Menuju konten utama

Menakar Kemampuan Indonesia Jadi Penengah Konflik Israel-Palestina

Karakter konflik internasional tak ada yang sama. Indonesia yang berpengalaman menangani konflik belum tentu bisa menengahi konflik negara lain.

Menakar Kemampuan Indonesia Jadi Penengah Konflik Israel-Palestina
Umat Islam berdoa saat mengikuti aksi 115 di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (11/5/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Keinginan Indonesia menjadi mediator dalam konflik antarnegara seperti Israel dan Palestina, atau Amerika Serikat dan Korea Utara, belum tentu dapat terwujud tanpa hambatan.

Menurut peneliti Hubungan Internasional Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, kemampuan Indonesia dalam menengahi konflik antarnegara tak bisa dipukul rata. Semua tergantung kasusnya sendiri. Konteks konflik Israel-Palestina atau Korut-AS tidak bisa disamakan dengan, misalnya, masalah Kamboja dan Rohingya yang pernah turut ditangani Indonesia.

"Indonesia di masa lalu memang pernah punya pengalaman. Salah satunya memediasi konflik di Kamboja, atau pernah terlibat dalam beberapa inisiatif perdamaian di Mindanao dan Rohingya. Cuma memang di luar kawasan ini sangat tergantung dengan ciri konfliknya seperti apa," ujar pria yang kerap disapa Umar itu kepada Tirto, Rabu (23/5/2018).

Konflik Kamboja terjadi ketika Vietnam menduduki Kamboja dan membantu PRK (People's Republic of Kampuchea) mengkudeta Khmer Merah. Melalui Jakarta Informal Meeting (JIM) tahun 1988-1989, Indonesia memediasi kedua negara. Hasilnya positif, Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja.

Sementara di Mindanao, Indonesia jadi mediator dari Moro National Front Liberation (MNFL) dan pemerintah Filipina yang sedang berkonflik. Akhirnya pada 1996 MNLF menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah dan sepakat untuk membuat Kawasan Otonomi Muslim Mindanao.

Menurut Umar, saat menengahi konflik tersebut, Indonesia punya posisi tawar yang kuat di ASEAN. Masalahnya tidak demikian di tempat lain.

"Dalam kasus Israel-Palestina, atau konflik Korea, atau mungkin Afganistan, nature konflik dan posisi Indonesia akan jauh beda," ujar Umar.

Faktor yang Bikin Sulit

Presiden Joko Widodo sempat menyatakan kalau Indonesia siap jadi tuan rumah pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Pertemuan tersebut bisa menjadi forum untuk membahas perdamaian di kawasan Semenanjung Korea.

Keinginan menengahi konflik antarnegara juga disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Ketika menjawab pertanyaan wartawan di Istanbul, Turki, Sabtu (19/5/2018) lalu, JK mengatakan bahwa salah satu cara agar dapat berkontribusi langsung dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina adalah membuka hubungan diplomatik dengan kedua belah pihak.

"Cara mendamaikan konflik, konflik apa saja, mau konflik keluarga [atau] konflik negara, itu harus mengenal kedua belah pihak. Pengalaman saya di mana-mana, di Poso, di Aceh, kita harus mengenal kedua belah pihak atau harus berteman dengan kedua belah pihak. Maka, [apakah] berteman [sama] dengan arti kata berpihak? Tentu tidak," kata JK.

Menurut Umar, kandidat PhD di University of Queensland, membuka hubungan diplomatik tak lantas bikin posisi Indonesia lebih kuat. Sebab dari awal memang konflik di Timur Tengah itu sangat kompleks. Aktornya tak hanya Palestina-Israel, tapi juga banyak negara lain seperti AS dan Arab Saudi.

"Peta politik ini yang jadi persoalan. Jadi, walau punya keinginan dan kemampuan, belum tentu posisi Indonesia cocok untuk memediasi konflik."

Bias Kepentingan

Keinginan Indonesia terlibat langsung menyelesaikan konflik Israel-Palestina juga dianggap akan memunculkan bias. Peneliti Politik Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth berpendapat bahwa prasangka akan muncul lantaran sejak awal kemerdekaannya pada 1945, Indonesia sudah menyatakan dukungannya untuk Palestina. Dan sebaliknya, mengutuk Israel.

"Kasus ini mirip dengan posisi Korsel sebagai unofficial mediator antara AS-Korut. Karena Korsel adalah sekutu AS," kata Adriana kepada Tirto.

Senada dengan Umar, Adriana berpendapat Indonesia sebetulnya punya kemampuan jadi mediator konflik-konflik internasional. Masalahnya, tak ada konflik yang berkarakter sama persis. Keberhasilan memediasi satu konflik tidak lantas jadi bukti kalau suatu negara memang ahli dalam bidang itu.

Jadi meski Indonesia telah berpengalaman bahkan berhasil dalam memediasi beberapa konflik seperti di Kamboja, tidak lantas berlaku pula untuk membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Lagipula, katanya, hilir dari ini semua adalah negara yang bersangkutan.

"Penyelesaian konflik sendiri sangat bergantung pada kemauan baik para pihak. Apabila tidak tercapai kesepakatan, hal ini lebih disebabkan para pihak belum mencapai titik temu dan kepentingan yang sama," katanya.

Infografik CI Jalin Hubungan dengan israel

Langkah Kemenlu

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha C. Nasir menyebut hingga kini berbagai upaya bilateral dan multilateral tetap dilakukan Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan bagi rakyat Palestina. Salah satunya adalah memberikan akses pasar untuk produk unggulan Palestina seperti kurma dan minyak zaitun dengan zero tariff ke pasar Indonesia.

"Semua ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Palestina dalam melaksanakan pemerintahan dan memperkuat daya tahan ekonomi mereka. Kita juga telah buka kantor konsul kehormatan di Ramallah," kata Nasir.

Kemenlu meminta masyarakat tak meragukan komitmen pemerintah menyelesaikan permasalahan Israel-Palestina.

"Perjuangan kemerdekaan Palestina ada di jantung politik luar negeri Indonesia. Komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina sangat kuat, dengan rekam jejak yang jelas dan tidak perlu dipertanyakan," ujar Nasir.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino