Menuju konten utama
Misbar

Mendadak Kaya: Komedi Garing Soal Kemiskinan

Isu kemiskinan lagi-lagi dijual. Masalahnya, dalam film terbaru Anggy Umbara, ia tak bikin ketawa.

Mendadak Kaya: Komedi Garing Soal Kemiskinan
Poster film Mendadak Kaya. Instagram/@filmmendadakkaya

tirto.id - Anggy Umbara dikenal publik sebagai sutradara yang kerap membikin film-film komedi. Daftarnya ada banyak: 5 Cowok Jagoan: Rise of Zombies, Comic 8, hingga Warkop DKI Reborn. Semua film Anggy punya gaya yang hampir sama: mengedepankan komedi slapstick yang sesekali dibumbui efek visual konyol.

Film-film Anggy sering didukung para komika lokal. Di lain kesempatan, Anggy juga tak jarang menyediakan ruang bagi para bintang non-lawak untuk menjajal peluang melawak. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Namun, pada akhirnya, publik tetap merespons dengan positif karya-karya Anggy. Dua filmnya, Comic 8 dan Warkop DKI Reborn, ambil contoh, berjaya di bioskop serta ditonton banyak orang.

Di luar lucu atau tidaknya film-film garapan Anggy, satu hal yang jelas: ia berkontribusi dalam membentuk kemasan komedi Indonesia saat ini. Komedi yang berupaya keras untuk membuat penonton tertawa—menyelipkan materi yang receh sampai yang terdengar kritis-intelek.

Formula semacam ini masih diteruskan Anggy dalam film terbarunya, D.O.A: Mendadak Kaya, kelanjutan dari film sebelumnya, D.O.A: Mencari Jodoh (2018). D.O.A merupakan singkatan dari masing-masing karakter di dalamnya: Doyok, Otoy, dan Ali Oncom. Ketiga karakter tersebut berasal dari rubrik kartun yang sering keluar di surat kabar Pos Kota.

Tiap karakter memiliki gambaran yang unik. Doyok dicitrakan sebagai lelaki Jawa tulen yang memakai baju lurik, blangkon, bertutur kata dengan lembut, dan bergigi tonggos. Sementara Otoy adalah pria tambun berambut klimis dan menajam ke depan seperti halnya tokoh Suneo di serial kartun Doraemon, gemar memakai baju warna oranye, dan kaos kaki selutut. Dibanding dua kawannya, Otoy tergolong melek informasi. Lalu, yang terakhir, Ali Oncom, digambarkan sebagai lelaki macho, penuh gaya, dan jago melempar gombalan kepada para perempuan. Tapi, di balik itu, ia sangat telmi, alias “telat mikir”.

Ketiganya sudah berkawan lama dan dipersatukan oleh nasib yang sama: kemiskinan.

Berusaha Keras untuk Lucu

Kemiskinan—dan segala ketidakberuntungan—yang mereka sering alami, pada suatu hari, berubah jadi tragedi. Penyebabnya: si Doyok secara tak sengaja membakar warung kopi milik tetangganya, Mang Ujang (Ence Bagus). Doyok pun diharuskan membayar ganti rugi sebesar 30 juta.

Dihadapkan pada situasi terjepit, Doyok, bersama dua karibnya, segera putar akal. Mereka bergerilya mencari pekerjaan: dari tukang cuci mobil hingga kurir di pabrik racun tikus—yang ternyata jadi tempat produksi narkoba. Pekerjaan mereka tak selalu mulus. Misalnya, mereka dipecat gara-gara merusak cat mobil milik istri bos tempat di mana mereka kerja.

Namun demikian, mereka tak menyerah menjumput pundi-pundi uang. Sampai akhirnya, ketiga orang ini memperoleh rezeki nomplok: uang segepok milik bandar narkoba yang urung mereka antarkan ke bos mereka karena yang bersangkutan keburu diciduk aparat.

Impian Doyok, Oyot, dan Ali Oncom untuk menjadi kaya pun seketika terpenuhi. Doyok bisa melunasi utangnya ke Mang Ujang, Oyot bisa membelikan sepeda untuk anaknya, juga Ali Oncom yang akhirnya mampu melamar—dan mengajak nikah—sang pacar.

Akan tetapi, nasib baik mereka tak berlangsung lama. Uang yang mereka pakai untuk bersenang-senang diburu oleh pemilik aslinya. Hidup mereka kemudian jadi taruhan.

Resep D.O.A yang terdapat dalam kartun, oleh Anggy, dibawa juga ke film. D.O.A versi film berupaya dekat kepada penonton dengan segala guyonannya yang receh maupun yang menyentil nasib mereka sebagai masyarakat miskin—atau, bila mengutip definisi dari Kementerian Sosial baru-baru ini, “masyarakat pra-sejahtera.”

Infografik Misbar Mendadak Kaya

Infografik Misbar Mendadak Kaya. tirto.id/Rangga

Saya memahami upaya Anggy untuk membikin komedi yang nampak mudah dicerna. Sayang, upaya Anggy untuk mewujudkan hal itu terlalu dipaksa. Berkali-kali saya mencoba mengerti arah guyonannya dan berkali-kali pula saya dibikin gagal sembari mengernyitkan dahi.

Itu masalah pertama. Yang kedua, Anggy kurang bisa mengembangkan peran antagonis di film terbarunya. Sindikat narkoba, yang memburu uang yang dibawa Doyok, Oyot, dan Ali Oncom, hanya ditampilkan tanpa porsi yang memadai. Tiba-tiba saja mereka ditahbiskan sebagai organisasi narkoba “terbesar di Jakarta dan Asia Tenggara” tanpa penonton tahu latarbelakang mereka.

Menertawakan Kemiskinan: Relevankah?

Tema kemiskinan memang seksi untuk diangkat ke layar lebar. Sebetulnya tak jadi masalah mengingat kita hidup di negara di mana kemiskinan menjadi santapan sehari-hari: dirayakan masyarakat hingga dijual para politikus untuk melenggang ke kursi kekuasaan.

Yang jadi masalahnya sekarang yaitu di Mendadak Kaya, Anggy kelewat mengeksploitasi isu kemiskinan sehingga ia menjadi sesuatu yang menyebalkan dan keluar dari jalur kritisnya. Anggy masih terjebak dalam narasi usang yang senantiasa melekat pada orang-orang miskin: norak dan tak cakap dalam mengelola keuangan.

Ini jelas terlihat, misalnya, ketika mereka bertiga datang ke mal. Sejak menginjakkan kakinya di pintu masuk, ketiganya digambarkan terpana—seolah-olah yang ada di depan mereka adalah surga yang dijanjikan Tuhan. Hal tersebut berlanjut ketika mereka makan di restoran fancy sampai saat sedang melihat deretan mobil kelas atas yang dipamerkan di lantai bawah mal.

Sementara untuk gambaran lain, dapat Anda simak lewat adegan-adegan selepas mereka memperoleh uang segepok dari koper yang dicuri dari bos sindikat narkoba. Mereka langsung membelanjakan uang itu untuk keperluan yang sifatnya konsumtif: belanja ke mal, membeli perhiasan dan mobil, sampai makan di restoran mahal. Hanya karakter Doyok yang menggunakan uangnya dengan ‘tepat’: membayar utangnya kepada Mang Ujang.

Kemiskinan tetap jadi hal yang punya value untuk dijual dan ditertawakan. Namun, dalam kasus film terbaru Anggy, kemiskinan yang ia paparkan sama sekali tak bikin tertawa—apalagi menyimpan kritik.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono