Menuju konten utama

Mencegah Alzheimer dengan Reuni

Reuni sebagai ajang nostalgia juga bermanfaat sebagai sarana merenung dan memperbaiki diri.

Mencegah Alzheimer dengan Reuni
Ilustrasi reuni. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Liburan dan lebaran telah usai. Uang THR Anda barangkali menipis atau bahkan habis, berat badan bertambah, dan kadar kolesterol dalam darah meningkat. Tapi, setidaknya pikiran dan badan Anda sempat terbebas sementara dari hal-hal terkait pekerjaan. Dan bukankah bertemu keluarga besar serta kawan lama adalah hal yang menyenangkan?

Menghadiri halal bihalal keluarga atau acara reuni kawan SD hingga perguruan tinggi adalah satu agenda yang sering muncul saat libur panjang seperti libur lebaran kemarin. Bahkan, beberapa sekolah menggelar acara ini layaknya hajatan pernikahan dengan menghadirkan artis lokal daerah untuk mengisi acara tersebut, lengkap dengan hidangan masakan lokal.

Meski terkadang harus menempuh jarak jauh, sejumlah orang benar-benar mengupayakan datang ke acara reuni demi bertemu dengan orang-orang terdekat di masa lampau. "The sweetness of reunion is the joy of heaven," kata Richard Paul Evans dalam bukunya, Lost December.

Kesenangan yang sama dalam ajang reuni dirasakan juga oleh Sukaesih, dosen jurusan biologi di Universitas Negeri Semarang (UNNES). Sukaesih yang merupakan alumni tahun 1994 tersebut memenuhi undangan reuni akbar di SMP-nya di Gunungkidul setelah Lebaran kemarin.

“Reuni akbar, karena diikuti oleh alumni mulai tahun 85-an sampai alumni tahun ini,” Sukaesih menjelaskan.

Meski banyak wajah baru yang ditemuinya, Sukaesih merasa acara reuni tersebut mampu menumbuhkan rasa kebersamaan, sebab mereka merasa punya keterikatan identitas: alumni pada almamater yang sama.

“Reuni itu senang-senang. Senang karena dapat bernostalgia bersama teman-teman lama yang belum tentu bisa ketemu jika tidak ada acara ngumpul-ngumpul seperti ini,” tambahnya.

Apakah benar reuni terkait perkara kesenangan semata?

Ternyata, tidak jarang juga orang yang mengalami kecemasan berlebihan sebelum acara reuni. Kecemasan tersebut sering dipicu oleh permasalahan penampilan dan kondisi sosial yang mereka miliki. Beberapa orang merasa tidak siap berhadapan dengan teman-teman lama. Orang-orang tersebut mungkin akan berpikir mengenai "Apakah saya sudah cukup sukses?" atau "Akankah saya terlihat baik di depan mereka?"

Larry Waldman, seorang psikolog klinis dan forensik asal Arizona, Amerika Serikat, dalam FindaPsychologist.org membahas reuni dari sisi psikologis. Waldman menuliskan pengalaman langsung reuni yang dialaminya dan istrinya pada musim panas tahun tahun 2015 saat mereka akan menghadiri reuni akbar di SMA mereka.

Keduanya merupakan lulusan dari sekolah yang sama, yakni sebuah sekolah di pinggiran Kota Milwaukee, Wisconsin, 44 tahun lalu.

Dari pembicaraan mereka pra-reuni, Waldman menemukan adanya perbedaan reaksi dalam menanggapi reuni antara dia dan sang istri. Saat di sekolah dulu, Waldman bukanlah siswa yang populer. Ia menyebut dirinya tidak masuk ke dalam kelompok apa pun. Sejak masuk sekolah sebagai anak baru, psikolog ia merasa asing di sekolahnya.

Sedangkan Nan, istrinya, tergolong siswa populer di sekolah. Selain terkenal pintar, dia aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Menghadapi acara reuni, Nan tidak hanya antusias tapi juga bersedia menjadi panitia.

Waldman menjelaskan bahwa terdapat beberapa emosi yang tidak pernah terhapuskan dan akan tetap bersama seseorang dalam waktu lama atau mungkin selamanya. Tidak mengherankan, seperti diungkap banyak penelitian, alumnus dengan pengalaman masa sekolah yang positif akan lebih merasa bersemangat menghadiri reuni kelas.

Di sisi lain, reuni juga bisa menjadi sarana refleksi diri. Kita merenung dan membandingkan bagaimana posisi kita dulu dan di mana posisi kita sekarang. Reuni juga berfungsi sebagai penghubung, baik dengan teman lama maupun memori-memori lama.

Nostalgia dan kegiatan memutar kembali memori adalah satu upaya mencegah alzheimer. Melinda Smith, seorang magister ilmu psikologi, mengatakan bahwa latihan mengingat kembali atau memutar memori merupakan salah satu cara untuk mencegah penyakit kepikunan tersebut. Bahkan, memulai mengingat kembali hal-hal sederhana seperti nama-nama ibukota negara juga akan membantu menguatkan koneksi memori.

Infografik Reuni

Hal selanjutnya yang berkaitan dengan reuni adalah perbaikan diri. Jika membicarakan perihal sekolah dan masa lalu, kita terkadang memiliki keinginan untuk memperbaiki semua kesalahan masa sekolah atau juga masih mempunyai keinginan untuk mendapatkan popularitas dan perhatian dari teman-teman lama. Satu hal yang barangkali dulu belum dapat dicapai.

Lisa M. Juliano, mahasiswa psikologi William Alanson White Institute, menyebut reuni sekolah dapat berfungsi sebagai sarana reparatif.

Dalam sebuah reuni, para peserta diberi banyak kesempatan untuk berkomunikasi satu sama lain. Selain mengingat hal-hal di masa lalu, dalam reuni juga disediakan banyak kesempatan untuk mengenalkan kehidupan pribadi seseorang saat itu. Di tahun-tahun pertama reuni, seseorang barangkali akan lebih berhati-hati atas hal-hal yang mereka tanyakan atau ceritakan kepada teman reuninya.

Larry Waldman menyatakan bahwa seseorang nyaman berdiskusi perihal perasaan mereka apa adanya baru di reuni tahun ke-50.

Refleksi diri hasil diskusi dari banyak teman lama tersebut sejatinya dapat membantu seseorang memeriksa pandangan mereka saat ini tentang diri mereka sendiri. Dan pada akhirnya, kita bisa sadar bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menilai diri kita melebihi diri kita sendiri. Satu hal positif yang dapat memunculkan sebuah kepercayaan diri baru.

Sampai kemudian, pertanyaan ‘Akankah saya terlihat baik di depan mereka?’ akan berubah menjadi ‘Mengapa saya begitu fokus pada ketidaknyamanan orang lain atas diri saya?’

Maka, penting untuk menyadari bahwa reuni sama sekali bukan tentang perbandingan dan penilaian. Kita bisa melihat reuni secara lebih bijak: ia bisa dilihat sebagai cara menghubungkan kembali dan menjalin koneksi lebih luas dengan teman-teman yang pernah kita kenal dan berinteraksi dengan kita.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani