Menuju konten utama
Muktamar Muhammadiyah 2022

Menerka Arah Muhammadiyah di 2024 Usai Muktamar ke-48 di Solo

Wasisto menilai peran Muhammadiyah dan NU yang paling utama memastikan agama tidak lagi jadi framing utama dalam konstelasi politik.

Menerka Arah Muhammadiyah di 2024 Usai Muktamar ke-48 di Solo
Suasana pelaksanaan Sidang Pleno 1 Muktamar Muhammadiyah Aisyiyah di Surakarta, Minggu (6/11/2022). (ANTARA/HO-Muhammadiyah)

tirto.id - Muktamar Muhammadiyah ke-48 resmi digelar pada 18 hingga 20 November 2022. Agenda lima tahunan yang digelar di Solo, Jawa Tengah ini akan terbagi dalam beberapa agenda, salah satunya adalah pemilihan tanwir atau pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir mengatakan, selain membahas sejumlah program dan pemilihan pimpinan, muktamar ke-48 ini juga akan membahas beberapa isu strategis tentang keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta.

Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati sebut, Muhammadiyah jelas memosisikan diri sebagai gerakan masyarakat sipil secara organisasi dan bukan kelompok kepentingan politik praktis. Namun bukan berarti tidak ada dampak politik karena muktamar juga akan membahas soal isu politisasi agama.

“Pengaruh hasil muktamar ini lebih menitikberatkan perbaikan aspek sosial ekonomi dan aspek sosio-keagamaan daripada sosial politik. Namun adanya perbincangan soal pereziman agama yang akan dibahas dalam muktamar ini menarik untuk dilihat karena itu berkaitan dengan politisasi agama untuk kekuasaan,” kata Wasisto saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/11/2022).

“Tentunya pembahasan dan rekomendasi muktamar soal pereziman agama ini bisa berpengaruh terhadap konstelasi politik nasional,” tambah Wasisto.

Pendapat Wasisto bukan tanpa alasan. Ia menilai gagasan penolakan politisasi agama yang disepakati Muhammadiyah akan mempunyai pengaruh pada anggota perserikatan. Sikap tersebut akan memicu warga Muhammadiyah berhati-hati dalam menggunakan hak pilih dan rasional dalam menghadapi isu politisasi agama yang menjadi salah satu bahan politik identitas.

Wasisto sebut Muhammadiyah sudah menyepakati hasil Muktamar Denpasar 2002 dengan kembali ke khittah bahwa mereka akan memposisikan diri sebagai gerakan masyarakat sipil. Akan tetapi, warga Muhammadiyah diberikan kebebasan dalam memilih pada Pemilu 2024.

“Secara organisasi, Muhammadiyah netral dari urusan ‘low politics’ macam perebutan kekuasaan, namun Muhammadiyah peduli soal ‘high poliitcs’ macam urusan kebangsaan yang itu juga bagian perjuangan Muhammadiyah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang makmur dan damai,” kata Wasisto.

Menurut Wasisto, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) akan memiliki kesamaan peran setelah muktamar Muhamamdiyah. Sebab, kata dia, kedua ormas keagamaan ini akan berfokus agar agama tidak digunakan sebagai framing untuk kepentingan politik. Hal ini tidak lepas dari pengalaman pemilu sebelumnya di mana ormas seperti NU dan Muhammadiyah aktif hingga ke akar rumput agar preferensi pemilih penting.

“Peran NU dan Muhammmadiyah yang paling utama adalah memastikan bahwa agama tidak lagi menjadi framing utama dalam konstelasi politik. Agama perlu dilihat secara proporsional. Berkaca pada pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, ormas-ormas keagaaman moderat seperti NU dan Muhammadiyah perlu pro aktif hingga akar rumput untuk memastikan bahwa preferensi pemilih perlu dinamis dan tidak hitam putih,” kata Wasisto.

Wasisto menilai, pemilihan ketua umum organisasi akan sangat memengaruhi karena mereka akan menjadi filter sosial. Dalam konteks Muhammadiyah, pemilihan kandidat mungkin akan lebih berkutat pada pengembangan internal organisasi daripada politik praktis.

“Saya pikir kebanyakan para kandidat ketua umum Muhammadiyah ini lebih banyak beraktivitas di internal Muhammadiyah. Jadi saya pikir orientasinya juga lebih ke dalam, khususnya membangun Muhammadiyah daripada memengaruhi politik nasional ke depan," kata Wasisto.

Wasisto yakin, pemilihan ketua umum akan sangat ideal dalam upaya mencegah mereka tidak terjerat politik praktis. “Secara institusi, baik NU maupun Muhammadiyah akan berusaha netral dan menjaga jarak dari kepentingan Pemilu 2024," kata Wasisto.

Sementara itu, pemerhati politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo mengatakan, Muktamar Muhammadiyah akan memperlihatkan peran Muhammadiyah di masa depan. Ia beralasan, Muhammadiyah di era kepemimpinan Haedar lebih menarik diri dari kekuasaan.

Selain itu, kata Kunto, Muhammadiyah sudah tidak lagi aktif di politik, meski ada PAN yang identik sebagai salah satu kendaraan politik mereka.

“Selama ini Muhammadiyah terlihat seperti menarik diri dari politik, selama Pak Jokowi berkuasa gitu, sehingga Muhammadiyah tampaknya lebih banyak berurusan dengan aktivitas sosial mereka, bahkan Muhammadiyah di PAN pun sebenarnya juga sudah semakin redup,” kata Kunto, Jumat (18/11/2022).

Kunto mengatakan, posisi Muhammadiyah saat ini lebih fokus pada kegiatan kemasyarakatan. Kalau pun pengurus Muhammadiyah ada kabinet, seperti Menko PMK Muhadjir Effendy, toh tidak banyak. Ia mengatakan tidak banyak kader Muhammadiyah yang aktif di lembaga pemerintahan.

Karena itu, Kunto menilai, pemilihan ketua umum kali ini akan mempengaruhi posisi Muhammadiyah ke depan. Sebab, kata dia, Muhammadiyah masih punya pengaruh besar dalam memengaruhi konstelasi politik.

Kunto mengatakan, Muhamamdiyah merupakan ormas Islam terbesar kedua setelah NU. Mereka juga punya sistem yang tersusun rapi seperti di sektor pendidikan dan kesehatan. Hal itu membuat Muhammadiyah mempunyai pengaruh besar. Semua arah Muhammadiyah di masa depan akan terlihat dari pemilihan ketua umumnya.

Di saat yang sama, Kunto mengingatkan bahwa Muhammadiyah berbeda dengan NU. Warga Muhammadiyah tidak sepenuhnya patuh pada ustaz sebagaimana warga NU. Ia mengingatkan Muhammadiyah mengedepankan pendekatan seperti rasionalitas dan modernitas.

Konpres Jelang Muktamar Muhammadiyah

Jumpa pers PP Muhammadiyah menjelang Muktamar ke-48. Di tengah yang menggenggam mik adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (FOTO/ Dok. Humas PP Muhammadiyah)

Oleh karena itu, kata dia, upaya memobilisasi suara demi kepentingan politik berbeda dengan kultur di NU. Akan tetapi, bukan berarti semua warga Muhammadiyah tidak akan berpolitik. Hal itu terlihat dari bagaimana kader Aisyiah Muhammadiyah mulai menyuarakan kegiatan dengan semangat politik, selain soal kegiatan kemasyarakatan.

“Kalau ternyata lebih ke sosial kemasyarakatan, ya kita akan melihat pengulangan Muhammadiyah yang sama, yang akan seperti menarik diri dari politik. Tapi kalau ketumnya lebih proaktif, sangat mungkin Muhammadiyah bisa bermain di 2024 dan memainkan peran pentingnya,” kata dia.

Akan tetapi, Kunto menilai Muhammadiyah akan sedikit lebih sulit untuk berpolitik karena posisi mereka yang tidak masuk dalam pemerintahan. Namun posisi Muhammadiyah dinilai penting untuk menyeimbangkan narasi agama agar tidak satu warna.

Di sisi lain, Kunto tidak memungkiri bahwa pengaruh pemerintah masih mungkin terjadi dalam Muktamar Muhammadiyah kali ini. Akan tetapi, pengaruh yang disampaikan bukan pada intervensi pemilih, tetapi lebih pada pandangan dalam pengambilan sikap di masa depan oleh ketua umum terpilih.

“Tidak harus selalu manipulatif, kan, intervensinya, bisa jadi intervensi yang sifatnya menyuntikkan beberapa visi ke depan sehingga ketuanya lebih punya visi ke sana, mungkin saja,” kata Kunto.

Pemilihan Anggota Formatur PP Muhammadiyah

Proses pemilihan anggota formatur PP Muhammadiyah oleh peserta Muktamar Muhammadiyah ke-48. (FOTO/Media Center PP Muhammadiyah)

Muktamar Muhammadiyah Diklaim Bebas Intervensi Politik

Haedar Nasir sebelumnya menjamin bahwa pemilihan pengurus dalam Muktamar Muhammadiyah ke-48 bebas dari intervensi politik. “Tidak memungkinkan ada intervensi dari dalam maupun dari luar, termasuk dari 'luar angkasa' sehingga proses itu akan berjalan objektif," kata dia saat konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Haedar proses seleksi calon ketum PP Muhammadiyah biasanya sudah berlangsung secara berjenjang dua tahun sebelum Muktamar sehingga tidak mungkin ada nama baru yang muncul secara mendadak.

“Dua tahun sebelumnya sudah melalui proses seleksi yang luar biasa, maka tidak akan ada tambahan di tengah jalan siapa pun dia," jelasnya.

Pada 18 November 2022 atau sehari sebelum Muktamar Muhammadiyah ke-48, Sidang Tanwir mengeluarkan sebanyak 39 nama calon dari hasil seleksi panitia pemilihan selama dua tahun. Nama-nama tersebut dapat dilihat di link ini.

Berikutnya, pada 19 November 2022 atau pada malam hari setelah muktamar dibuka, akan dipilih 13 nama dari 39 calon tersebut untuk masuk dalam struktur PP Muhammadiyah yang kemudian akan memilih ketua umum. “Untuk (nama) ketua umum nanti dibawa lagi ke muktamar itu, di sidang pleno untuk disahkan,” kata Haedar.

Ia memastikan seluruh progres dan proses pemilihan ketua umum hanya diketahui oleh panitia pemilihan. Bahkan jajaran pimpinan termasuk dirinya sebagai ketua umum yang masih menjabat saat ini tidak mengetahui nama-nama calon yang terseleksi.

“Ini serius jadi bukan pura-pura tidak tahu dan panitia pemilihan ini disumpah betul untuk tidak membocorkan," tutur Haedar.

Baca juga artikel terkait MUKTAMAR MUHAMMADIYAH 2022 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz