Menuju konten utama

Mengakhiri Kutukan "Ganti Menteri Ganti Kurikulum"

Ganti menteri pendidikan merupakan hal yang paling membuat galau. Sejarah mencatat, ganti menteri pendidikan selalu berimplikasi ganti kurikulum yang berakhir pada kerepotan sistem pendidikan nasional. Bagaimana mengakhirinya?

Mengakhiri Kutukan
Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan didampingi keluarga melambaikan tangan saat menghadiri acara perpisahan dengan seluruh pejabat dan pegawai Kemendikbud di Jakarta. [Antara Foto/Reno Esnir]

tirto.id - Suasana haru menyelimuti Gedung A Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), memberikan salam perpisahan dengan nada bergetar. Dalam pidato terakhirnya, Anies meminta dengan halus kepada Muhadjir Effendy, penggantinya, untuk lebih fokus meneruskan beberapa komponen utama dalam pendidikan yang sudah lebih dulu dikerjakannya.

Anies menyoroti dua komponen yang harus menjadi perhatian Muhadjir, yakni akses Program Indonesia Pintar (PIP) dan Sekolah Garis Depan (SGD). Muhadjir sepakat. Ia mengaku akan konsultasi dengan pendiri “Indonesia Mengajar” itu untuk merancang program kerjanya.

“Ganti menteri bukan berarti ganti program,” kata mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.

Namun, akan kah realitanya seindah prosesi serah terima jabatan itu? Berkaca pada pengalaman sebelumnya, proses pergantian Menteri Pendidikan selalu berbuah kerumitan. Pendek kata, pergantian menteri adalah pergantian program, yang kemudian diterjemahkan menjadi pergantian kurikulum. Semuanya berujung pada keruwetan murid, guru, dan orang tua murid.

Pergantian kurikulum itu sudah pasti menyulitkan para siswa. Masih segar dalam ingatan, berbagai kisah haru datang dari siswa-siswi akibat tak mampu memenuhi standar kurikulum yang terus berganti. Dimulai ketika Ujian Akhir Nasional (UAN) mensyaratkan kelulusan siswa dalam tiga mata pelajaran: Matematika, Inggris, dan Bahasa Indonesia. Lalu di tahun berikutnya, nilai standar kelulusan yang diminta pemerintah naik, hingga mata pelajaran yang diujikan ikut bertambah: Matematika, Inggris, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS.

Satu demi satu kisah sedih bermunculan dari para siswa lantaran stres dan tidak lulus. Salah seorang siswa kelas XII SMA Khadijah Surabaya, Nurmillaty Abadiah, pada tahun 2014, pernah menulis surat terbuka kepada Mendikbud M Nuh tentang kekesalannya saat harus mengerjakan soal UAN.

Tulisan yang diberinya judul "Dilematika Unas: Saat Nilai Salah Berbicara" itu, menceritakan bagaimana dia dan teman-temannya merasa kesulitan saat mengerjakan soal-soal UAN, terlebih matematika. Saat UAN selesai, banyak temannya yang menangis karena stres dan takut tidak lulus. Tatik, begitu gadis ini akrab disapa, bahkan menantang Mendikbud M Nuh untuk mengerjakan soal matematika selama dua jam, tanpa melihat buku maupun internet.

"Jika Bapak bisa menjawab benar 50 persen saja, Bapak saya akui pantas jadi Menteri," tulisnya dalam laman media sosial yang diunggah tanggal 18 April 2014.

Berkaca pada berbagai peristiwa tersebut, akhirnya pada masa Anies sebagai Mendikbud, menghapuskan nilai tertentu yang harus diraih sebagai syarat kelulusan. Ia menilai akibat UAN dijadikan standar dengan beban yang tinggi, baik di pihak sekolah maupun siswa, maka segala cara dilakukan agar kelulusan diperoleh. Implikasinya, kecurangan terhadap UN sangat tinggi, validitas hasil UN pun dipertanyakan.

“Tahun 2015 ini kelulusan ditentukan oleh sekolah, UAN dijadikan fungsi pemetaan dan evaluasi,” Kata Anies saat itu.

Bukan sekali itu saja pergantian kebijakan menuai polemik. Ketika Anies baru saja menjabat Mendikbud pada November 2014. Tak berselang lama setelah menjabat sebagai menteri, Anies langsung memutuskan mengembalikan kurikulum 2013 (K-13) ke kurikulum 2006 alias Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Saat itu, Anies bahkan sempat terlibat “perang dingin” dengan Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Mas Menteri, begitu Anies kerap disapa kalangan sejawatnya, banyak sekolah yang belum siap dalam menerapkan K-13. M Nuh pun menyindir melalui akun Twitter-nya yang mengatakan, tak ada yang salah dalam kurikulum tersebut.

“Penerapan KTSP hanya akan membuat kemunduran,” begitu cuitnya.

Anies pantang mundur. Kurikulum dikembalikan ke KTSP. Hanya beberapa sekolah yang diizinkan menerapkan K-13. Yang pasti, perubahan kurikulum di tengah-tengah masa sekolah sangat merepotkan orang tua, guru, dan tentu saja siswa. Orang tua harus membeli lagi buku pelajaran. Sekolah harus merombak ulang sistem penilaian, program belajar, dan tentu saja materi pendidikan. Sementara siswa harus melakukan penyesuaian lagi dengan sistem kurikulum baru.

Pergantian Kurikulum dari Masa ke Masa

Sejak 1947, Indonesia tercatat telah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 10 kali. Rata-rata rentang waktu pergantian kurikulum juga tak lama, hanya sekitar lima tahun hingga sembilan tahun. Ada kurikulum yang berganti dalam waktu hanya dua tahun. Ini sangat berbeda dengan negara maju seperti Jepang misalnya, yang berganti kurikulum minimal dengan rentang waktu 9 tahun.

Pergantian kurikulum di Indonesia tercatat dimulai tahun 1947 dengan nama “Rencana Pembelajaran” yang kemudian berganti menjadi “Rencana Pembelajaran Terurai” pada 1953. Kemudian berganti lagi menjadi kurikulum “Rencana Pendidikan” pada 1964 dan selanjutnya “Kurikulum 1968”.

Pergantian selanjutnya secara berturut-turut adalah “Kurikulum 1975”, “Kurikulum 1984”, “Kurikulum 1999”, “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” 2004, “KTSP 2006”, “Kurikulum 2013”, sebelum akhirnya kembali lagi pada “KTSP 2006”.

Mohammad Abduhzen, pengamat pendidikan menilai, terus bergantinya kurikulum merupakan bentuk pencarian jati diri pendidikan Indonesia. Sebab, memang belum ada kurikulum yang sempurna untuk Indonesia hingga saat ini. Namun, jika menilik perkembangannya, Kurikulum 1975 merupakan kurikulum terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Kurikulum 1975 selain diklaim sebagai awal kurikulum modern, juga masih dijadikan sebagai acuan dari kurikulum-kurikulum setelahnya. “Kurikulum 1975 memiliki hierarki, tujuan yang jelas dan sistematis,” kata Abduh kepada tirto.id, pada Kamis (28/7/2016).

Fokus Seharusnya Pendidikan di Indonesia

Indonesia memang harus terus membenahi kurikulum pendidikannya. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus banyak berbenah. Lihat saja hasil survei tahun 2012 yang dilakukan Programmme for International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) yang dirilis pada Desember 2013. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari 65 negara dalam pemetaan kemampuan matematika, membaca, dan sains.

Survei yang dilakukan setiap empat tahun sekali ini menggunakan metode kualitatif dengan melibatkan responden 510 ribu pelajar berusia 15-16 tahun dari 65 negara dunia. Mereka mewakili populasi 28 juta siswa berusia 15-16 tahun di dunia serta 80 persen ekonomi global.

Gara-gara hasil survei tersebut, Elizabeth Pisani –jurnalis dan epidemiologis asal AS--yang tinggal di Indonesia menulis artikel berjudul "Indonesian kids don't know how stupid they are". Artikel yang diunggah di situs pribadinya, yakni portraitindonesia.com dan indonesiaetc.com, menggambarkan bagaimana negara yang ia kagumi kekayaan alam dan budayanya, ternyata begitu terpuruk di bidang pendidikan.

Pisani melihat adanya sistem pendidikan yang salah sebagai akar masalah. "Saya pikir mereka sangat-sangat dirugikan oleh sistem yang memperlakukan pekerjaan mengajar sebagai kesempatan untuk menyepakati, menetapkan standar sangat rendah, yang menuntut anak-anak mengembangkan kreativitas dan memecahkan masalah dengan segala macam cara. Saya kecewa karena orang tua dan para pembayar pajak (di Indonesia) tidak menuntut lebih atas sistem (pendidikan),” begitu tulisnya.

Survei itu juga mengungkap, generasi muda Indonesia memiliki kelemahan dalam higher order thinking skills (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi. HOTS mengajarkan siswa agar mampu berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif dan kreatif. Kemampuan berpikir ini akan muncul pada individu saat dihadapkan pada masalah yang belum pernah ditemui sebelumnya.

Itu artinya, generasi muda Indonesia kurang dapat beradaptasi dan menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. “Padahal ini merupakan kemampuan serius yang dibutuhkan untuk hidup,” ujar Abduh.

Untuk memperbaikinya, tak harus seperti Amerika yang mati-matian menggembleng generasi mudanya di bidang sains. Indonesia agaknya harus berbenah pada aspek dasar terlebih dahulu, yakni fokus pada kurikulum yang mengedepankan HOTS.

Mendikbud baru, Muhadjir Effendi resmi dilantik. Segenap asa dilafalkan seluruh civitas akademika, terlebih para penerus bangsa agar pil pahit akibat bergantinya kurikulum tak lagi harus mereka telan. “Semoga pak menteri tak ingkar janji.”

Baca juga artikel terkait KURIKULUM atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti