Menuju konten utama

Menengok Museum Penerangan di TMII: Tak Bertuan dan Kebingungan

Museum Penerangan didirikan berdasarkan ide Tien Suharto. Berharap jadi museum kelas dunia di tengah kondisi serba terbatas.

Menengok Museum Penerangan di TMII: Tak Bertuan dan Kebingungan
Museum Penerangan TMII. FOTO/Tamanmini.com

tirto.id - Saya datang ke Museum Penerangan (MusPen) bukan pada waktu dan kondisi terbaiknya. Pertama, karena hadir pada masa PSBB transisi, Juli 2020 lalu. Kedua, beberapa ruang museum sedang direnovasi dan sisanya pun belum sepenuhnya rampung.

Tapi, siapa hari ini yang bisa menjamin waktu terbaik untuk mengunjungi berbagai tempat di dalam kompleks Taman Mini Indonesia Indah? Masa prima tempat ini mungkin hanya terbentang pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an. Setelahnya, yang paling terasa ialah bukan penerangan alih-alih kemuraman. Tak sedikit pengunjung usia muda yang mengira MusPen sebagai museum perkakas listrik.

Pembicaraan para staf masih terdengar sedikit optimis. Mereka berharap tempat kerja mereka bisa jadi museum komunikasi kelas dunia.

Pada 10 Juli 2020, saya datang bersama beberapa kawan dari Yayasan Idea, lembaga yang fokus pada pengembangan museum di Indonesia. Kami jadi satu-satunya pengunjung.

Saya banyak berbincang dengan Yuri Arif, yang bekerja sebagai “pamong budaya”—sebutan bagi kurator/edukator/konservator di museum tersebut. Ia semangat bercerita soal perjalanan ke berbagai daerah untuk mencari koleksi barang untuk museum. Dan gemar mengenang pembicaraan dengan sejumlah kolektor barang antik tentang koleksi mereka.

“Saya pernah bertemu satu kolektor yang menyimpan jenis radio yang digunakan untuk menyiarkan pengunguman di sebuah desa di Jawa Timur sana. Tapi barangnya nggak ada di sini sekarang. Kita cuma punya tipe yang lebih baru dari radio itu,” kata Yuri.

Cerita-cerita Yuri terasa antiklimaks. Benda-benda menarik dalam cerita Yuri tidak saya lihat di museum. Ada saja kolektor yang masih ragu menyerahkan koleksi mereka ke museum karena proses yang cukup kompleks. Belum ada aturan birokrasi yang jelas soal alur masuknya barang dari kolektor ke museum. Ada kolektor yang bahkan tidak percaya museum sanggup merawat benda koleksi dengan baik.

Ini mungkin sudah jadi rahasia umum sekaligus salah satu pekerjaan rumah yang mesti digarap oleh institusi kenegaraan.

MusPen tergolong punya banyak koleksi; sekitar 477 objek yang sebagian besar didapat dari hibah. Sebagian kecil—kurang dari 10%—berasal dari anggaran belanja museum. Sementara ini objek yang ditampilkan sekitar setengah dari keseluruhan koleksi.

Jumlah tersebut bisa saja berubah karena Yuri dan tim masih terus mendiskusikan proses seleksi dan presentasi benda yang ingin dipamerkan.

“Ini museum inklusif. Artinya juga kami sangat terbuka dengan masukan-masukan dan kritik dari berbagai pihak yang bisa bikin museum ini lebih menarik dan bisa menyampaikan pesan-pesan yang relevan zaman,” ucap Yuri.

Harapan untuk Renovasi

Ide renovasi museum sebetulnya sudah lama muncul di benak Yuri dan timnya. Tapi jalan menuju mimpi itu sungguh berliku. Renovasi baru mulai dilakukan pada 2018 setelah muncul kepastian tentang lembaga mana yang bertanggung jawab terhadap aset gedung MusPen.

Sebagai gambaran kasarnya, pada 20 April 1993 museum ini diresmikan dan berada di bawah naungan Departemen Penerangan. Perubahan sistem birokrasi dan pemerintahan membuat museum kini jadi bagian dari Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi. Di sisi lain, pengelolaan aset gedung bukan cuma urusan Kemenkominfo, tapi juga berhubungan dengan Kementerian Keuangan.

Renovasi itu bertujuan agar MusPen—yang diresmikan pada hari ulang tahun TMII ke-18 dengan proses pendirian yang terkesan terburu-buru—tetap relevan dengan menampilkan kisah beserta obyek-obyek seputar teknologi informasi, terutama media massa di Indonesia.

Sebelumnya, MusPen fokus memamerkan hal-hal yang berkaitan dengan Departemen Penerangan. Jadi sangat masuk akal bila benda-benda yang ditampilkan adalah alat komunikasi mulai dari kentungan, diorama konferensi pers dan kegiatan publik yang dilakukan Soeharto, sampai seragam Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Seluruh benda menunjukkan posisi media selama pemerintahan Orde Baru, sekaligus ingin menampilkan rezim Soeharto sebagai pelaku utama modernisasi teknologi komunikasi Indonesia.

Mengutip pernyataan mantan Menteri Penerangan Ali Murtopo, peneliti sekaligus pengurus Dewan Pers Agus Sudibyo dalam tulisannya di Tempo pada 2005 menyebut Departemen Penerangan sebagai perangkat untuk melindungi kepentingan negara.

Tak heran, dalam kasus MusPen pra-renovasi, yang diutamakan di ruang pamer adalah adalah benda-benda hibah selama Orde Baru dan serangkaian dokumentasi Soeharto di berbagai media massa. Tata letak, detail benda, dan narasi peristiwa jadi urusan belakangan.

Ketika Departemen Penerangan dihapus, nasib MusPen tak ubahnya nasib TMII setelah Soeharto: tak bertuan dan tak punya tujuan pasti.

Oleh karena itu, keputusan renovasi bisa dikatakan titik cerah walaupun masih belum sempurna karena tidak didasari panduan teknis atau pelatihan rutin perihal museologi.

Pada awal 1990, Tien Soeharto meminta bangunan ini agar dijadikan tiga lantai. Lantai dasar untuk menunjukkan perangkat penyedia informasi pada masa lampau, lantai 2 memperlihatkan metode penyebarluasan informasi pada awal 1990-an, dan lantai 3 menunjukkan masa depan media massa yakni stasiun radio RRI dan televisi TVRI dengan program andalan Si Unyil.

Saat ini tata letaknya berubah. Pengunjung bisa melihat benda-benda koleksi yang mewakili perangkat kerja dan penunjang lima jenis media massa (surat kabar cetak, radio, televisi, dan film), alat komunikasi pra-media massa (kentungan), mesin cetak, berbagai diorama (salah satunya soal konferensi pers Hari Pangan), lini masa sejarah penyebarluasan informasi/media komunikasi. Bagian yang terakhir ini berhenti di awal 2000.

Lantai dua diisi relief sepanjang 100 m yang mengisahkan sejarah komunikasi mulai dari komunikasi antara adam dan hawa hingga ujung masa Orba. Selain itu akan tersedia ruang yang membahas media digital dan studio televisi milik MusPen. Lantai tiga adalah kantor staf MusPen dan studio konservasi.

“Kami ingin museum ini bisa jadi hub. Ingin menunjukkan bahwa museum ini ada untuk masyarakat dan kami mau menyampaikan perkembangan informasi yang sesuai zaman,” tegas Yuri.

Sejauh ini pengetahuan soal pengelolaan museum didapat dari kegiatan diskusi dengan lembaga pemerintahan lain, contohnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan proyek kolaborasi dengan sejumlah komunitas (misal program diskusi bersama komunitas Kelas Pagi buatan fotografer Anton Ismael).

Yuri berharap cara tersebut bisa membantu membuka wawasan para staf. Tak hanya dalam rangka memajukan internal museum tetapi juga membekali para staf yang kerap memandu para siswa dari sekolah-sekolah di Indonesia yang mengunjungi museum. Atau ketika tim MusPen datang ke berbagai sekolah untuk melakukan edukasi museum.

Ada kalanya kawan-kawan Yuri yang punya latar belakang soal museologi datang berkunjung ke tempat kerjanya ini dan menyumbang saran dan kritik.

“Ada yang bilang terlalu banyak teks. Ada yang bilang isi museum masih condong ke pemerintahan tertentu. Saya terima saja. Saya anggap kritik seperti itu sebagai bentuk kepedulian yang bisa kami olah untuk berbenah diri.”

Infografik Museum Penerangan

Infografik Museum Penerangan. tirto.id/Fuad

Yang Bisa Dilakukan

Museum ini bukannya tidak punya potensi dan tidak mustahil jadi benchmark bagi museum komunikasi—seperti harapan Yuri.

Namun memang ada beberapa hal yang bisa saja dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Pia Diamandis, analis museologi dari Yayasan Idea, menyebut bahwa hal yang mungkin dilakukan ialah membuat catatan/inventarisasi detail terkait seluruh obyek koleksi museum sehingga tim tidak hanya menaruh deskripsi singkat—atau tidak sama sekali pada beberapa benda koleksi—di ruang pamer, tapi juga bisa mengisahkan pokok yang benar-benar penting koleksi.

Setelah mendata dengan detail seluruh koleksi beserta deskripsi, obyek koleksi tersebut bisa diklasifikasi sesuai medium komunikasi yakni alat komunikasi tradisional dan prasejarah, radio, televisi, film, televisi, dan media cetak.

Dengan begitu, alur di dalam museum pun bisa lebih jelas dan pengunjung tidak akan kebingungan menelusuri museum. Demikian pula dengan pembuatan katalog museum baik versi cetak maupun daring yang memungkinkan publik mengetahui dengan jelas apa saja koleksi yang tersimpan di MusPen.

Tentu saja tantangannya adalah riset yang lebih mendalam. Benda-benda hibah, terutama yang diperoleh selama museum ini jadi bagian dari Departemen Penerangan, rupanya tidak disertai informasi detail soal benda dan tanggal pemberian.

Bila hal tersebut sudah dilakukan setidaknya kebingungan yang potensial terjadi dalam benak insan MusPen bisa diminimalisasi. Dan pengunjung dewasa mampu mendapat gambaran yang penting dari koleksi yang terdapat dalam museum.

Di samping itu, MusPen bisa memiliki koleksi yang koheren dan relevan. Ketimpangan antara koleksi dari awal 1990-an hingga dekade 2000-an dan hari ini tidak akan terlalu jauh seperti yang masih terasa sekarang.

Upaya yang sudah cukup berhasil dilakukan ialah memperkuat komunikasi di jejaring sosial seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan Facebook yang mampu meraih perhatian dari orang-orang muda.

“MusPen sebetulnya punya potensi untuk memperlihatkan/menjabarkan bagaimana pada zaman Orba, Soeharto memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya lewat pengendalian terhadap arus informasi,” tutur Pia Diamandis.

Masih banyak tugas MusPen dan juga seluruh museum pemerintah yang dilanda permasalahan serupa. Riset, kekurangan dana, dan kerumitan birokrasi baru salah tiganya.

==========

Yayasan Idea Indonesia membantu penulisan artikel ini dengan menghubungi para narasumber dan membuka akses ke koleksi Museum Penerangan.

Baca juga artikel terkait MUSEUM atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf