Menuju konten utama
Periksa Data

Menerka Arah Suara Swing Voters dalam Pemilu 2024

Masih ada waktu yang cukup panjang bagi masyarakat untuk mendalami rekam jejak, visi atau misi, serta program kerja pasangan calon presiden dan wakilnya.

Menerka Arah Suara Swing Voters dalam Pemilu 2024
Header Periksa Data Menakar Arah Swing Voters pada Pemilu 2024. tirto.id/Quita

tirto.id - Pemilihan umum (Pemilu) bakal berlangsung sembilan bulan lagi, tepatnya pada 14 Februari 2024 mendatang. Dua bakal calon presiden (capres) pun sudah diusung dan mulai mencoba merebut hati rakyat.

Kalau berkaca dari pesta demokrasi tahun 2019 lalu, pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden dibayangi oleh satu tantangan besar, yakni keberadaan swing voters. Pasalnya, pilihan para swing voters berpotensi "berayun", alias bisa berubah dari satu partai ke partai lain, atau dari satu kandidat paslon ke lainnya.

Menilik survei terbaru Poltracking Indonesia yang berlangsung pada 9—15 April 2023, jumlah responden yang masih akan mengubah pilihannya mencapai 66,7 persen. Survei yang melibatkan 1.220 responden itu mengungkap, hanya 17,0 persen responden yang telah menetapkan pilihan dengan mantap.

Peneliti Poltracking Masduri Amrawi menjelaskan, tingginya angka pemilih yang masih mungkin mengubah pilihannya dalam Pemilu 2024 salah satunya disebabkan karena belum adanya pasangan capres-cawapres yang definitif.

"Pemilih itu memiliki logika dan persepsi sendiri, bisa saja pemilih menyukai capres tertentu, tetapi pilihannya dapat berubah, misalnya karena faktor siapa pasangan cawapres yang akan mendampinginya," kata Masduri saat dihubungi Tirto, Rabu (10/5/2023).

Masduri menuturkan, belum finalnya keputusan partai politik dalam menentukan sikap poros koalisi juga menjadi penyebab tingginya swing voters. Faktor lain, masih ada waktu yang cukup panjang bagi masyarakat untuk mendalami rekam jejak, visi atau misi, serta program kerja paslon presiden dan wakilnya.

Potensi Arah Suara Kaum Swing Voters

Hasil survei Litbang Kompas pada Januari 2023 mengungkap bahwa pemilih yang belum memutuskan pilihan jumlahnya mencapai 14,4 persen. Angka itu naik dibandingkan survei Januari 2022, yang saat itu hanya sebanyak 3,9 persen.

"Padahal, semakin mendekati waktu pelaksanaan pemilu, keputusan menentukan pilihan semestinya sudah mulai terbaca," tulis Litbang Kompas, Senin (13/05/2023).

Lebih lanjut, Litbang Kompas dalam laporannya menuliskan bahwa suara pendukung Jokowi maupun Prabowo dalam Pemilu 2019 lalu belum sepenuhnya terkonsentrasi pada satu sosok capres. Disebutkan, pilihan dari dua kubu tersebut saat ini masih tersebar ke banyak tokoh politik.

Dalam kelompok pendukung Jokowi, sebanyak 22 persen responden belum menentukan siapa sosok presiden pilihannya, jumlah ini berangsur naik sejak survei di Januari 2022, yang kala itu "pemilih bimbang" dari kelompok simpatisan Jokowi hanya sebesar 12,9 persen.

Menurut surveinya bulan Januari 2023, Litbang Kompas merekam bahwa pada kelompok responden pemilih Jokowi, sepertiga lebih dari mereka cenderung dekat secara elektoral dengan sosok Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Sementara itu, melansir pemberitaan Kompas.com, ada potensi penurunan dukungan untuk Ganjar. Hal ini merujuk ke karakter para pemilihnya yang sebagian dikategorikan sebagai pemilih tidak loyal yang masih mengubah pilihannya (swing voters), salah satunya dipicu polemik penolakan Ganjar terhadap kedatangan timnas U-20 Israel.

"Potensi tergerusnya suara para swing voter Ganjar akan diikuti pula oleh peningkatan dukungan terhadap para pesaing terdekatnya, khususnya Prabowo Subianto dan Anies Baswedan," tulis Kompas.com dalam laporannya, Kamis (13/04/2023).

Disebutkan, mengacu survei Litbang Kompas pada akhir Januari hingga awal Februari 2023, Prabowo tampak menjadi sosok yang paling banyak mendapatkan aliran dukungan dari swing voter Ganjar.

Dari 11,8—18,8 persen pendukung Ganjar yang berpotensi beralih dukungan, terbesar terlimpahkan ke Prabowo (5,9—9,2 persen), diikuti limpahan ke Anies Baswedan sebesar 3,1—6,3 persen responden.

Sementara itu, tren dukungan terhadap Prabowo dari kelompok responden simpatisannya cenderung menurun. Pada survei Januari 2023, dukungan elektoral dari simpatisan Prabowo berkurang menjadi 30,6 persen. Artinya, dalam satu tahun terakhir terjadi penurunan dukungan sekitar 11 persen dari pendukung Prabowo.

Sebaliknya, nama Anies cenderung mengalami peningkatan dukungan dari simpatisan Prabowo. Pada survei Januari 2022, Anies tercatat mendapatkan simpati elektoral dari pendukung Prabowo ini hingga mencapai angka 26,9 persen. Angka itu meningkat ke 28,3 persen dalam survei Januari 2023.

"Meskipun kenaikannya masih relatif lambat, setidaknya ada kenaikan sekitar 1,5 persen dalam satu tahun terakhir buat Anies dari kelompok simpatisan Prabowo," singkat Litbang Kompas.

Bergesernya Suara untuk Partai Politik

Perebutan suara swing voters pada Pemilu 2024 juga terjadi di tingkat partai politik. Hal ini terungkap dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada Mei 2022.

"Dari Pemilu ke Pemilu, partai yang mendapatkan suara terbanyak bisa berganti-ganti secara ekstrem. Ini disebabkan oleh fenomena swing voters” kata Pendiri SMRC Saiful Mujani dalam program ”Pergeseran Pemilih Partai Menjelang Pemilu 2024” yang diunggah di YouTube pada Kamis (01/09/2022).

Survei yang melibatkan 1.220 responden dengan metode multistage random sampling ini menemukan, dalam Pemilu 2024 nanti, angka swing voters diprediksi cukup besar terjadi di beberapa partai tertentu.

SMRC mengungkap, ada partai yang memiliki pemilih loyal dan telah mantap menentukan pilihan, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat.

Disebutkan, 73,9 persen responden yang memilih PDIP dalam pesta demokrasi tahun 2019 lalu, akan memilih partai berlogo banteng itu lagi bila Pemilu 2024 digelar pada saat survei dilakukan.

"Untuk PDIP, tidak ada angka signifikan yang pindah ke partai yang lain, yang paling besar itu 2,7 persen [responden] ke Golkar. Itu kita hitung tidak terlalu signifikan," kata Saiful.

Di Partai Demokrat, 73,6 persen pemilih menyatakan bakal loyal atau kembali memilih partai tersebut. Sebanyak 5,7 persen beralih ke PDIP, disusul Gerindra dan PAN masing-masing sebanyak 5,4 persen dan 2,3 persen.

Lebih lanjut, 62,7 persen pemilih Gerindra tak akan mengubah sikapnya jika kontestasi politik diselenggarakan saat survei berlangsung. Sebanyak 23,8 persen pemilih pindah ke partai lain, 9,6 persen di antaranya memilih Golkar, disusul PDIP (4,8 persen), dan PKS (3,9 persen).

Menurut Saiful, peralihan pemilih Gerindra ke PDIP disebabkan kesamaan nilai ideologis kedua partai, yaitu berhaluan nasionalis. Sementara itu, perpindahan suara ke PKS kemungkinan dipengaruhi oleh sikap Gerindra yang masuk ke pendukung pemerintah.

"Ada unsur dari pemilih yang sebelumnya memilih Gerindra itu pindah ke PKS. Di dalam Gerindra itu ada unsur suara oposan [pemilih dari kalangan oposisi] karena itu hasil mobilisasi sebelumnya melawan pemerintah, tiba-tiba sekarang menjadi anak buah pemerintah, nah yang oposan ini cari peluang dimana yang tetap menjadi oposan (PKS)" ujar Saiful.

Sementara itu, Golkar mempertahankan 60,7 persen responden yang memilihnya dalam Pemilu 2019. Sekitar 24,2 persen pemilih Golkar diprediksi akan berpindah ke partai lain, yakni ke PDIP (10,7 persen), hingga ke Gerindra (5,4 persen).

Adapun di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 74,5 persen responden pemilih PKB akan memilih kembali partai yang dipimpin Muhaimin Iskandar itu dalam Pemilu 2024. Sebanyak 8,5 persen mengaku bakal beralih ke PDIP.

"Kalau PDIP dengan PKB ini, itu karena punya basis wilayah yang mirip, yang sama. PDIP kuat di Jawa Timur, Jawa Timur itu wilayah PKB sendiri. Jadi kalau ada benturan pemilih, masuk ke PDIP kadang-kadang, masuk ke PKB kadang-kadang, itu logis karena berada dalam kandang yang sama," beber Saiful.

Untuk Partai Nasdem, partai yang telah resmi mencalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 tersebut dalam survei ini mempertahankan 56 persen pemilihnya, 20 persen lainnya menyatakan akan pindah ke PDIP.

Kemudian, untuk PKS, sebanyak 52,5 persen pemilih mengaku akan loyal. Sisanya, bergeser ke Partai Demokrat (10,5 persen), Gerindra (7,0 persen), dan 5,2 persen (Golkar). 20 persen lainnya memilih untuk tak menjawab atau tidak tahu.

Partai Politik Mesti Kerja Ekstra

Hasil survei terkait swing voters masih sangat dinamis ke depannya, terlebih lagi belum ada pasangan capres dan cawapres resmi yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masih banyak pula faktor yang bisa mempengaruhi arah suara swing voters pada Pemilu 2024 mendatang.

Sebelumnya, terkait swing voters ini, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut bahwa setiap partai politik perlu bekerja ekstra dalam memperebutkan suara swing voters atau massa mengambang tersebut.

Ia menerangkan, secara umum pemilih Indonesia adalah pemilih dengan kecenderungan yang terbuka, dengan kata lain, dapat dibujuk sehingga dapat berpindah dari pilihan sebelumnya.

"Swing voters biasanya sangat mudah dipengaruhi strategi pemenangan tim sukses (capres–cawapres). Meskipun demikian, tidak berarti isu politik identitas mampu mendorong swing voters menentukan pilihan ke calon tertentu, sebab swing voters kebanyakan adalah pemilih yang apolitis," ucap Siti Zuhro, dikutip dari artikel Inews yang tayang pada Minggu (22/10/2018).

Dalam konteks Pemilu 2019 lalu, jumlah swing voters ditaksir mencapai 40 persen dari pemilih yang ada. Siti Zuhro menerangkan kalau pemilih muda menjadi kelompok yang mendominasi swing voters tersebut.

Menurut dia, pemilih muda yang masuk dalam swing voters dapat ditarik dengan menggunakan pendekatan yang menghibur (entertaining). Apalagi, jika sosok yang menyajikan hiburan itu mempunyai basis penggemar fanatik sendiri, maka pengaruhnya cukup signifikan terhadap perolehan suara bagi parpol maupun kandidat calon yang bersangkutan.

Sebagai informasi, pemilih muda diyakini memegang peran penting dalam Pemilu 2024 karena merupakan kelompok dominan. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) August Mellaz sempat mengungkap, porsi pemilih berusia 17–40 tahun dalam gelaran pesta demokrasi tahun depan itu bisa mencapai 55–60 persen, jumlahnya ditaksir menembus 107 juta orang.

Menilik angka jumbo tersebut, August pun mengingatkan bahwa generasi muda mesti dipotret dengan baik oleh KPU, partai politik, hingga capres dan wakilnya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Politik
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Shanies Tri Pinasthi