Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Menakar Kans Andika Perkasa di Pemilu 2024 usai Pensiun dari TNI

Andika Perkasa dinilai bisa menjadi alternatif, selain Prabowo, AHY, Moeldoko maupun Gatot Nurmantyo.

Menakar Kans Andika Perkasa di Pemilu 2024 usai Pensiun dari TNI
Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri) mengikuti Rapat Kerja dengan DPD di gedung DPD, Jakarta, Selasa (8/2/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

tirto.id - Pergantian Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI tinggal menunggu waktu. Andika yang akan pensiun pada Desember ini akan digantikan Laksamana TNI Yudo Margono yang kini menjabat sebagai KSAL. Penunjukan Yudo sebagai calon tunggal telah disetujui DPR dan hanya nunggu serah terima jabatan usai dilantik Presiden Joko Widodo.

Terlepas dari pergantian Panglima TNI dari Andika ke Yudo, spekulasi soal kelanjutan karier Andika menjadi perbincangan. Nama Andika sudah masuk radar sebagai bakal calon presiden 2024 setelah Partai Nasdem memasukkan namanya dalam tiga kandidat capres mereka. Akan tetapi, nama Andika gugur setelah parpol besutan Surya Paloh itu memilih eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Meski demikian, sejumlah pihak masih meyakini karier Andika tidak akan berhenti, bahkan masih tetap menjadi calon potensial yang bakal dilirik parpol atau gabungan partai politik jelang Pemilu 2024.

Pemerhati politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai, Andika masih bisa menjadi bakal capres atau cawapres karena publik masih meyakini orang-orang berlatar belakang militer sebagai sosok tegas, berwibawa, serta berjiwa ksatria. Sikap itu kemudian dibuktikan dengan posisi Soeharto dan SBY yang pernah menjabat sebagai presiden.

“Jadi menurut saya masih kuat, bahwa misalnya kombinasi sipil dan militer itu diharapkan. Jadi menurut saya Pak Andika punya potensi [menjadi] calon wakil presiden, mengisi, mengimbangi kekuatan capres sipil,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Selasa (6/12/2022).

Akan tetapi, posisi Andika masih terhalang faktor partai politik. Kunto menilai tidak ada kader partai politik yang punya figur kuat kecuali Prabowo. Kursi kandidat potensial bisa saja diisi oleh para ketua umum partai.

“Itu yang kemudian menyulitkan atau memperkecil peluang Pak Andika Perkasa secara objektif,” kata Kunto.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, meyakini bahwa Andika masih bisa maju dan ditarik ke politik. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa dua dari tiga panglima TNI era Jokowi ditarik ke kabinet, yakni Jenderal (purn) Moeldoko dan Marsekal (purn) Hadi Tjahjanto.

Namun, kata Fahmi, hal tersebut belum tentu mudah terealisasi karena reshuffle adalah prerogatif presiden dan penggeseran menteri harus melalui komunikasi panjang dengan berbagai pihak.

Fahmi menilai ada beberapa posisi strategis yang bisa diduduki Andika bila masuk kabinet, seperti menjadi Menteri Pertahanan menggantikan Prabowo Subianto atau menjadi Kepala BIN menggantikan Budi Gunawan.

“Kalau Jenderal Andika memang bergabung ke kabinet, yang paling ideal tentunya mengisi jabatan yang relevan dengan kompetensinya sebagai tentara, semisal Menkopolhukam, Menhan atau Kepala BIN. Jika melihat chemistry dengan presiden, posisi kepala staf presiden juga bisa saja diisi oleh Andika,” kata Fahmi.

“Tapi selain itu kalau kita mencermati kiprah Jenderal Andika selama ini, terutama pengalaman kehumasan dan pengelolaan ruang digitalnya, posisi menkominfo juga layak dipertimbangkan untuk Andika,” tutur Fahmi.

RDP KOMISI I DENGAN MENHAN, PANGLIMA TNI DAN KEPALA STAF TNI

Menhan Prabowo Subianto (kanan) berbincang bersama Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri) saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/9/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Bisakah Kandidat Berlatar Militer Menangkan Pemilu 2024?

Posisi Andika yang masuk masa pensiun membuat eks KSAD itu bisa bermanuver dalam bursa capres-cawapres 2024. Ia bisa menjadi alternatif baru, selain Prabowo yang sudah punya elektabilitas tinggi, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kini Ketua Umum Partai Demokrat atau bersaing dengan eks Panglima TNI lain seperti Moeldoko maupun Gatot Nurmantyo.

Pendapat ini bukan tanpa alasan. Dalam survei Polstat pada November 2022, nama Moeldoko diklaim berada di peringkat kedua sebagai bakal capres dari kalangan militer. Moeldoko mengantongi 14,7 persen dari total 1.200 responden per 6-14 November 2022.

Sementara dalam survei Voxpol Center terhadap 1.220 responden pada 22 Oktober-7 November 2022 juga merekam nama eks Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo selain Prabowo, Andika maupun AHY. Selain itu, Voxpol juga menemukan bahwa lebih dari 25 persen responden masih ingin ada kombinasi sipil dan militer (20,6 persen ingin militer-sipil, sementara 16,2 persen sipil-militer).

Kunto tidak memungkiri bahwa pasangan bakal capres-cawapres militer-sipil masih diminati publik. Ia malah melihat hal tersebut layaknya bandul lantaran Indonesia silih berganti antara sipil-militer.

“Kelihatannya akan seperti bandul gitu. Soeharto militer, Habibie, Gus Dur, Megawati sipil dalam beberapa tahun 6-7 tahun, kemudian SBY militer 10 tahun, Jokowi sipil 10 tahun. Lalu ya kalau digilir-gilirkan atau dianalisis otak-atik, jatuhnya bisa jadi militer,” kata Kunto.

Meski begitu, Kunto mengingatkan, Pemilu 2024 tidak serta-merta akan dimenangkan militer. Ia sebut ada beragam variabel bila militer bisa menang dalam pemilihan mendatang. Ia mencontohkan seberapa mampu kandidat militer bisa menghadapi masalah saat ini seperti krisis lapangan kerja hingga masalah lainnya.

“Jadi menurut saya harus kontekstual juga analisis bahwa militer punya peluang atau tidak punya peluang,” kata Kunto.

Di saat yang sama, Kunto tidak memungkiri bahwa banyak kandidat berlatar militer akan semakin memperebutkan pemilih. Sebab, kata dia, pemilih bisa saja melirik Andika karena tokoh fresh eks militer yang pernah menjadi Panglima TNI. Akan tetapi, asosiasi itu belum tentu bisa meraup suara pemilih. Hal yang sama juga dialami Gatot, Moeldoko maupun Prabowo.

“Kalau soal itu akan menggerus, ya pasti. Kalau kuenya dibagi lebih banyak orang, pasti lebih kecil bagiannya itu,” kata Kunto.

Kunto yakin partai akan melihat kandidat berlatar belakang militer jika elektabilitas mereka tinggi. Hai itu berlaku bagi kandidat berlatar belakang militer maupun non-militer. Ia menilai semua tergantung karena kondisi politik saat ini masih cair.

“Kalau menurut saya masih punya peluang semua, apalagi ini semakin susah ditebak irama pencapresan ini,” kata Kunto.

Hal senada diungkapkan Fahmi. Ia sebut, kandidat berlatar belakang militer memang sudah potensial ikut Pemilu 2024. Ada pula tokoh yang sudah mulai bergerak untuk pemilu mendatang. Ia juga tidak memungkiri bahwa ada pemilih yang memang preferensi pada tokoh militer.

“Ini saya kira tidak bisa dipungkiri, ini tidak lepas dari efek puluhan tahun militer cenderung menghegemoni dan mewarnai perjalanan republik ini, mewarnai juga proses-proses politik, baik di pemerintahan maupun proses politik negara, sehingga masyarakat yang suka atau mengidolakan figur-figur berlatar belakang militer ini memang masih cukup banyak,” kata Fahmi.

Namun, Fahmi menilai, hasil survei kalau kombinasi sipil-militer tidak bisa merepresentasikan publik. Ia beralasan, responden yang hanya ribuan tidak bisa mewakili perilaku masyarakat Indonesia.

“Apalagi apa yang ditampilkan hari ini atau dalam kurun waktu sekarang ini adalah potret hari ini, bukan potret yang pasti juga berpeluang besar terwujud di 2024 nanti. Ada banyak faktor yang bisa memengaruhi peningkatan atau penurunan kecenderungan masyarakat itu,” kata Fahmi.

Fahmi juga mengatakan, dikotomi capres-cawapres tidak perlu dijadikan patokan. Fahmi menilai tidak adil jika narasi sipil-militer digunakan karena toh Indonesia pernah dipimpin oleh pasangan sipil.

“Saya kira itu mitos ya, karena faktanya kita baru melihat sipil-militer atau militer-sipil gitu ya hanya pada masa SBY dan itu tidak cukup untuk dijadikan kesimpulan bahwa militer-sipil atau sebaliknya sipil-militer ini menjadi lebih penting. Faktanya Pak Jokowi misalnya ini dua periode didampingi oleh wakil presiden yang juga sipil dan Pak Jokowi juga nyatanya mampu memenangkan pilpres,” kata dia.

PERTEMUAN PARTAI GERINDRA DENGAN PARTAI DEMOKRAT

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) usai melakukan pertemuan tertutup di Kertanegara, Jakarta, Jumat (24/6/2022). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

Fahmi menambahkan, “Kalau disebut sipil-militer atau militer-sipil ini justru dikotomis dan saya cenderung lebih pada klaim sipil-sipil, tapi dengan kriteria dan kompetensi tertentu. Itu lebih penting misalnya kalau kemudian yang dari militer dikaitkan dengan isu-isu leadership, kepemimpinan, isu manajerial, isu loyalitas.”

Fahmi juga menilai, lembaga survei maupun akademisi harus ikut mengedukasi publik dengan tidak mengaitkan soal sipil-militer. Ia mengingatkan bahwa para purnawirawan itu sudah bukan lagi aktif di militer, meski pernah aktif sebagai prajurit.

Menurut Fahmi, para purnawirawan itu harus disebut sebagai kelompok sipil karena sudah memiliki hak pilih. Edukasi tersebut juga dilakukan agar publik tidak terjebak euforia orde baru yang mendikotomikan capres-cawapres berlatar sipil-militer maupun sebaliknya.

“Ini lebih penting karena kita tentunya tidak ingin mewarisi praktik-praktik buruk orde baru yang cenderung dipertebal dengan klaim atau mitos-mitos yang terkait dengan superioritas militer atau keunggulan dari tokoh-tokoh atau aktor-aktor yang berlatar belakang militer ini. Ini harus diakhiri,” kata Fahmi.

Fahmi mengatakan, “Kita sudah masuk masa reformasi yang harapannya membawa kita pada suasana yang lebih demokratis, lebih setara, lebih inklusif dan saya kira masyarakat sudah pintar dan tidak perlu lagi dibodoh-bodohi dengan sajian-sajian hasil survei yang tidak edukatif.”

PRESIDENTIAL LECTURE INTERNALISASI DAN PEMBUMIAN PANCASILA

Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin (kanan) dan Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri menghadiri Presidential Lecture Internalisasi dan Pembumian Pancasila di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/12/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz