Menuju konten utama

Mendepak Logo dan Brand Rokok dari Kemasannya

Sejumlah negara telah mengeluarkan regulasi yang melarang perusahaan rokok menggunakan logo dan branding perusahaan di kemasannya.

Mendepak Logo dan Brand Rokok dari Kemasannya
Ilustrasi kemasan rokok. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Satu hari di bulan Agustus 2013, Achmad Choiruddin baru saja membeli rokok di sebuah kios kecil tepat di seberang perpustakaan umum di Melbourne. Ia lalu keluar kios, menyalakan rokok dan tiba-tiba tiga orang remaja lelaki menghampiri.

Bro, would you give me your cigar? We couldn't buy,” kata seorang di antaranya. Tiga remaja itu berusia sekitar 16 atau 17 tahun.

Di hari yang lain, Achmad sedang duduk di tepi sungai Yarra sambil mengisap rokoknya. Dua remaja yang kebetulan sedang lewat menghampiri, dan meminta rokoknya.

Berbeda dengan Indonesia, membeli rokok di Australia tidak mudah. Anak-anak yang belum berusia 18 tahun tak diizinkan membeli rokok. Jadi, jangan harap bisa menyuruh anakmu pergi ke warung untuk membelikan rokok.

Harga rokok di Australia juga tidak murah. Tahun 2013, Achmad mengatakan harga sebungkus rokok Marlboro di Melbourne sekitar 20 dolar Australia, setara Rp200 ribu waktu itu. Dengan uang 20 dolar, Achmad bisa membeli fish and chips empat porsi alias empat kali makan dan lima kali naik bus kota. Bandingkan dengan di Indonesia yang hanya Rp15 ribu atau setara satu kali makan di Warteg.

Sejak 2013 itu, kemasan rokok di Australia juga datar saja. Tak boleh ada logo, warna, atau gambar yang menunjukkan branding perusahaan. Bungkus semua rokok sama, hanya ada tulisan kecil sebagai pembeda. Gambarnya pun berisi foto-foto mengerikan dari organ tubuh yang rusak karena merokok.

Pada 12 Desember 2011, Australia mengesahkan peraturan kemasan rokok bernama Tobacco Plan Packaging Act. Ia menjadi negara pertama yang mewajibkan produk tembakau dijual dalam kemasan yang datar dan sudah dibakukan. Tidak boleh ada logo, warna khusus, atau merek rokok dalam ukuran font besar. Semua rokok yang dijual setelah 1 Desember 2012 harus mengikuti aturan itu. Jadi, ketika rokok-rokok itu disusun di rak, semuanya akan tampak sama dari luar meskipun merek dan jenis rokoknya tidak sama.

Beleid yang mengatur kemasan rokok di Australia ini kemudian dikeluarkan juga oleh negara-negara lain. Perancis memberlakukannya mulai Januari tahun ini. Jadi, rokok-rokok yang dipasarkan setelah Januari 2017 harus sudah menggunakan kemasan yang homogen, tanpa logo perusahaan rokok.

Inggris juga mengambil langkah yang sama. Regulasi serupa dikeluarkan dan mulai berlaku pada Mei tahun ini. Selandia Baru, Norwegia, dan Irlandia akan memberlakukan aturan serupa tahun depan. Sedangkan di Hungaria akan mulai berlaku pada Mei 2019. Perusahaan rokok semakin terjepit, industri tembakau tentu akan terpukul.

Saat Australia pertama kali mengeluarkan kebijakan itu, perusahaan rokok Philip Morris tak terima dan melayangkan gugatan atas pemerintah Australia. Ia meminta agar undang-undang kemasan polos bagi produk rokok segera dibatalkan atau Pemerintah Australia harus membayar ganti rugi yang diderita perusahaan rokok.

Setelah enam tahun bersitegang, Philip Morris diputuskan kalah dalam gugatan itu pada Senin, 10 Juli 2017. Ia malah harus membayar biaya hukum yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi gugatannya.

Total yang harus dibayarkan kepada pemerintah belum diumumkan. Namun, seperti dikutip ABC, Philip Morris menyebutkan jumlah yang diminta tak masuk akal. Perusahaan rokok itu mengatakan bahwa hal itu jauh lebih besar dari biaya yang diklaim oleh negara lain dalam kasus serupa.

Selain Philip Morris, beberapa negara seperti Kuba, Honduras, Republik Dominika, dan Indonesia pernah membawa beleid tentang kemasan rokok itu ke organisasi perdagangan dunia (World Health Organization/WTO). Negara-negara tersebut menyatakan peraturan itu merupakan penghalang ilegal dalam perdagangan. Namun, WTO berpihak pada aturan yang diinisiasi pemerintah Australia itu.

Dalam butir-butir regulasinnya, Parlemen Australia menyampaikan beberapa alasan diterapkannya peraturan itu. Pertama, agar produk tembakau tampak tidak menarik bagi konsumen. Kedua, agar peringatan di kemasan rokok lebih efektif. Ketiga, mengurangi kemampuan kemasan eceran rokok untuk menyesatkan konsumen tentang efek berbahaya dari merokok.

Infografik Rokok tanpa merek

Di Indonesia, perusahaan rokok masih memiliki hak dan wewenang untuk menggunakan desain kemasan mereka sendiri, meletakkan logo dan merek dagang. Peringatan tentang bahaya merokok ditampilkan juga, hanya saja tak lebih besar dari ukuran logo perusahaan. Ketika ia ditata di rak-rak toko ritel, konsumen masih bisa membedakan dengan jelas, merek dan jenis rokok dengan hanya melihat kemasannya dari jauh.

Meski begitu, persoalan industri rokok di Indonesia bukanlah pada kemasannya. Penjualan rokok memang turun, tetapi bukan semata-mata karena kemasan yang tampak menyeramkan. Tingginya tarif cukai yang memaksa produsen menaikkan harga rokok dinilai lebih punya andil.

Tahun ini, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 10,54 persen. Padahal tahun sebelumnya, cukai rokok sudah naik 15 persen. Kalau dirupiahkan, cukai rokok setiap batangnya sekitar Rp450. Pada triwulan I tahun ini, penjualan rokok PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) tercatat hanya 23,4 miliar batang, turun 6,9 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti sempat menyatakan bahwa industri rokok tahun 2017 akan berjalan lebih berat seiring dengan kenaikan cukai rokok yang terlalu besar. Padahal regulasi soal rokok di Indonesia masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Australia, Inggris, Norwegia, atau Selandia baru.

Di Indonesia, harga rokok masih berkali-kali lipat lebih murah. Remaja belasan tahun bisa dengan bebas membeli rokok, dan para produsen rokok masih bisa leluasa mendesain kemasannya agar lebih menarik. Juga iklan-iklan yang masif dan ada di berbagai media mulai dari televisi, hingga sponsor acara musik.

Tak hanya itu, pemerintah juga mendulang uang yang cukup besar dari penerimaan cukai rokok. Pada semester I-2017 saja, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp61,7 triliun atau sekitar 32,2 persen dari target dalam APBN sebesar Rp191,2 triliun. Dari jumlah itu, penerimaan cukai hasil tembakau telah mencapai Rp42,2 triliun atau 22,07 persennya. Dengan pendapatan yang cukup besar itu, rasanya cukup mustahil pemerintah menghadang laju penjualan rokok dengan langkah ekstrem seperti yang dilakukan Australia.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti