Menuju konten utama

Menasihati Myanmar Tak Represif, Indonesia Memercik Muka Sendiri

Indonesia meminta Myanmar tidak menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi demonstran, padahal itulah yang juga terjadi di dalam negeri.

Menasihati Myanmar Tak Represif, Indonesia Memercik Muka Sendiri
Petugas Kepolisian menembakan gas air mata saat unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc.

tirto.id - Warga sipil Myanmar yang melawan junta militer setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dibalas dengan represi. Mengutip Aljazeera, menurut informasi yang diperoleh dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB dari informan yang dapat dipercaya, hingga Minggu lalu “sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 luka-luka.”

Kementerian Luar Negeri Indonesia merespons perkembangan tersebut dengan menyerukan agar “aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan dan menahan diri guna menghindari lebih banyak korban jatuh serta mencegah situasi tidak semakin memburuk.” Demikian mengutip situs resmi.

Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah menyatakan prinsip negara-negara ASEAN memang non-intervensi. Namun, dalam kasus Myanmar, menurutnya keliru jika itu dimaknai sebagai sikap pasif terhadap kekerasan yang terjadi.

“Kaidah non-interference ini menjadi relatif, terlebih lagi Menlu RI melakukan shuttle diplomacy untuk membantu mencari solusi masalah,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (1/3/2021),

Masalahnya, menurut Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, sikap tersebut bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Aparat Indonesia sendiri kerap kali bersikap represif terhadap sipil.

“Banyak catatan bahwa aparat brutal dan juga menggunakan kekerasan dalam menghadapi demonstran,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Senin.

Satu contoh yang Isnur maksud adalah kala aparat menangani Reformasi Dikorupsi, demonstrasi yang muncul di berbagai daerah menentang banyak rancangan peraturan bermasalah tahun 2019 lalu.

Tuduhan yang paling sering dikenakan kepada orang dan kelompok aksi adalah penghasutan tindakan kekerasan; perusakan dan tindak kekerasan terhadap orang atau barang (pembakaran dengan molotov); menghalangi, melawan, memaksa aparat untuk melakukan tindakan; serta menolak untuk membubarkan diri.

Berdasar data dari Lokataru Foundation ihwal pemantauan penanganan aksi pada 24–26 September 2019, terdapat 719 korban luka. Korban luka terbanyak berasal dari Bandung, yakni 400 orang. Disusul Jakarta (254 orang), Makassar (50 orang), dan Kendari (15 orang).

Selain itu, terdapat juga lima orang meninggal dunia. Dua di antaranya adalah Immawan Randi (21) dan Muhammad Yusuf Qardhawi (19), mahasiswa Universitas Halu Oleo. Mereka diduga ditembak polisi pada 26 September 2019 di gedung Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Tenggara.

Dalam kasus Randi, polisi Abdul Malik (31) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan divonis empat tahun penjara akhir tahun lalu.

Korban meninggal lain adalah Maulana Suryadi alias Yadi (23). Kapolri saat itu, Tito Karnavian, membantah penyebab kematian korban karena dianiaya anak buahnya, namun lantaran sesak nafas. Tapi ibunda jenazah mendapati wajah anaknya bengkak dan dari telinga keluar darah.

Lokataru menyimpulkan bahwa penanganan aksi Reformasi Dikorupsi diduga keras telah melanggar sejumlah Peraturan Kapolri dan prosedur pengendalian aksi. Dalam kasus Randi dan Yusuf, Lokataru menyebut “penggunaan senjata api diambil dengan ukuran-ukuran ekstrem” sebab mereka tengah mengikuti aksi damai dan “tidak terbukti tengah meningkatkan eskalasi demo menuju anarkis.”

Represi serupa pun berulang di Papua. Laporan Amnesty International Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua menyebut sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 69 pembunuhan di luar hukum di Papua--atau dalam istilah hukum internasional disebut 'unlawful killing'. Laporan menyebut tak ada satu kasus pun diproses lewat mekanisme penyelidikan atau penyidikan independen.

Isnur mengatakan berkaca dari kasus-kasus tersebut, pemerintah harus tegas berkomitmen bahwa konstitusi dan undang-undang menjamin hak setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat, berekspresi, dan menyampaikannya di depan umum. Oleh karena itu mereka harus tegas memerintahkan aparat untuk tidak melakukan kekerasan, brutal, dan mengkriminalisasi demonstran. Ia juga mengatakan aparat yang melakukan kekerasan harus ditindak.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti juga mengatakan hal serupa. Seruan Indonesia menghentikan kekerasan di Myanmar “jadi polemik di kawasan ASEAN karena rekam jejak impunitas [di Indonesia] masih sangat kuat,” kata Fatia kepada reporter Tirto, Senin.

Menurutnya, tak ada kemauan dan akuntabilitas dari pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu yang mengakibatkan pelanggaran HAM kerap berulang di masa kini.

Baca juga artikel terkait KUDETA MYANMAR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino