pasti tentang rasio jumlah psikiater dan total penduduk. Akan tetapi, di negara maju seperti Kanada, rasionya hanya 1:1.850.

Negara belum memberikan fasilitas yang layak untuk penderita disabilitas psikososial. Akhirnya penanganan para penderita gangguan mental ditangani masyarakat, seperti Yayasan Galuh yang menyediakan Panti Rehabilitasi Cacat Mental, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, juga mendapatkan fasilitas yang seadanya karena anggaran yang terbatas. Dengan kondisi ini, maka sulit bagi mereka untuk kembali hidup normal. Apalagi, tingkat penerimaan masyarakat terhadap penderita disabilitas ini masih cukup tinggi.

Stigma, diskriminasi, dan ketidakmampuan untuk mengenali gangguan jiwa masih menjadi hambatan besar bagi para penyandang disabilitas psikososial.

Sekretaris Yayasan Galuh Nina Mardiana mengungkapkan, selama dia bekerja di yayasan tersebut, ada sekitar 50 orang yang ditolak keluarganya untuk hidup bersama kembali. Sebagian besar dari mereka kini menjadi relawan di panti tersebut. Menurut Nana, kebanyakan keluarga ternyata tak siap. Sebabnya dari berbagai faktor, dari keterpurukan ekonomi sampai stigma negatif lingkungan.

Padahal sejak di panti, selain dilatih untuk mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah masyarakat, para penyandang disabilitas psikososial turut dilibatkan dalam interaksi sosial di luar panti. Hal itu guna mempersempit arus stigma, diskriminasi, atau rasa takut masyarakat.

“Kalau ada kegiatan di RT atau RW pasien kita, kita sertakan. Kayak pembangunan masjid, pak RT minta tenaga dari sini, kita kirim 5 orang. Trus pas ada jadwal bersih lingkungan, kita ikutkan mereka. Kita berupaya mengurangi stigma masyarakat ke mereka. Promosinya enggak langsung,” ujar Nina.

Penanganan Buruk

Human Right Watch (HRW) pernah menerbitkan laporan yang juga menyoroti buruknya penanganan Indonesia terhadap warganya yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Maret lalu, dalam laporan 74 halaman berjudul, “Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia”, HRW secara garis besar mendapati kalau alasan buruknya penanggulangan masalah kesehatan mental diakibatkan oleh dua hal. Satu, stigma di masyarakat. Hal lainnya adalah kewalahan Indonesia menyiapkan fasilitas penanggulangan kesehatan mental.

Menurut laporan tersebut, sebagian besar daerah di Indonesia mempercayai kalau gangguan kesehatan jiwa disebabkan kerasukan roh jahat, karena sebagai pendosa, melakukan perbuatan amoral, atau kurang iman. Hal ini berujung dengan dibawanya yang bersangkutan ke dukun atau kiai yang dianggap keluarga mampu menyembuhkan.

Stigma-stigma ini yang kemudian mendorong terjadinya tindakan diskriminatif yang dialami para penyandang disabilitas psikososial. Mereka cenderung tidak diberikan hak untuk memilih perawatan mana yang ingin didapatkan, seluruh keputusan dipegang penuh walinya atau keluarga.

Hal ini digambarkan gamblang dalam Undang-undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa: seorang anggota keluarga atau wali membawa seorang anak atau orang dewasa penyandang disabilitas psikososial ke sebuah rumah sakit atau panti sosial, tanpa persetujuan dan tinjauan pengadilan.

Human Rights Watch mendapati 65 kasus orang ditahan sewenang-wenang di rumah sakit jiwa, di panti sosial, dan di pusat pengobatan tradisional dan keagamaan atau yang dijalankan oleh lembaga nonpemerintah. Tak ada seorang penyandang disabilitas psikososial dari yang diwawancarai, mengatakan bahwa mereka ke sana secara sukarela.

Padahal, Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hal Penyandang Disabilitas (CRPD) pada 2011. Isinya, Indonesia setuju menjamin hak setara bagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmati atas kebebasan dan keamanan, dan bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.

Stigma buruk terhadap penyandang disabilitas psikososial yang ada di masyarakat diperparah dengan pengetahuan negara yang sama buruknya terhadap isu kesehatan mental. Terbukti dari keseriusan negara ini yang macam tong kosong nyaring bunyinya.

Selain ratifikasi CRPD, 2014 silam Indonesia meloloskan Undang-undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Di dalamnya kembali ditegaskan pelarangan pasung yang sudah jadi cara tradisional orang Indonesia dalam menangani keluarganya yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Padahal pelarangan ini sudah ada sejak 1977.

Kendati demikian, data termutakhir menunjukkan kalau masih ada 18.800 kasus pemasungan yang terjadi di negeri ini. Mungkin budaya pasung ini belum bisa ditinggalkan karena negara abai dalam tugasnya memenuhi kebutuhan kesehatan jiwa. Sudah saatnya mengangkat martabat bagi mereka penderita disabilitas psikososial. Butuh kesadaran orang sekitar khususnya keluarga, masyarakat, dan negara.

Baca juga artikel terkait GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Aulia Adam
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti