Menuju konten utama

Mencari Demonstran #ReformasiDikorupsi yang Lebam & Tak Bisa Jalan

Muka AT membiru, lebam, dahinya ditutupi perban, dan susah berjalan. Ia ditolak BRSAMPK Handayani. Sedangkan RS Polri menyatakan, AT hanya menderita demam.

Mencari Demonstran #ReformasiDikorupsi yang Lebam & Tak Bisa Jalan
Ilustrasi HL Indepth Kekerasan Aparat terhadap Anak. tirto.id/Nadya

tirto.id - Bambang terus menggerutu sejak awal bertemu dengan saya di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani, Jakarta Timur, Senin (7/10/2019) lalu. Sebab saya menanyakan berbagai informasi terkait demonstran #ReformasiDikorupsi usia anak yang dilimpahkan polisi.

Bambang bertugas sebagai kepala seksi layanan rehabilitasi sosial. Ia menyeleksi anak-anak yang akan dititipkan oleh perorangan maupun instansi tertentu seperti kepolisian.

Pada pekan itu ia harus menyeleksi anak-anak titipan Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Barat. Para demonstran usia anak itu, ditangkap aparat saat aksi #ReformasiDikorupsi sepanjang 23 hingga 30 September.

Kantornya mendapat limpahan 12 anak sekaligus, pada Kamis (3/10/2019). Bambang menolak salah satu anak karena kondisi kesehatannya buruk.

“Kondisinya sakit, enggak bisa jalan, masih dipapah. Nanti di sini mau ikut [kegiatan] apa dia kalau direhabilitasi? Ini kan bukan rumah sakit,” tegas Bambang di ruang kerjanya.

Saya mengonfirmasi ulang ke Bambang melalui sambungan telepon, Rabu (16/10/2019). Menurutnya, usai ditolak, seorang polisi membawa anak itu ke rumah sakit.

Saya sebetulnya sudah mendapat cerita terkait anak tersebut, pada Jumat (4/10/2019), dari Maria Barus, petugas sosial yang mengurus anak-anak di BRSAMPK Handayani. Maria juga menunjukkan foto anak yang mereka tolak. Terlihat jelas wajah anak itu bengkak kebiruan dahinya dibuntal perban.

Berdasarkan informasi dari Ketua BRSAMPK Handayani Neneng Heryani, pada Selasa (15/10/2019): Anak itu berinisial AT dan berusia 15 tahun. Setelah ditolak instansinya, AT dibawa ke Rumah Sakit (RS) Polri, Jakarta Timur.

Saya mengabarkan informasi tersebut kepada Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty. Ia lantas mendatangi RS Polri. Namun kata Sitti, petugas RS Polri mengatakan, AT hanya menderita demam dan ia sudah pulang. Meski begitu, petugas RS Polri enggan memberikan rekam medis anak itu.

“Terus saya tanya [ke petugas RS Polri], diagnosisnya apa sampai dikirim ke sini? Lalu mereka bilang kalau AT itu demam,” kata Sitti, Rabu (16/10/2019).

"Enggak Usah ke Sini Lagi"

Di RS Polri, saya mencari keberadaan AT ke bagian informasi. Tapi menurut seorang petugas, tak ada pasien dengan nama itu di ruang rawat inap. Kemudian saya menemui Humas RS Polri Kristianingsih. Jawabannya pun serupa.

“Tanggal 3 [Oktober] masuk ke rumah sakit, tanggal 8 dijemput oleh polisi ke [Polres] Jakarta Barat,” ujar Kristianingsih, Rabu (16/10/2019).

Hanya itu informasi dari Kristianingsih. Sisanya, ia lebih banyak menceramahi saya soal prosedur peliputan.

“Mbak harusnya kalau wawancara begini lapor dulu sama Mabes Polri. Enggak boleh langsung, apalagi sendiri begini. Orang humasnya hubungi kami, nanti pas ke sini didampingi.”

Kata Kristianingsih, tugas RS Polri hanya merawat orang sakit dan memulangkan saat pasien sudah sembuh. Ia bahkan meminta saya untuk tak datang lagi.

“Dan lagi ini, kan, masalahnya sudah selesai. Jadi enggak usah ke sini lagi. Karena yang bersangkutan [AT] sudah di Jakarta Barat. Jadi jangan flashback ke belakang, ke depan aja.”

Saya melanjutkan pencarian AT ke Polres Jakarta Barat untuk mengonfirmasi kondisi AT yang sebenarnya. Sebab keterangan dari RS Polri kepada KPAI, berbeda dengan foto dan keterangan pengurus BRSAMPK Handayani.

Sayangnya, bagian informasi menghalangi saya bertemu dengan Kapolres Jakarta Barat Hengki Haryadi atau Kasat Reskrim Polres Jakarta Barat Edy Suranta Sitepu, Rabu (16/10/2019). Bahkan dua orang itu tak menggubris telepon dan pesan singkat saya, meski beberapa kali WhatsApp mereka dalam kondisi online.

Dipulangkan Mesksi Dijerat Pasal Berlapis

Keesokan harinya, Komisioner KPAI Putu Elvira menyampaikan bahwa dia telah berkomunikasi dengan petugas Polres Jakarta Barat. Tetap tak ada soal kondisi kesehatan AT. Putu hanya mendapatkan informasi terkait proedur hukum secara umum yang dilalui anak itu.

“Di Handayani kan ditolak, dialihkan ke RS Polri. Kemudian pulih sekitar seminggu yang lalu, didiversi, dan dikembalikan ke orangtua,” ujar Putu, Kamis (17/10/2019).

Berdasarkan informasi yang diterima Putu, mulanya AT dijerat Pasal 170, 211, 212, dan 216 KUHP. Dalam KUHP (PDF), tiga pasal awal itu mengatur tentang tindakan kekerasan. Sedangkan Pasal 216 terkait jerat hukum terhadap orang yang menghalangi pejabat untuk mengawasi sesuatu.

Putu mengaku tak tahu-menahu penyebab memar di tubuh AT. Namun ia menyarankan kepada kuasa hukum anak itu, agar melaporkan menjadi delik jika kliennya mengalami kekerasan, apalagi jika pelakunya polisi.

Saya kemudian menanyakan kondisi AT kepada Nauli Jhansen Rambe, dari Posbakumadin. Ia adalah kuasa hukum yang ditunjuk polisi untuk mendampingi AT.

"Itu bukan hanya AT ya yang luka-luka juga banyak. Cuma sudah pada dipulangkan, melalui diversi ya," tuturnya, Kamis (17/10/2019).

Nauli mengaku tak ingat detail kasus AT dan malas mencari dokumennya. Dalihnya ia saat itu menangani perkara sekitar 60 anak yang berhadapan dengan hukum. Ia juga mengaku tak punya kontak dan alamat kedua orangtua AT.

"Saya dengar kabar terakhir," lanjut Nauli. "[AT] sudah kembali lagi sekolah, aktif."

Saat saya menanyakan terkait berkas berita acara pemeriksaan (BAP) AT, Nauli menjawab, "Saya enggak minta BAP-nya [dari polisi]."

Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono, tidak menjawab saat saya tanya perkara AT. Begitu pula dengan Humas Mabes Polri, baik Dedi Prasetyo, maupun Asep Adi Saputra.

Berdasarkan data yang dihimpun KPAI, ada 479 orang yang mendapat pertolongan kesehatan usai pembubaran demonstrasi #ReformasiDikorupsi. Rinciannya, 304 orang dewasa dan 175 usia anak. Dari jumlah tersebut, angka perawatan tertinggi terjadi pada 25 September 2019, sebanyak 166 pasien. Pada tanggal itu memang, peserta aksi didominasi pelajar.

Mayoritas pasien yang mengalami cedera ringan yakni, 213 jiwa. Gejala medis akibat penyakit lain 224 jiwa. Sedangkan cedera sedang 29 dan berat 13 jiwa.

Iklim demokrasi di Indonesia memburuk. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, sebanyak 51 jiwa meninggal dunia terkait demonstrasi sepanjang 2019. Dari jumlah tersebut, 44 jiwa meninggal tanpa diketahui penyebabnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika