Menuju konten utama
Koperasi Simpan Pinjam

Menakar Pengawasan Koperasi yang Lemah usai Jatuh Banyak Korban

Kementerian Koperasi gandeng PPATK melakukan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi yang diduga bermasalah.

Menakar Pengawasan Koperasi yang Lemah usai Jatuh Banyak Korban
Ilustrasi Koperasi. foto/Istockphoto

tirto.id - Kasus gagal bayar yang dialami Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tengah menuai sorotan. Sejak 2018 sampai rentang saat ini, sedikitnya terjadi tiga kasus gagal bayar yang seluruhnya dialami KSP.

Perkara ini mencuat bermula dari kasus KSP Indosurya. Permasalahan di KSP Indosurya sudah mulai tercium sejak 2018. Saat itu, Kementerian Koperasi dan UKM pernah memberikan sanksi administratif kepada Indosurya karena dugaan penyimpangan.

Penyebab utama dikeluarkan sanksi tersebut karena KSP Indosurya tidak menyerahkan laporan keuangan dan Rapat Anggota Tahunan 2019, yang mana menurut peraturan harus diserahkan pada kuartal ke I-2020.

Selanjutnya, pada 10 Februari 2020 Indosurya gagal membayar sejumlah nasabah. Permasalahan berlanjut, pihak Indosurya merilis pemberitahuan bahwa uang deposito para nasabah tidak bisa dicairkan.

Pencairan saat itu hanya dapat dilakukan dengan sejumlah syarat seperti jangka waktu 6 bulan sampai 4 tahun berdasarkan nilai asset under management (AUM).

Pada bulan berikutnya, Maret 2020, pencairan tabungan semakin alot, nasabah hanya bisa mengambil tabungan maksimal Rp1.000.000. Nasabah yang resah dan mulai curiga akhirnya mengadukan masalah tersebut ke kepolisian.

Laporan Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai kerugian dari kasus ini mencapai Rp106 triliun.

Berdasar penelusuran, untuk menjadi anggota KSP Indosurya, para peserta menyetor simpanan wajib Rp20.000.000 dan simpanan pokok Rp500.000 per bulan.

Kemudian, untuk menarik minat peserta, KSP Indosurya menjanjikan bunga yang tinggi yaitu 9–12 persen per tahun. Nilainya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan bank konvensional yang hanya menerapkan bunga pada kisaran 5–7 persen.

KSP Indosurya juga diduga memanipulasi informasi produk investasi yang dibuat seolah-olah menyerupai deposito.

“Portofolio perusahaannya juga bagus. Karena dia kasih lihat bahwa dia sudah punya insurance dan seterusnya dan kami tidak pernah disampaikan bahwa itu adalah koperasi. Kami juga cukup tertarik setelah memeriksa segala macam akhirnya kami menyimpan," kata Ricky F Djong, salah satu korban KSP Indosurya mengutip dari YouTube CNBC.

Setelah memutuskan menaruh uangnya di KSP Indosurya, ia justru baru menaruh kecurigaan. Sebab dalam proses penyimpanan, dirinya tidak pernah dilibatkan atau dikatakan sebagai anggota koperasi.

Ia juga tidak pernah mengikuti segala macam kegiatan yang selalu terjadi di berbagai koperasi. Serta tidak pernah ada simpanan pokok wajib, rapat anggota dan seterusnya.

“Kami tidak pernah dikasih tahu untuk hal semacam itu," imbuhnya.

Selain KSP Indosurya, kasus gagal bayar juga menyeret Koperasi Giri Muria Group. Awal mula kasus penipuan terhadap ribuan nasabah ini terungkap saat sembilan nasabah dari 2.600 nasabah kesulitan untuk menarik uangnya kembali senilai Rp16 miliar pada 2021.

Karena tak ada itikad baik untuk mengembalikan uang investasi itu, 9 nasabah melapor ke direktorat kriminal khusus Polda Jateng.

Terbaru juga dialami KSP Sejahtera Bersama. Pertengahan Januari lalu, Badan Reserse Kriminal Polri resmi melimpahkan 2 tersangka kasus penipuan dan penggelapan dana nasabah KSP Sejahtera Bersama ke Kejari Bogor. Keduanya disebut diduga melakukan penipuan dan penggelapan uang milik nasabah senilai Rp249 miliar.

Pengawasan Koperasi yang Lemah

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto melihat, terjadinya kasus gagal bayar dialami oleh koperasi simpan pinjam karena pengawasan dilakukan pemerintah masih sangat longgar. Hal ini karena Undang- Undang Koperasi No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur secara dalam terkait pengawasan tersebut.

“Ada pengawasan yang masih lemah dari pemerintah. Ketika aturannya tidak diatur sangat dalam, konsekuensinya yang bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri atau kementerian tidak bisa jauh karena regulasi di dalam UU itu tidak terlalu jauh mengawasi gerak koperasinya itu sendiri. Jadi problemnya di situ," kata Eko saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (21/2/202).

Kejadian ini, kata Eko, bisa menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki sisi bagaimana pengawasan ke depan koperasi ini bisa dilakukan lebih ketat dengan merevisi UU sebelumnya. Karena jika dilihat dari karakteristiknya yang banyak bermasalah ini adalah koperasi simpan pinjam.

Eko menegaskan, pemerintah tidak bisa lagi menyamakan pengawasan KSP dengan koperasi umumnya seperti riil. Sebab, KSP ini merupakan pengelolaan bisnis uang atau bisa disebut juga sebagai lembaga keuangan non-bank, sehingga perlu dibedakan dari sisi pengawasannya.

“Karena penanganan terhadap bisnis simpan pinjam pengawasannya di awal secara longgar seperti barang. Padahal beda, tidak ada bisnis bank itu yang diawasi secara longgar atau non-bank juga pengawasan OJK sangat ketat," jelasnya.

“Padahal ini bisnis kepercayaan. Kalau kemudian koperasi simpan pinjam itu tidak bisa diawasi secara baik, maka nanti korbannya itu trust terhadap koperasi itu sendiri," kata Eko menambahkan.

Rencana revisi pengawasan koperasi sebetulnya sudah digagas lama. Sebelumnya pemerintah sempat merevisi lewat UU UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, tetapi dikembalikan ke undang-undang tahun 1992 karena dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

"UU 25 Tahun 1992 dinilai sudah tidak sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan koperasi di era digital," kata Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim.

Dari segi pengawasan, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki juga tidak bisa berbuat banyak. Sebab pihaknya tidak punya kewenangan untuk mengawasi ketika koperasinya makin besar, sehingga pengawasan internal itu sudah tidak memadai.

“Ini yang kita mau revisi, sebab kalau tidak, ya kita buang waktu," kata Teten sebagaimana dikutip Antara.

Kebijakan Diskriminatif

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonimi Strategis (AKSES), Suroto mengatakan, koperasi yang berikan iming-iming keuntungan besar terhadap anggota tersebut juga dipicu oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap koperasi. Sebab koperasi tidak difasilitasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seperti yang diberikan kepada bank.

“Tidak adanya jaminan LPS ini akhirnya sebabkan biaya modal koperasi menjadi tinggi. Sehingga memotivasi pengurus untuk investasi di portofolio yang berisiko tinggi." kata dia dihubungi terpisah.

Kebijakan diskriminatif oleh pemerintah dinilai memicu risiko gagal bayar koperasi jadi tambah tinggi. Ini karena bank komersial diberikan subsidi bunga sementara koperasi tidak diberi.

Tak hanya itu, bank komersial selama ini diberikan subsidi imbal jasa penjaminan sementara koperasi tidak. Bank komersial bahkan diberikan modal penyertaan dan dana penempatan sementara koperasi tidak diberi.

“Bahkan ketika bank komersial bangkrut diberikan talangan tapi koperasi tidak diberi," ujarnya.

Dalam kebijakan penanganan masalah koperasi, ia menilai Kementerian Koperasi dan UKM bertindak tidak profesional dengan bentuk Satgas Koperasi. Pembentukan satgas ini pun tidak pahami tata kelola koperasi dan gunakan aksi polisional dengan melakukan penyitaan aset. Hingga penuntutan penyelesaian melalui mekanisme peradilan tanpa didudukan dulu masalah sebenarnya di koperasi.

"Ditambah lagi provokasi dari PPATK yang melakukan pengumuman dugaan tindak pidana pencucian uang yang tidak dialamatkan secara jelas ke nama koperasi tapi ke koperasi secara umum," katanya.

Selain itu, Kemenkop dan UKM selama ini juga dinilai abai terhadap pelaksanaan kewenangan untuk bubarkan koperasi papan nama dan koperasi abal-abal yang potensi rugikan anggota. Padahal mereka sudah diberi kewenangan di UU Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian serta pengaturan di PP Tentang Pembubaran Koperasi oleh pemerintah dan Peraturan Menteri Koperasi tentang Tata Cara Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah.

Rendahnya Pemahaman Anggota

Terlepas dari sikap diskriminatif pemerintah, kasus koperasi gagal bayar ini tidak bisa disalahkan juga akibat pengetahuan anggota koperasi yang rendah terhadap tata kelola koperasi.

Pengetahuan anggota yang rendah terhadap kepemilikan mereka di koperasi, kata Suroto, menyebabkan rasa tanggung jawab anggotanya terhadap masalah yang dihadapi oleh koperasi menjadi rendah. Mereka jarang yang menyadari posisinya di koperasi itu sebagai pemilik lembaga keuangannya.

“Ketidaktahuan anggota terhadap tata kelola dan hukum koperasi serta kepedulian anggota yang rendah terhadap kepemilikanya itu dimanfaatkan oleh oknum pengurus dan manajemen koperasi untuk tawarkan iming-iming yang tidak rasional agar menarik masyarakat untuk jadi anggota dan investasi lebih besar di koperasi," jelasnya.

Dengan kondisi itu, koperasi akhirnya mendorong untuk melakukan spekulasi bisnis dengan investasikan uang koperasi di portofolio di luar aktivitas simpan pinjam dengan risiko tinggi. Sehingga sebabkan potensi gagal bayar koperasi jadi semakin tinggi.

“Ditambah ketika ekonomi lesu juga menjadikan risiko gagal bayarnya meningkat semakin tinggi,” kata dia.

PPATK Awasi Koperasi Bermasalah

Demi meminimalisir terjadinya gagal bayar, Kementerian Koperasi dan UKM menggandeng PPATK untuk melakukan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi yang diduga bermasalah. Langkah ini diambil buntut dari banyaknya koperasi gagal bayar yang menimbulkan kerugian triliunan bagi para anggotanya.

Teten Masduki mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan soal koperasi yang terindikasi melakukan tindak pidana pencucian uang. Sehingga diperlukan join audit bersama PPATK untuk menangani persoalan tersebut.

“Bahkan kami minta kerja sama dengan PPATK untuk melihat lebih jauh karena kami khawatir ada praktek-praktek koperasi gagal bayar karena salah pengelolaan," kata dia usai melakukan Pertemuan dengan PPATK di Kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Rabu (15/2/2023).

Untuk tahap awal, pihaknya terlebih dahulu akan fokus pada koperasi-koperasi besar. Sebab kebanyakan yang bermasalah sudah tidak dapat mengawasi diri sendiri sehingga dibutuhkan pengawasan eksternal oleh lembaga terkait.

PPATK, kata Teten, sudah memiliki catatan untuk pelaksanaan join audit tersebut. Di sisi lain, pihaknya juga sudah menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk ikut melakukan pengawasan terhadap koperasi yang melakukan praktik shadow banking dan merugikan para anggota.

"Bukan saya mau cuci tangan, tapi saya tidak bisa karena pengawasan kami terbatas, hanya pengawasan kulit sesuai Undang-Undang Koperasi. Oleh karena itu saya sepakat dengan PPATK untuk kita kerja sama," katanya.

Dalam kesempatan sama, Kepala PPATK, Ivan Yustiavanda mengatakan, dalam kasus-kasus koperasi gagal bayar seperti KSP Indosurya dan KSP Sejahtera Bersama menjadi peringatan untuk melakukan tindak lanjut yang lebih jauh.

“Prinsipnya kami ingin melindungi masyarakat, koperasi harus tumbuh kuat hebat dan menumbuhkan ekonomi kerakyatan tapi di sisi lain harus akuntabel," katanya.

Baca juga artikel terkait KOPERASI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz