Menuju konten utama

Mengakhiri Perang Paten Antar Perusahaan Teknologi

Tujuan mulia adanya paten di bidang teknologi agar merangsang orang terus berinovasi. Namun, paten juga berdampak bagi biaya yang harus dikeluarkan konsumen, juga produsen saat mereka harus berperkara hukum soal paten. Adakah jalan tengahnya?

Mengakhiri Perang Paten Antar Perusahaan Teknologi
laptop computer with Copyright message on the screen

tirto.id - Intellectual Property Rights (IPRs) seperti hak paten, hak cipta, dan merek bagi perusahaan teknologi adalah nyawa bagi bisnis mereka. Beberapa perusahaan teknologi bahkan mampu mendulang uang dari paten yang dimilikinya.

Google, anak perusahaan Alphabet sebagai perusahaan teknologi terbesar di dunia harus membeli Motorola Mobility pada 2011 silam dengan angka 12,5 miliar dolar AS demi mendapatkan ribuan hak paten dan aplikasi yang dimiliki Motorola.

Meski kemudian Motorola dijual ke Lenovo pada Januari 2014 dengan angka lebih kecil yakni “hanya” 2,91 miliar dolar AS tapi Google masih memegang 2.000 hak paten yang dipertahankan. Jika mau dihitung kasar, per paten-nya, Google membeli di kisaran angka 4,75 juta dolar AS. Sebuah angka investasi yang tak sedikit demi mewujudkan impian Google untuk terus mengembangkan Android. Padahal, saat itu, Google masih fokus pada layanan dan perangkat lunak sementara urusan perangkat keras masih menjadi ranah Samsung, LG, HTC dan lainnya.

Selain mengakuisisi Motorola dengan tujuan mendapatkan paten, Google juga merupakan langganan IBM untuk urusan jual-beli paten. Pada tahun yang sama, Google membeli total 2.052 paten dari IBM yang dilakukan pada Juli dan Agustus. Urusan paten, IBM memang sulit dikalahkan, khususnya di Amerika Serikat (AS). Langkah yang dilakukan Google bukan tanpa alasan.

Sebagai empunya Android, Google perlu melindungi vendor pembuat ponsel dan tablet. Diawali dari gugatan hukum Apple pada HTC di 2010 hingga gugatan Apple ke Samsung pada 2011, Google sadar bahwa menawarkan sistem operasi yang open source masih belum cukup jika tidak diimbangi dengan IP yang besar.

Di 2017 ini, perseteruan Apple vs Samsung bahkan masih berlanjut. Meski Apple memenangkan gugatan pada Desember 2015 dan Samsung dipaksa membayar biaya ganti rugi sebagian dengan angka hampir 400 juta dolar AS Kabar terakhir di Desember 2016 membuka lagi lembaran perang paten kedua raksasa teknologi ini.

Mahkamah Agung di AS menyetujui banding Samsung dan membuat persidangan kembali dibuka. Khusus untuk Apple dan Samsung, masalah tuntutan hukum tersebut bahkan tak hanya terjadi di AS saja, karena di antara keduanya ada lebih dari 50 kasus hukum yang terjadi di lebih dari 10 negara termasuk Jerman, Jepang, Italia, Perancis, bahkan di negara asal Samsung, Korea Selatan. Perang tuntutan akan hak paten ini tak hanya didominasi oleh Samsung dan Apple semata, karena sejak 2009, nama-nama seperti Nokia, Oracle, Microsoft, Motorola bahkan Google juga saling menuntut.

Di mata pengguna awam, kasus hukum tersebut memang tak begitu pengaruh, tapi jutaan dolar dan banyaknya waktu yang digunakan dalam menangani kasus hukum tersebut akan lebih baik jika digunakan untuk riset. Jika dilakukan secara resmi atau melisensi paten dari sang pemilik, masalah tersebut tentu tak akan muncul ke permukaan. Meski demikian paten bagi konsumen punya dampak yang signifikan, menurut penelitian WillmerHale pada 2014 lalu, sekitar 30% dari harga jual ponsel merupakan angka yang harus dibayar sebagai royalti para pemilik paten.

Angka tersebut bervariasi, karena kadang pemilik hak paten akan mematok harga tinggi atau bisa jadi tidak mau menjual lisensinya jika sang pembeli dianggap sebagai pesaing. Wajar kiranya jika vendor besar sekalipun mencari celah agar tak perlu melisensi paten yang diperlukan sejak awal. Sebagai contoh, paten milik Microsoft cukup banyak digunakan oleh para vendor pengusung Android. Pada 2013 saja, Microsoft diperkirakan meraup untung hingga 2 miliar dolar AS per tahun hanya dari royalti yang digunakan Android.

INFOGRAFIK Hak Paten

Upaya Jalan Tengan Soal Paten

Solusi untuk bisa terus mengembangkan teknologi ke arah yang lebih baik - tanpa harus dipusingkan dengan masalah lisensi hak paten - diawali dengan sistem kontrak berbasis FRAND (Fair, Reasonable, and Non-Discriminatory). Berasaskan keadilan, sistem ini sayangnya tidak (atau belum) bisa dipaksakan kepada pemilik hak paten saat menjual lisensinya.

Sistem FRAND sangat tergantung dari itikad baik sang pemilik paten. Januari lalu, Qualcomm yang memiliki banyak portfolio di bidang konektivitas GSM/WCDMA mendapatkan teguran dari Korea Fair Trade Commission (KFTC) terkait pelanggaran komitmen FRAND.

Maret lalu, T-Mobile dan Huawei juga bersitegang perihal paten teknologi 4G milik Huawei yang kerap dilanggar T-Mobile. Artinya, meski kedua belah pihak sama-sama menandatangani kontrak lisensi paten berbasis FRAND, tetap saja akan timbul masalah.

Untuk negara tertentu, cara untuk memaksakan sistem FRAND ini ada pada sistem Anti-Trust atau Undang-Undang Anti Monopoli dan Anti Persaingan Tidak Sehat. Tetapi, undang-undang ini bersifat mengatasi dan bukan mencegah. Hingga akhirnya aturan tersebut tak cukup kuat untuk membantu calon pelisensi sehingga mereka tetap tertinggal dalam pemanfaatan teknologi terbaru.

Sadar akan persoalan paten yang selalu jadi momok di perusahaan berbasis teknologi, Google mengajak sembilan perusahaan untuk sepakat saling berbagi paten, Google membentuk PAX agar para vendor bisa saling berbagi lisensi paten sejak 3 April lalu. Jika dijumlah, ada lebih dari 230.000 hak paten yang dimiliki dan dibagikan antar sembilan anggota tersebut.

Langkah Google tersebut bukan tiba-tiba, karena pada 2013 lalu, Google menunjukkan komitmennya dengan memberikan lisensi gratis untuk sebagian paten miliknya lewat Open Patent Non-Assertion Pledge. Syaratnya, hak paten tersebut digunakan untuk pengembangan perangkat lunak yang sifatnya gratis ataupun terbuka (open source) saja. Sejak 2014, ada 245 paten yang dibagikan Google secara gratis.

Sebelum Google dan PAX, pada 2007, Hewlett Packard, Kodak, Motorola dan Sun Microsystems bahkan sudah memperkirakan bahwa perkara paten akan menjadi urusan yang sensitif, sehingga mereka membentuk Allied Security Trust (AST). Organisasi nirlaba ini ditujukan untuk mewadahi kebutuhan bersama mengenai paten dan melindungi perusahaan-perusahaan pelisensi dari tuntutan paten yang semena-mena. Tak hanya di bidang teknologi, AST juga memiliki banyak anggota dari perusahaan otomotif seperti Ford dan Honda.

Di sisi lain, besarnya dampak tuntutan hukum akibat perkara paten membuat para vendor cenderung mengalah atau memilih jalur resmi. Xiaomi, perusahaan yang terbilang baru di dunia teknologi, bahkan rela merogoh kocek dalam-dalam agar bisa membeli 1.500 paten dari Microsoft sebagai strategi masuk ke pasar AS. Di negara asalnya, Xiaomi bisa saja ‘bebas’ menggunakan paten perusahaan lain karena paten-paten itu tidak atau belum didaftarkan. Namun Xiaomi tak melakukannya karena mereka sadar betul jika ingin ekspansi secara global, metode kucing-kucingan tersebut tidak berlaku.

Penghargaan tinggi akan jerih payah pemilik hak paten atau hak cipta, khususnya di bidang teknologi, memang wajar. Namun, jika paten justru dipakai sebagai senjata untuk mencegah persaingan, yang dirugikan lagi-lagi adalah konsumen.

Baca juga artikel terkait MICROSOFT atau tulisan lainnya dari Andry Togarma Hermawan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Andry Togarma Hermawan
Penulis: Andry Togarma Hermawan
Editor: Suhendra