Menuju konten utama

Menelaah Klaim 'Gabah Basah' yang Jadi Alasan Impor Beras

Pemerintah mengklaim impor beras karena gabah di petani basah. Masalahnya klaim tersebut lemah.

Menelaah Klaim 'Gabah Basah' yang Jadi Alasan Impor Beras
Buruh tani membawa padi hasil panen di areal persawahan Desa Nagasari, Karawang, Jawa Barat, Selasa (9/3/2021). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.

tirto.id - Untuk kesekian kalinya hujan dijadikan biang kerok atas suatu fenomena di Indonesia. Januari 2021 lalu, hujan sempat disalahkan sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah. Kini hujan kembali menjadi tertuduh karena dianggap mengganggu panen sekaligus menjadi alasan impor beras.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan hujan telah menyebabkan gabah petani menjadi basah sehingga tidak bisa dijual ke Bulog lantaran tidak memenuhi standar kadar air. Keadaan diperburuk oleh minimnya ketersediaan alat pengering di tingkat petani. Akhirnya penyerapan gabah ke Bulog hanya mencapai 85 ribu ton--di bawah perkiraan sebanyak 500 ribu ton.

Lutfi mengatakan stok beras Bulog saat ini di bawah 500 ribu ton. Angka ini menurutnya merupakan “stok Bulog paling rendah dalam sejarah.” Jumlah itu didapat dari perkiraan stok beras per 2021 sebanyak 800 ribu ton dikurangi total beras turun mutu hasil impor 2018 yang tidak terpakai hingga hari ini. Total beras yang dianggap turun kualitasnya itu mencapai 270 ribu-300 ribu ton.

Dengan latar belakang tersebut, dalam dalam rapat koordinasi nasional di Kemenko Perekonomian Januari lalu, pemerintah memutuskan mengimpor 1 juta ton beras: setengahnya untuk iron stock Bulog dan setengahnya lagi sesuai kebutuhan.

Dalam rapat Komisi VI DPR RI, Senin (22/3/2021), Lutfi mengatakan keputusan impor memang tidak populer tapi perlu diambil. “Saya mesti memikirkan yang tak terpikirkan. Saya mesti ambil keputusan-keputusan yang enggak populer. Saya hadapi. Kalo saya salah, saya siap berhenti. Enggak ada masalah,” ucap Lutfi.

Masalahnya, menurut Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, situasi yang mendasari kebijakan ini tidak terjadi. Petani tidak mungkin membiarkan gabahnya dalam keadaan basah, katanya. Mereka akan proaktif mengeringkan gabahnya untuk mencapai standar.

“Dia (Mendag) tidak paham. Memangnya ada yang biarkan? Logika dari mana? Petani pasti akan menyelamatkan hasil panennya dengan cara apa pun,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Senin.

Dwi bilang jaringan tani di bawah AB2TI berulang kali menghadapi fenomena gabah basah dan mampu mengeringkannya. AB2TI di Tuban, Jawa Timur, misalnya, sudah biasa mengeringkan gabah dengan cara dijemur. Dari proses itu saja kadar air yang semula di atas 25% bisa turun ke 15%--yang mendekati standar beras mutu premium, medium 1, dan medium 2 yang berkisar kurang dari 14%.

Cara-cara mengeringkan gabah ini tidak bergantung pada mesin pengering, kata Dwi. Dengan kata lain, ada-tidaknya alat pengering tidak menjadi soal.

Kalaupun ada gabah yang rusak karena air, Dwi memastikan jumlahnya sangat kecil, tak lebih dari 10%. Produksi menurutnya juga relatif aman dari gangguan hujan lebat dan banjir yang dikhawatirkan menyebabkan puso karena luas panen yang terdampak tergolong kecil dari total 11 juta hektare.

Dengan kondisi panen yang diperkirakan surplus bahkan naik, Dwi memperkirakan Bulog bisa menyerap setidaknya 1 juta ton setara beras atau 2 juta ton gabah. Angka itu menurutnya bisa dicapai karena produksi saat ini berlebih sampai-sampai menekan harga gabah di kisaran Rp3.400/kg di jaringan taninya.

“Gabah basah, banjir, hujan. Itu alasan yang dibuat-buat aja,” simpul Dwi.

Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal memilih irit bicara mengenai alasan Lutfi bersikeras impor. Awaludin hanya menyatakan saat ini perusahaan pelat merah tengah fokus menyerap gabah petani.

Realisasi penyerapan per Minggu (21/3/2021) bahkan sudah menyentuh 122 ribu ton alias di atas angka Lutfi. Direktur Utama Bulog Budi Waseso, Selasa (16/3/2021) lalu, bahkan memperkirakan total serapan Bulog akan mencapai 500 ribu ton dalam tiga bulan ke depan.

Per 14 Maret 2021, stok Bulog juga tercatat berada di kisaran 883.585 ton. Jumlah itu saat ini terus naik dan sepengetahuan Awaludin telah menyentuh 907 ribu ton.

Dari jumlah itu Bulog juga mengklaim hanya ada 106 ribu ton beras sisa impor 2018 yang turun mutu. Dengan jumlah ini, menurutnya stok beras Bulog masih jauh lebih baik dari yang dikhawatirkan Kemendag di bawah 500 ribu ton.

“Yang jelas Bulog akan melakukan serapan semaksimal mungkin sesuai ketentuan Inpres 5/2015 dan permendag 20/2020,” ucap Awaludin, Senin.

Baca juga artikel terkait IMPOR BERAS atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino