Menuju konten utama

Mendulang Profit Menggiurkan dari Investasi Karya Seni

Selain safe haven, sebenarnya ada alternatif aset yang dinilai aman dari pergolakan pasar saham global, bahkan inflasi: karya seni.

Mendulang Profit Menggiurkan dari Investasi Karya Seni
Sejumlah pengunjung memotret menggunakan gawai hasil reproduksi lukisan karya Leonardo da Vinci berjudul Mona Lisa dalam pameran bertajuk Leonardo Opera Omnia di Museum Mandiri, Jakarta, Rabu (5/2/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Saat ini masyarakat Indonesia sudah lebih paham mengenai pentingnya berinvestasi. Meskipun demikian, mayoritas masih memilih untuk berinvestasi dan meragamkan asetnya pada aset “safe haven” karena dinilai lebih aman, terutama saat kondisi ekonomi global penuh dengan ketidakpastian. Bentuk aset safe haven yang umumnya dipilih adalah logam mulia emas, surat berharga negara (SBN), dan US Treasury yang merupakan SBN terbitan Amerika Serikat (AS).

Selain safe haven, sebenarnya ada alternatif aset yang dinilai aman dari pergolakan pasar saham global, bahkan inflasi: karya seni. Terlebih jika mengingat bahwa karya seni merupakan komoditas dengan persediaan sangat terbatas yang menjadikannya pilihan investasi sempurna.

Pasalnya, karena keterbatasan tersebut, karya seni dapat memberikan imbal hasil yang menggiurkan. Ambil contohnya imbal hasil yang didapat dari penjualan lukisan karya Leonardo da Vinci, Salvador Mundi.

Merujuk Forbes, Salvador Mundi semula dibeli oleh miliarder asal Rusia, Dmitry E. Rybolovlev, pada 2013 dengan harga USD127,5 juta atau setara Rp1,92 triliun. Kemudian pada 2017, lukisan tersebut terjual dengan harga USD450,3 juta atau setara dengan Rp6,75 triliun, menjadikannya sebagai ukisan termahal yang pernah dijual dalam sejarah (asumsi kurs Rp15.000/USD).

Melihat harga di atas, tentu beberapa investor berpikir bahwa investasi pada koleksi karya seni membutuhkan modal yang besar. Namun, sebuah survei yang dilakukan oleh Deloitte menampik pandangan tersebut.

Dalam studi berjudul Art & Finance Report 2021 yang dirilis perusahaan manajemen bisnis dan keuangan asal Inggris itu, disampaikan bahwa sebagian besar (85 persen) wealth manager percaya dan memiliki argumen kuat untuk mengikutsertakan karya seni dan koleksinya dalam penawaran jasa mereka. Bahkan 58 persen di antaranya memiliki kesadaran yang tinggi atas perkembangan terbaru terkait karya seni sebagai bagian dari kelas aset.

Hasil survei tersebut sejalan didukung dengan temuan bahwa mayoritas klien dari Bank Swasta (80 persen) dan keluarga konglomerat (84 persen) memiliki koleksi karya seni yang signifikan. Selain itu, pasar koleksi karya seni di dunia juga menunjukkan performa yang positif.

Art Basel dan UBS merilis laporan tahunan berjudul The Art Market 2022 yang memperkirakan penjualan karya seni di seluruh dunia pada 2021 melampau USD65,1 miliar atau sebesar Rp976 triliun. Ini berarti ada kenaikan penjualan sebesar 29 persen dibanding tahun 2020. Lalu, jumlah transaksi juga mencatatkan kenaikan 17 persen menjadi 36,7 juta transaksi.

Capaian Penjualan Karya Seni

Capaian Penjualan Karya Seni. (FOTO/The Art Market)

Keuntungan Berinvestasi pada Karya Seni

Mengapa investor mulai berburu karya seni?

Alasan pertama adalah korelasi rendah dengan pasar tradisional

Dalam berinvestasi, risiko selalu menjadi pertimbangan utama, terutama terkait dengan risiko sistemik yang melekat pada pasar saham yang tidak dapat didiversifikasi. Tidak peduli berapa banyak jenis indeks saham berbeda yang dimiliki, investor akan tetap kehilangan uang saat terjadi tren penurunan pada pasar.

Karya seni, bagaimanapun, tidak berkorelasi dengan indeks saham atau pasar mana pun. Investor cerdas membeli karya seni sebagai strategi lindung nilai dari pergerakan aset tradisional. Dalam laporan berjudul Global Art Market Disruption (2022) yang diterbitkan Citi Bank, disebutkan bahwa karya seni dan sebagian besar kelas aset lainnya memiliki korelasi positif yang lemah atau mendekati nol.

Keuntungan kedua adalah tidak ada depresiasi harga

Manfaat penting lain dari aset karya seni adalah minimnya depresiasi harga meskipun bertahun-tahun menjadi pajangan. Yang terjadi justru sebaliknya: lukisan atau karya seni lain yang berusia ratusan tahun akan lebih berharga dibanding saat pertama kali dikenalkan. Lukisan Salvador Mundi yang terjual dengan harga tertinggi dalam sejarah di tahun 2017, harganya diestimasikan naik USd50 juta atau Rp750 miliar dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun.

Lebih lanjut, selama masa pandemi, investasi karya seni juga menorehkan imbal hasil yang signifikan. Merujuk studi Citi Bank, pada Januari 2020 hingga Juni 2021, Masterworks.io All Art Index memberikan pengembalian sebesar 28,2 persen. Imbal hasil tersebut hampir setara dengan pengembalian pasar ekuitas di negara berkembang dan negara maju. Untuk diketahui Masterworks.io adalah platform pertama untuk membeli dan menjual saham yang mewakili investasi atas karya seni ikonik.

Asset Class Performance

Asset Class Performance. (FOTO/Citibank)

Keuntungan sekaligus alasan ketiga adalah lindung nilai dari inflasi

Menurut analisa internal Masterworks.io selama periode 1985-2021, ketika inflasi berada di kisaran 3 persen atau lebih tinggi, harga untuk karya seni kategori pasca perang & kontemporer memiliki apresiasi harga riil rata-rata tahunan sebesar 13,5 persen, jauh melebihi apresiasi aset tradisional bahkan safe haven seperti emas.

Apresiasi Lukisan Kala Inflasi

Apresiasi Lukisan Kala Inflasi. (FOTO/Masterworks)

Kemudian lukisan juga dipandang punya nilai estetika. Manfaat utama berinvestasi dalam seni adalah rasa kepuasan pribadi dan keuntungan finansial dari apresiasi nilai karya seni dari waktu ke waktu. Berinvestasi dalam seni juga memungkinkan kolektor melihat dan menikmati investasi mereka setiap hari dengan cara yang tidak tersedia bagi mereka yang berinvestasi dalam aset tradisional seperti saham dan obligasi.

Namun tentu saja berinvestasi pada karya seni juga punya kelemahan. Maka ada beberapa hal yang juga patut dipertimbangkan sebelum memutuskan berinvestasi pada karya seni.

Pertama: karya seni tergolong dalam tipe aset tidak cair. Berinvestasi pada karya seni mirip seperti investasi pada properti, yang tidak mudah menemukan pembeli dalam waktu singkat. Selain itu, investor juga perlu mencari saluran penjualan yang tepat agar memperoleh imbal hasil tinggi. Alhasil, karya seni harus menjadi bagian strategi investasi jangka panjang dan bukan sebagai sumber pendapatan regular.

Kedua adalah tingginya biaya. Karya seni dengan potensi investasi yang tinggi memiliki label harga yang cukup mahal. Kemudian, untuk memperoleh keuntungan, karya seni harus disimpan terlebih dahulu agar nilai jualnya naik, sehingga perlu biaya tambahan untuk pemeliharaan, restorasi, hingga asuransi.

Ketiga adanya potensi barang palsu atau kerusakan. Karya seni merupakan salah satu bentuk aset yang cukup sulit dibuktikan keasliannya dan juga mudah dipalsukan. Belum lagi, adanya potensi kerusakan akibat penanganan yang tidak tepat.

Terakhir adalah kesulitan memperoleh informasi. Berbeda dengan aset tradisional yang diperdagangkan secara terbuka, informasi atas koleksi seni cukup minim karena sebaran dan akses informasi terbatas pada ahli atau pengamat seni profesional. Selain itu, keunikan yang dimiliki karya seni juga membuatnya memiliki standar penilaian yang berbeda.

Berdasarkan penjabaran tersebut, memutuskan berinvestasi pada karya seni membutuhkan keahlian tersendiri mengingat biaya yang diperlukan dan keterbatasan informasi. Untuk menghindari penipuan dan kerugian yang besar, investor perlu melakukan penelitian mendalam terkait siapa yang menciptakan, gaya seni, sejarah pembuatan, dan seterusnya.

Maka untuk memperoleh informasi tersebut dan membeli karya, investor awam dapat mengunjungi galeri atau gelaran karya seni, menghadiri lelang karya seni baik online atau pun offline.

Baca juga artikel terkait KARYA SENI atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Dwi Ayuningtyas
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Nuran Wibisono