Menuju konten utama

Menanti Intervensi Pemerintah Jelang Banjir Daging Ayam dari Brasil

Daging ayam dari Brasil tinggal menghitung hari membanjiri Indonesia. Pemerintah perlu intervensi serius agar peternak lokal tak tergilas.

Menanti Intervensi Pemerintah Jelang Banjir Daging Ayam dari Brasil
Peternak memberi makan ayam broiler di Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (27/6/2019). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/wsj.

tirto.id - Kementerian Perdagangan menyatakan Indonesia sebentar lagi akan kedatangan daging ayam impor dari Brasil. Kondisi ini akan mengancam peternak lokal karena harga yang jauh lebih murah, yaitu di kisaran Rp14.000/kg, sementara daging ayam dalam negeri Rp30.000-44.000/kg.

Melihat ancaman tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Syailendra meminta industri perunggasan khususnya peternak segera berbenah, terutama mengefisienkan komponen produksi seperti harga pakan dan bibit ayam (DOC) yang bikin harga mahal. Tanpa itu ia khawatir peternak tak mampu bertahan. “Kalau tidak meningkatkan daya saing seperti disampaikan tadi, ini Brasil sudah di depan mata,” demikian peringatan Syailendra dalam diskusi virtual bertajuk ‘Harga Jagung Melambung’, Selasa (20/4/2021).

Impor ayam dari Brasil adalah buntut dari kekalahan Indonesia dari Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) beberapa tahun lalu. Ringkasnya Indonesia divonis menghambat impor dan karena kalah harus membuka keran impor. Syailendra mengatakan daging ayam impor dari Brasil seharusnya sudah masuk dalam waktu dekat, tetapi tertunda karena Indonesia masih mengupayakan banding. Sayangnya ia tak begitu yakin bila banding akan membuahkan hasil signifikan. Ia bilang, “kalau melihat tren, ini akan kalah tetap kalah. Ini hanya soal mengulur waktu saja.”

Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Muhlis Wahyudi mengatakan efisiensi sebenarnya bisa dicapai, tetapi perlu intervensi pemerintah. Tanpa intervensi, mustahil peternak bisa berdaya saing karena berbagai penentu biaya produksi berada di luar kendali mereka. Salah satunya bisa dimulai dari memastikan harga pakan terjangkau karena porsinya mencangkup 60% dari total biaya produksi. Semakin murah harga pakan, peternak dapat membeli kualitas yang lebih baik sehingga ayam cepat kenyang dan sehat.

Ia mencontohkan harga pakan saat ini terus naik hingga di kisaran Rp7.300-8.500/kg karena mahalnya jagung yang mencakup 50% biaya pakan. Harga jagung lokal terus naik dari Rp3.845/kg per Januari 2021 menjadi Rp4.263/kg per April 2021, padahal sedang berlangsung panen di beberapa wilayah. Jagung impor juga terus naik dari 202,5 dolar AS/ton per Januari 2021 menjadi 222,1 dolar AS/ton per April 2021.

Dengan kondisi ini, kualitas dan kuantitas pakan yang bisa dibeli peternak semakin buruk. Maka ayam pun semakin mudah untuk sakit bahkan mati.

“Harusnya pemerintah intervensi bahan baku biar enggak mahal. Selama masih ada permasalahan di sisi pakan, kami mau efisien dari sisi mana?” ucap Muhlis kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Senin (26/4/2021).

Di luar pakan, masih ada lagi sederet sarana produksi peternakan (Sapronak) yang masih mahal, misalnya harga DOC yang saat ini terus naik hingga Rp7.050-8.000/kg sebagai konsekuensi pengurangan pasokan demi menjaga stabilitas harga peternak. Ada pula biaya kandang dan obat-obatan yang saat ini sulit dijangkau peternak kecil.

Keadaan makin runyam saat harga ayam di tingkat peternak sering kali langganan dibanderol murah baik karena penurunan permintaan maupun kelebihan pasokan bahkan di bawah harga pokok produksi (HPP). Sebagai gambaran, HPP peternak saat ini berada di kisaran Rp19.500-20.000/kg, tetapi harga beli ayam di tingkat peternak hanya Rp18.500/kg.

Terkadang, harga beli di tingkat peternak bisa naik hingga Rp23.500/kg tetapi efeknya akan mengerek harga di tingkat konsumen juga. Alhasil, peternak sering kali hampir tidak bisa memenuhi HPP-nya dan tak jarang berada dalam kondisi mendekati gulung tikar.

Idealnya, dalam kondisi seperti itu, Muhlis menilai perlu ada intervensi guna menjaga harga ayam tingkat peternak agar tetap wajar dan dapat menjawab biaya produksi. “Harusnya pemerintah intervensi. Kalau sistem kayak gini, lama-lama saya sudah bukan peternak lagi,” ucap Muhlis.

Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santoso menilai sebenarnya pemerintah bisa bertindak lebih jauh, yaitu dengan tidak mengimpor daging ayam ke dalam negeri. Menurut Dwi, peternakan dalam negeri sedari awal tidak pernah bisa dibandingkan dengan luar negeri seperti Brasil. Peternakan Brasil memperoleh subsidi sehingga dapat menjual kelebihan pasokan mereka secara murah ke negara-negara lain. Harga murah daging ayam Brasil sebenarnya semu, alih-alih dari peternakan yang efisien.

“Ya bantunya jangan impor. Hapuskan saja impor itu,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Senin.

Menurut Dwi, pemerintah sendiri belum mampu mengatasi masalah HPP yang dihadapi para peternak. Ia khawatir saat pemerintah masih abai dan belum menemukan solusi, tingginya HPP ini akan menjadi pukulan telak bagi peternak kecil yang tidak mungkin bisa bertahan dari derasnya daging impor.

Jika mau serius, Dwi mendorong pemerintah membenahi akses sapronak yang terpusat pada perusahaan perunggasan terintergrasi dari hulu-hilir. Menurut Dwi, ketergantungan pada perusahaan-perusahaan besar ini sedikit-banyak menyumbang faktor mahalnya pakan dan sapronak lainnya.

“Penentu harga atau price maker, ya, mereka, integrator. Kalau peternak enggak ngikut itu akan terlibas dengan sendirinya,” ucap Dwi.

Baca juga artikel terkait IMPOR DAGING AYAM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino