Menuju konten utama

Mencari Akar Masalah Kelangkaan Elpiji Melon

Kelangkaan elpiji melon di beberapa daerah hampir terjadi setiap tahun. Disparitas harga dan sistem distribusi yang kurang baik menjadi salah satu faktor pemicu kelangkaan elpiji melon serta membengkaknya subsidi elpiji 3 Kg dalam APBN. Akankah distribusi tertutup menjadi jawaban?

Mencari Akar Masalah Kelangkaan Elpiji Melon
Sejumlah warga antre membeli gas LPG 3 kilogram pada pasar murah di Undaan, Kudus, Jawa Tengah. Antara Foto/Yusuf Nugroho.

tirto.id - Adi (31), warga Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta tak kuasa menyembunyikan kekesalannya. Ia mengaku sudah hampir seminggu tidak menemukan elpiji melon alias elpiji 3 Kg di beberapa warung dan toko di sekitar tempat tinggalnya.

Secara bergiliran, ia dengan istri dan adiknya, mendatangi satu per satu tiap-tiap toko besar yang biasanya menjual elpiji melon, namun tidak membuahkan hasil. Dalam sehari, bahkan ia bisa bolak-balik lima kali dari toko satu ke toko yang lain, tapi hasilnya tetap saja nihil.

“Saya heran. LPG 3 Kg kok langka, padahal yang 5 Kg dan 12 Kg tersedia. Karena tidak punya tabungnya, tidak membelinya. Beberapa hari ini memasak menggunakan tungku,” ujarnya pada tirto.id, Senin (17/10/2016).

Apa yang dialami Adi, juga dirasakan warga lain di kota gudeg. Kelangkaan elpiji melon ini merata di sejumlah daerah Yogyakarta sejak awal Oktober lalu. Pertamina pun sudah menyikapinya dengan menggelar operasi pasar (OP) di sejumlah wilayah, seperti di Kabupaten Sleman dan Bantul.

Operasi pasar elpiji melon ini dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan dan tingginya harga gas bersubsidi di wilayah Yogyakarta. Penentuan lokasi operasi pasar ini merupakan hasil identifikasi tim lapangan. Misalnya, pada Minggu (16/12/2016), Pertamina melalukan OP di Kecamatan Kalasan. Dalam OP ini, perusahaan pelat merah tersebut menyediakan 560 tabung yang langsung dijual kepada masyarakat.

“Selain di wilayah Sleman, OP yang sama juga dilaksanakan di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Total terdapat 10 kecamatan yang digelar OP. Masing-masing kecamatan dijatah 560 tabung gas tiga kilogram,” kata Marketing Branch Manager Pertamina Yogyakarta, Dody Prasetya seperti dikutip Antara.

Kelangaan elpiji melon ini tidak hanya terjadi di Yogyakarta, melainkan menjadi persoalan nasional yang kerap berulang hampir setiap tahun sejak kebijakan konversi minyak tanah ke LPG diberlakukan pada tahun 2007 silam.

Sepanjang tahun 2016 saja, kelangkaan elpiji melon hampir merata terjadi di daerah lain. Misalnya, pada September lalu, beberapa daerah di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mengalami hal serupa. Sementara pada Agustus, giliran warga Ciamis, Jawa Barat, dan Sragen, Jawa Tengah yang mengalami kesulitan mendapatkan elpiji melon ini.

Kalau ditarik lebih jauh ke tahun-tahun sebelumnya, hampir semua wilayah pernah mengalaminya. Ironisnya, hal ini selalu terjadi dan terkesan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Pertamina belum menemukan cara efektif untuk menanggulanginya.

Setiap terjadi kelangkaan, Pertamina selalu melakukan operasi pasar. Namun, belum menjawab pernyataan: mengapa kelangkaan ini selalu terjadi? Di sisi lain, pemerintah menjawabnya dengan cara menambah volume elpiji melon setiap tahunnya.

Misalnya, volume elpiji melon hanya sekitar 21.476 metrik ton pada tahun 2007. Jumlah ini meningkat terus setiap tahunnya hingga menjadi 5.567.308 metrik ton pada tahun 2015. Artinya, anggaran subsidi untuk elpiji melon ini tiap tahun dalam APBN selalu juga selalu meningkat.

Mencari Akar Masalah

Pertanyaannya, apa yang terjadi di balik kelangkaan elpiji melon ini?

Tak mudah menjawab pertanyaan di atas. Namun, setidaknya ada beberapa indikator yang bisa membantu memecahkan masalah ini. Misalnya, soal disparitas harga. Kalau kita amati, setiap Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg akan berimbas pada kelangkaan elpiji melon di beberapa daerah, seperti yang terjadi pada tahun 2015 lalu.

Hasil kajian Majalah EnergiView pada April 2015 mengkonfirmasi hal tersebut. Saat itu, per 1 Maret 2015, Pertamina memutuskan harga elpiji non-subsidi 12 Kg naik sebesar Rp5.000 per tabung, dari harga sebelumnya Rp129.000 menjadi Rp134.000 per tabung. Kebijakan kenaikan harga tersebut diambil karena sebelumnya elpiji 12 Kg dijual di bawah harga keekonomian untuk menghindari disparitas harga terlalu besar dengan elpiji melon yang disubsidi pemerintah melalui APBN.

Akibat kenaikan harga elpiji 12 Kg ini, di beberapa daerah sempat mengalami kelangkaan, bahkan harganya melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah daerah. Misalnya, pada saat itu [April 2015] di Jabodetabek harga jual elpiji melon sekitar Rp20.000 – Rp25.000 per tabung, padahal HET di region tiga yang meliputi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat rata-rata antara Rp15.000 – Rp16.000 per tabung.

Saat itu, Pertamina sendiri memastikan tidak menaikkan harga dan tidak mengurangi elpiji melon. Artinya, kelangkaan elpiji melon yang disubsidi pemerintah tersebut disebabkan terjadinya panic buying setelah Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg. Hal ini diperkuat oleh hasil monitoring pendistribusian malalui SIMOL3K (Sistem Monitoring Distribusi Elpiji 3 Kg) yang menunjukkan distribusi elpiji melon dari Pertamina ke agen dan pangkalan berjalan normal dan tidak ada kendala pasokan.

Kementerian ESDM sebenarnya menyadari betul bahwa disparitas harga antara LPG non-subsisi dengan elpiji melon yang disubsidi rentan disalahgunakan. Tidak heran, jika harga elpiji non-subsidi dinaikkan, maka para penggunanya bermigrasi ke elpiji melon.

Akibatnya, volume elpiji melon yang disubsidi APBN setiap tahunnya mengalami kenaikan. Dalam dokumen presentasi [29 Januari 2016] yang disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Migas, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja menunjukkan, realisasi konsumsi elpiji 3 Kg meningkat signifikan dari tahun ke tahun sejak diberlakukannya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji.

Misalnya, realisasi konsumsi elpiji melon dari tahun 2007 hingga 2015 sudah mencapai 27,1 juta metrik ton. Selain itu, program konversi ini juga berhasil mengurangi konsumsi minyak tanah sebesar 59,2 juta kilo liter (KL). Namun, meskipun sudah berhasil menggeser peran minyak tanah, akan tetapi program ini justru tidak berhasil melakukan efisiensi anggaran pemerintah dan mengurangi penyalahgunaan subsidi dalam APBN.

Hal ini dapat dilihat dari membengkaknya anggaran subsidi untuk elpiji 3 Kg yang disinyalir tidak tepat sasaran, karena justru dinikmati oleh golongan yang tidak berhak menggunakan elpiji melon seperti diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian elpiji.

Regulasi tersebut secara tegas menyebutkan, elpiji melon hanya dapat digunakan oleh kategori rumah tangga miskin dan usaha mikro dengan omset kurang dari Rp300 juta per tahun. Namun, faktanya elpiji melon ini disalahgunakan sehingga anggaran APBN membengkak dan elpiji 3 Kg langkah di pasaran.

Direktur Utama Pertamina, Dwi Sutjipto mengakui penyalahgunaan elpiji melon tersebut. Menurut Dwi, selama ini pembelian elpiji melon sulit untuk dikendalikan agar tepat sasaran. Karena itu, pemerintah pusat akan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kepolisian untuk meminimalisir adanya penyalahgunaan tersebut.

“Elpiji 3 kg sangat terbuka, siapa pun bisa membeli meskipun Pertamina sudah menuliskan hanya untuk masyarakat miskin, tetapi kontrolnya susah juga,” ujarnya.

Infografik Elpiji Melon

Selain penyalahgunaan ketentuan elpiji melon di atas, disparitas harga elpiji antara yang disubsidi dan non-subsidi juga memunculkan tindakan kejahatan lain, seperti penyelundupan dan penimbunan.

Misalnya, pada Agustus lalu, anggota Kepolisian Resor Mataram, Nusa Tenggara Barat, berhasil menggagalkan aksi penyelundupan 400 tabung gas elpiji melon yang diangkut menggunakan kendaraan roda empat jenis truk warna biru tujuan Pulau Sumbawa. Padahal, untuk Pulau Sumbawa, belum ada aturan yang memperbolehkan beredarnya tabung gas elpiji melon ini.

“Jadi dia ini tidak mengambil langsung dari agen elpiji, melainkan dia beli ecer dari pedagang-pedagang yang ada di sini, dikumpulin, kemudian dijual ke Pulau Sumbawa, diecer lagi ke pedagang-pedagang di sana,” kata Reskrim Polres Mataram, AKP Haris Dinzah seperti dikutip Antara.

Praktik dan motif seperti yang terjadi di Mataram ini juga bisa saja terjadi di daerah lain. Karena kalau merujuk pada data SIMOL3K, Pertamina tidak pernah mengurangi jatah volume elpiji melon ini. Distribusi elpiji melon yang dilakukan perusahaan pelat merah tersebut selalu mengacu pada jatah masing-masing daerah yang telah ditentukan.

Selain penyelundupan, penimbunan juga bisa jadi menjadi biang kerok kelangkaan elpiji melon yang sering terjadi di berbagai daerah. Karena itu, pemerintah akan menerapkan distribusi tertutup agar meminimalisir penyalahgunaan elpiji subsidi tersebut.

Distribusi Tertutup

Wacana distribusi tertutup bukan sesuatu yang tiba-tiba datang. Kementerian ESDM telah merencanakan hal ini sejak kementerian ini dipimpin Sudirman Said pada 2015 lalu. Dalam konteks ini, Pertamina dibantu pemerintah daerah akan mengelola distribusi elpiji melon tertutup ini. Menurut Sudirman, pemerintah daerah bertugas sebagai penyuplai data siapa saja yang berhak membeli LPG 3 Kg ini.

Pada tahun 2014, pemerintah bahkan sudah pernah melakukan uji coba distribusi tertutup ini dengan menggunakan sistem IT di Malang, Jawa Timur. Sayangnya, uji coba ini kurang berhasil. Namun, paling tidak kegagalan tersebut menjadi pengalaman berharga untuk mencari metode yang tepat dan efektif dalam merealisasikan wacana distribusi tertutup ini.

Saat ini, Kementerian ESDM telah melakukan uji coba di beberapa daerah, salah satunya di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, sejak pertengahan Agustus hingga November 2016. Untuk rumah tangga, tiap bulan mendapat 3 tabung, sementara usaha mikro 9 tabung. Kartu non tunai dalam uji coba ini, disediakan secara cuma-cuma oleh BNI, setelah memperoleh data masyarakat yang telah diverifikasi.

Pemerintah menargetkan, sistem distribusi tertutup elpiji melon ini berlaku tahun 2017 secara bertahap. Harapannya, pada akhir 2017, pemberlakuannya sudah mencapai 80 hingga 90 persen untuk seluruh wilayah Indonesia.

Komitmen pemerintah untuk meminimalisir penyalahgunaan elpiji melon ini tidak akan efektif kalau tidak diimbangi dukungan masyarakat secara luas. Karena sebaik apapun sistem distribusi yang dicanangkan pemerintah, tidak akan berjalan dengan baik apabila masih ada oknum masyarakat yang melakukan penyelundupan, penimbunan, bahkan mengoplos elpiji melon ini.

Sistem distribusi yang baik dan pengawasan yang ketat diharapkan mampu menjawab persoalan elpiji melon selama ini.

Baca juga artikel terkait ELPIJI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti