Menuju konten utama

Menanti Pemerintah Meredam Mahalnya Biaya Jadi Dokter

Mahalnya biaya pendidikan kedokteran salah satunya disebabkan karena adanya izin kepada universitas untuk menarik uang pangkal kepada calon mahasiswa. Itulah sebabnya universitas menerapkan uang pangkal dalam jumlah yang seringkali sangat mahal dan tidak terjangkau masyarakat tidak mampu.

Menanti Pemerintah Meredam Mahalnya Biaya Jadi Dokter
Sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Fakultas Ilmu Kesehatan memperagakan cara membuat masker yang dimodifikasi dengan sabut kelapa di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (7/10). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/

tirto.id - Pendidikan kedokteran masih menjadi program studi paling diminati dalam Seleksi Masuk Universitas Indonesia (SIMAK UI) pada program S1 Reguler tahun 2016. Dari 37.456 peserta SIMAK UI, sebanyak 3.912 orang memilih program pendidikan kedokteran. Padahal biaya yang harus dibayarkan orang tua mahasiswa hingga menjadi dokter tidak murah.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengizinkan kampus untuk menarik uang pangkal dan biaya lain kepada mahasiswa. Di Universitas Indonesia, misalnya, uang kuliah awal Fakultas Kedokteran (FK) Rp25 juta. Di Universitas Batam, uang kuliah awal FK Rp200 juta. Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang yang berstatus negeri pun menarik uang kuliah awal atau disebut dana pengembangan institusi sebesar Rp285 juta. Biaya tersebut belum termasuk uang SPP Rp15,6 juta per semester.

Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno membeberkan tentang mahalnya biaya kuliah kedokteran ini, berdasarkan pengalaman kedua anaknya yang kuliah di FK UI. Anak pertama masuk pada 2007 dan anak kedua 2011. Untuk anak pertama membayar SPP Rp1,5 juta dan uang pangkal (uang pembangunan) Rp25 juta. Sementara anak kedua, membayar SPP Rp7,6 juta per semeseter dan uang pangkal Rp25 juta.

"Untuk biaya SPP saya bayar Rp7,6 juta per semester dari tingkat pertama sampai terakhir dan tidak membayar apapun lagi termasuk praktikum. Kecuali beli buku, alat stetoskop, laptop yang tidak termasuk hitungan," kata Bambang kepada tirto.id, Jumat (7/10/2016).

Besarnya uang pangkal tergantung kebijakan kampus. Untuk FK universitas swasta, biaya uang pangkal bisa mencapai Rp200 juta - Rp300 juta. Sementara untuk biaya SPP mencapai Rp25 juta - Rp30 juta per semester. Universitas Batam yang dikelola oleh Yayasan Griya Husada, mematok biaya awal masuk FK Umum tahun 2016-2017 dengan total Rp266 juta. Belum termasuk co-as, praktikum, Kuliah Kerja Nyata (KKN), jurnal dan sebagainya.

"Betul, biayanya (uang pangkal fakultas kedokteran) Rp200 juta," kata Wakil Rektor III Universitas Batam Dahlan Gunawan, saat dikonfirmasi tirto.id, pada Minggu (9/10/2016).

Menurut Dahlan, mahalnya biaya pendidikan dokter disebabkan alat-alat praktikum yang tidak murah. Satu alat praktikum bisa mencapai miliaran rupiah dan belum termasuk beli cairan untuk praktikum. “Biaya mahal ini bukan hanya di Universitas Batam saja, tetapi Fakultas Kedokteran lainnya juga mahal,” katanya.

Jika biaya pendidikan dokter mencapai ratusan juta, bagaimana dengan spesialis dokter?

Menurut Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 004 tahun 2015 tentang Program Spesialis disebutkan soal Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan Dana Pengembangan (DP). Untuk spesialis anak misalnya, kelas reguler biaya BOP mencapai Rp10 juta per semester dan biaya DP sebesar Rp26 juta. Jika mengambil kelas khusus, maka dokter harus merogoh kocek dalam yaitu Rp15 juta per semester dan biaya DP Rp31 juta.

Dari 31 program spesialis di UI, yang termahal adalah spesialis obstetri dan ginekologi. Biaya BOP untuk reguler sebesar Rp15 juta per semeter dan biaya DP sebesar Rp51 juta. Jika mengambil kelas khusus, biayanya lebih mahal lagi, yaitu Rp25 juta per semester dan biaya DP sebesar Rp76 juta.

Nominal yang hampir sama juga ada di Universitas Airlangga. Untuk program spesialis anak, dokter harus membayar uang sumbangan operasional pendidikan (SOP) sebesar Rp10 juta per semester dan sumbangan pembinaan dan peningkatan pendidikan (SP3) sebesar Rp60 juta. Sementara spesialis obstetri dan ginekologi, biaya SOP mencapai Rp10 juta per semester dan SP3 sebesar Rp20 juta. Mahal atau murahnya biaya pendidikan dokter spesialis memang tergantung kebijakan rektor masing-masing.

Menurut Bambang Supriyatno, biaya spesialis tergantung pada bedah atau nonbedah. Bedah contohnya bedah saraf atau kebidanan. Nonbedah contohnya spesialis anak dan penyakit dalam murni tanpa unsur pisau. Tetapi ada juga unsur setengah bedah dan nonbedah, seperti spesialis mata dan THT. Hal yang pasti, spesialis bedah lebih mahal.

"Yang saya tahu, spesialis anak itu Rp15 juta per semester. Sementara untuk yang bedah bisa mencapai Rp40 juta - Rp50 juta per semester. Jadi memang ada perbedaan-perbedaan dan harus kita akui. Kenapa? Biaya untuk melakukan tindakan atau melatih tindakan, menggunakan sarana-sarana yang lebih mahal," kata Bambang.

Semangat Utama UU Pendidikan Dokter

Mahalnya biaya pendidikan dokter umum maupun dokter spesialis, sudah sepatutnya mendapatkan perhatian pemerintah. Undang-Undang No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, secara tegas menyebut bahwa biaya pendidikan kedokteran harus disetujui oleh menteri. Yakni pasal 52 ayat 2 yang berbunyi, "Penetapan biaya Pendidikan Kedokteran yang ditanggung Mahasiswa untuk semua perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran harus dilakukan dengan persetujuan Menteri."

Meskipun aturan itu ada, pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti ternyata tidak memberi batasan-batasan biaya pendidikan kedokteran. Hal itu yang menjadi penyebab angka-angka yang dipatok sesuai keputusan rektor masing-masing.

"Itu yang kita nantikan. Dalam Undang-Undang No 20 tahun 2013, ada kewenangan Kementerian untuk menentukan batas maksimal atau range biaya pendidikan Fakultas Kedokteran. Harusnya menteri menentukan karena memiliki hak berdasarkan UU," ujar Bambang.

Guru Besar UI tersebut bahkan mengatakan, bukan hanya biaya fakultas tetapi juga jumlah mahasiswa bisa ditentukan oleh menteri. Contohnya Fakultas A boleh menerima 250 mahasiswa per tahun, Fakultas B boleh menerima 50 mahasiswa dan Fakultas C boleh menerima 70 mahasiswa. Jumlah kuota menjadi hak sepenuhnya kementerian. Sayang, tidak berjalan dengan baik.

"Masalah pembiayaan, menteri itu berhak menentukan biaya pendidikan kedokteran. Tentu bukan besarnya harus sekian ribu tetapi range-nya berapa. Ada batas-batasan yang ditentukan oleh kementerian. Bukan yayasan yang tentukan masing-masing. Menteri yang harus tentukan. Kalau masalah biaya belum ditentukan, masalah kuota mahasiswa justru sudah ditentukan meski belum ditaati sepenuhnya," ungkapnya.

Oleh sebab itu, Konsil Kedokteran Indonesia mendesak pemerintah untuk menetapkan biaya pendidikan kedokteran dengan batas-batasan tertentu. Tentu, bagi universitas swasta yang tidak mendapat bantuan dari pemerintah secara penuh, boleh mengambil keuntungan dengan nilai wajar.

Mahalnya biaya kuliah untuk menjadi dokter di kampus negeri juga menjadi keprihatinan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin, melalui keterangan resmi menuturkan bahwa di mana pun biaya pendidikan dokter mahal. “Tapi kalau di perguruan tinggi negeri, seharusnya ada subsidi dari pemerintah, sehingga biaya menjadi terjangkau,” katanya.

Tentu tujuannya, semakin banyak anak Indonesia dari kalangan kurang mampu yang bisa mengakses pendidikan calon dokter. Sebab sejatinya, urusan penetapan biaya pendidikan dokter harus menjadi semangat utama dalam Undang-undang Pendidikan Kedokteran.

Baca juga artikel terkait BIAYA KULIAH KEDOKTERAN atau tulisan lainnya

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Reja Hidayat & Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti