Menuju konten utama

Mencatat Peristiwa Gempa di Negeri Cincin Api

Catatan sejarah gempa penting untuk mitigasi bencana di masa depan. Semakin sistematis dari masa ke masa.

Mencatat Peristiwa Gempa di Negeri Cincin Api
Header Mozaik Tradisi Pencatatan Bencana. tirto.id/Fuad

tirto.id - Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia kerap kali diguncang gempa bumi dengan magnitudo cukup besar yang kemudian menyebabkan kehancuran dan korban jiwa. Masih belum hilang dari ingatan bagaimana gempa bermagnitudo 5.6 SR mengguncang Cianjur dan sekitarnya pada 21 November 2022. Guncangan itu merusak banyak rumah dan infrastruktur publik di sekitaran Cianjur serta membuat ratusan orang meninggal dunia.

Sebagai negara yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, gempa bumi di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Melalui akun twitter resminya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (@infoBMKG), selalu mengabarkan informasi gempa bumi di Indonesia yang terjadi hampir setiap hari.

Penyebabnya pun bermacam-macam. Ada gempa bumi yang dihasilkan dari aktivitas lempeng tektonik, aktivitas beberapa sesar atau patahan, dan aktivitas gunung api.

Sementara gempa bumi adalah peristiwa alam yang niscaya, dampak destruktifnya sebenarnya bisa diminimalisasi. Kuncinya adalah mitigasi dan kewaspadaan. Karenanya, kesadaran dan pengetahuan akan realitas hidup di Negeri Cincin Api penting untuk terus digaungkan.

Untuk menentukan mitigasi yang tepat, kita butuh bahan kajian kegempaan. Salah satu bahan itu adalah data sejarah kegempaan. Ini berguna untuk memprediksi perulangan dan memetakan titik pusat gempa.

Prediksi perulangan ini tentu tidak pasti tepat karena kemunculan gempa bumi pada dasarnya tak terpola. Meski begitu, ia tetap berguna untuk kewaspadaan.

Catatan dari Masa Klasik

Sebelum bangsa Eropa datang membawa sains eksak ke Nusantara, nenek moyang kita sebenarnya telah mencatat peristiwa alam dan kebencanaan. Jumlahnya tidak banyak, tapi beberapa temuan prasasti bisa menunjukkan contohnya.

Sebut misalnya Prasasti Rukam tinggalan Mataram Kuno. Prasasti bertarikh 829 Saka/907 Masehi ini mengabarkan pada kita tentang penetapan sima bagi Desa Rukam yang hancur imbas dari erupsi sebuah gunung.

Catatan yang berkait dengan peristiwa gempa bumi tersua dalam Prasasti Warungahan. Prasasti ini ditemukan di Tuban pada 2018 dan bertarikh 1227 Saka atau 1305 Masehi.

Goenawan A. Sambodo dalam “Prasasti Waruṅgahan, Sebuah Data Baru dari Awal Masa Majapahit” yang terbit di jurnal Amerta (Vol. 36, No. 1, Juni 2018) menyebut, “Prasasti dari masa awal Majapahit ini berisi uraian penetapan ulang anugerah sima oleh Raja Nararyya Sanggramawijaya karena prasasti sebelumnya hilang ketika terjadi gempa bumi.”

Salah satu kalimat berbahasa Jawa Kuno dalam prasasti tersebut menyebut, “Ika tan prasasti hilang ri kala ning bhumi kampa—(Prasasti itu telah hilang ketika bumi berguncang).”

Menurut analisis Sambodo, Warungahan yang dimaksud oleh prasasti ini adalah Desa Prunggahan di Tuban. Tempat ini kemungkinan merupakan salah satu basis bagi pasukan Singasari yang dikirim dalam Ekspedisi Pamalayu. Letaknya sekarang kira-kira 4 km dari titik penemuan prasasti.

Jika benar demikian, ini merupakan catatan kegempabumian yang penting bagi upaya tanggap bencana di Tuban. Ia juga bisa digunakan untuk mempelajari return period gempa bumi di wilayah ini.

“Data tertua yang dapat diketahui sampai sekarang adalah terjadinya gempa di daerah Rengel Tuban dengan guncangan berulang pada tanggal 18 Juli 1864,” tulis Sambodo.

Catatan dari Masa Kolonial

Pencatatan peristiwa alam jadi lebih lazim setelah kedatangan bangsa Eropa di Nusantara. Catatan-catatan ini umumnya dibuat oleh institusi resmi—baik VOC maupun penguasa lokal—atau oleh individu yang menaruh minat pada sains.

Dari lingkup abad ke-17, kita bisa menilik catatan gempa yang dibuat oleh naturalis Georg Eberhard Rumpf atau lebih masyhur disebut Rumphius. Semula, Rumphius berkarier di militer VOC, tapi kemudian keluar dan menekuni ilmu alam.

Rumphius amat dikenal berkat magnum opus berjudul Herbarium Amboinense. Dia menetap di Ambon sejak 1653 dan menjadi saksi gempa bumi disertai tsunami yang meluluhlantakkan Pulau Ambon dan menewaskan ribuan orang, termasuk istri dan anak Rumphius sendiri.

“Pada tanggal 17 Februari 1674, saat bulan bersinar terang antara jam 19.30 dan jam 20.00 terjadi sebuah gempa yang sangat keras yang melanda seluruh Pulau Ambon dan sekitarnya… Goncangan pertama adalah yang terkuat dan membuat banyak bangunan seperti rumah dan gereja rusak… Pesisir utara Semenanjung Hitu menderita kerusakan yang paling parah karena adanya air laut yang naik setinggi 40-50 toises”, catat Rumphius sebagaimana dikutip Marlon Ririmasse dalam artikel “Bencana Masa Lalu di Kepulauan Maluku: Pengetahuan dan Pengembangan bagi Studi Arkeologi” dalam jurnal Amerta (Vol. 32, No. 2, Desember 2014, hlm. 100).

Catatan mengenai kengerian peristiwa tersebut ditulis oleh Rumphius dalam Waerachtigh Verhael van de Schuckelijcke Aerdbebinge yang terbit pada 1675. Naskah ini disebut sebagai catatan detail tertua tentang gempa dan tsunami di Indonesia.

Catatan pengamatan gempa semacam itu juga dibuat oleh Jacob Cornelis Matthieu Radermacher, pendiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjadi Museum Nasional Indonesia.

Radermacher menulis risalah berjudul “Ericht Wegens de Zwaare Aardbeving” (Peringatan Akan Gempa yang Dahsyat). Risalah itu terhimpun dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen edisi 1780.

Dalam risalahnya itu, Radermacher menulis mengenai gempa bumi yang mengguncang Batavia pada awal 1780.

“22 Januari 1780 Batavia kembali dilanda gempa bumi yang guncangannya tidak kalah besar seperti gempa bumi yang terjadi pada 1699,” tulis Radermacher (hlm. 51-52).

Radermacher sekaligus menulis riwayat gempa bumi yang pernah mengguncang Jawa dalam kurun waktu 1684 hingga 1780. Selama itu, Jawa diguncang gempa berkekuatan cukup besar sebanyak 10 kali.

Lebih Sistematis

Memasuki abad ke-19, pencatatan mulai diikuti pula dengan kajian mengenai gempa bumi. Upaya untuk menyusun suatu catatan gempa yang konologis dan sistematis pun dilakukan. Contohnya dilakukan oleh Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn.

Pada 1844, Junghuhn mulai mengumpulkan catatan mengenai gempa bumi dan letusan gunung api yang terjadi di Hindia Belanda. Setahun kemudian, dia menerbitkan catatan-catatan tersebut dengan judul Chronologisch Overzigt der Aardbevingen en Uitbarstingen van Vulkanen in Nederland Indie 1506-1844.

Sepuluh tahun kemudian, terbit lagi satu catatan gempa bumi di Hindia Belanda yang meliputi periode 1853-1854 yang dibuat oleh J. Hageman. Risalah berjudul “Aardbevingen in den Indischen Archipel” itu terbit dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Vol. 7 1854).

Dalam catatannya, Hageman menulis beberapa gempa bumi besar, seperti yang terjadi pada tanggal 20 dan 28 April di Manado dan Amurang, di Banda yang terjadi pada 19 April dan awal Mei 1853, dan di Padang pada 29 Agustus 1854 yang turut membuat Gunung Marapi mengalami peningkatan aktivitas vulkanik.

“Gempa bumi yang cukup kuat mengguncang Padang dan dirasakan hingga Fort de Kock dan menyebabkan sedikit kerusakan. Dari Gunung Marapi, dilaporkan adanya asap yang keluar dari puncak,” tulis Hageman (hal. 331).

Infografik Mozaik Tradisi Pencatatan Bencana

Infografik Mozaik Tradisi Pencatatan Bencana. tirto.id/Fuad

Pada 1850, Pemerintah kolonial mendirikan sebuah lembaga geosains bernama Natuurkundige Vereeniging in Nederlandsch Indie (NKV). Ketuanya adalah naturalis Belanda Pieter Bleeker.

Salah satu kerja NKV adalah berupaya melengkapi catatan-catatan gempa yang sudah ada hingga saat itu. Hasil dari pelengkapan tersebut kemudian diterbitkan dalam jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch Indie.

Yang tak kalah penting dari era ini adalah catatan-catatan yang lahir dari tangan bumiputra. Salah satunya adalah Kitab Raja Purwa yang dibuat oleh pujangga Kasunanan Surakarta Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Dalam naskah yang terbit pada 1869 ini, Ranggawarsita menulis satu kisah tentang dua gempa bumi yang mengguncang Jawa pada 296 M dan 416 M.

Letusan yang terjadi pada 416 M itu merupakan letusan pertama Gunung Krakatau. “Pembentukan kaldera pertama yang menghancurkan Gunung Api Krakatau Purba, para ahli menduga terjadi pada tahun 416 yang juga menimbulkan tsunami,” tulis Igan Supriatman Sutawidjaja dalam “Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau Setelah Letusan Katastrofis 1883” pada jurnal Geologi Indonesia (Vol. 1, No. 3, September 2006, hlm. 147) yang ia kutip dari Sigurdsson (1982).

Catatan gempa bumi paling sistematis dan lengkap dari era kolonial disusun oleh geolog Carl Ernst Arthur Wichmann. Seturut Ron Harris dan Jonathan Robert Major dalam “Waves of Destruction in the East Indies: The Wichmann Catalogue of Earthquakes and Tsunami in the Indonesian Region from 1538 to 1877” (Geological Society London Special Publications, 2016), Wichmann adalah geolog asal Jerman dan kemudian profesor geologi di Universitas Utrecht.

“Sebagian besar karir profesional Wichmann dihabiskan untuk mempelajari geologi Indonesia, termasuk melakukan beberapa ekspedisi ke Indonesia bagian timur,” tulis Harris dan Major.

Pada 1918, Wichmann menerbitkan Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857. Lalu pada 1922, dia menerbitkan lagi edisi lebih lengkap dengan beberapa tambahan informasi. Dunia akademis kemudian menyebut terbitan ini Katalog Wichmann.

Data dalam Katalog Wichmann mencakup rentang waktu tiga abad, dari 1538 hingga 1877. Tak hanya gempa bumi, Wichmann juga mencatat beberapa tsunami dan letusan gunung berapi yang terkait dengan gempa di wilayah yang kini menjadi Indonesia.

Seturut penelusuran Harris dan Major, sebagian besar bahan yang digunakan Wichmann untuk menyusun katalog itu berasal dari catatan-catatan VOC. Dari mahadata yang berhasil dia kumpulkan itu, Wichmann lantas mengelompokkan peristiwa-peristiwa gempa besar dalam tiga klaster, yaitu klaster 1629-1699, 1754-1780, dan 1814-1877.

Baca juga artikel terkait GEMPA BUMI atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi