Menuju konten utama

Memutuskan Kutukan Sandwich Generation dengan Dana Pensiun

Istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan Dorothy A. Miller di jurnal "The 'Sandwich' Generation: Adult Children of the Aging" (1981).

Memutuskan Kutukan Sandwich Generation dengan Dana Pensiun
Ilustrasi Allianz Generation Sandwich DPLK. FOTO/Dok.Allianz

tirto.id - Sehabis lebaran, dalam sebuah obrolan bersama teman-teman masa sekolahnya, Agus Muttaqien, 34 tahun, bercerita tentang beban hidup yang selama ini ia tanggung sendirian. “Sudah nyaris 10 tahun bekerja sebagai sales salah satu jenama kendaraan roda empat di Purwakarta, boleh dibilang saya belum punya apa-apa. Pendapatan terbilang besar, tapi tinggal masih sama orang tua, sekalipun sudah berkeluarga,” katanya.

Pernyataan itu terkesan berlebihan, sebetulnya, mengingat Agus datang mengendarai mobil yang tampak masih sangat kinclong tampilannya. “Saya ambil mobil juga baru setahun belakangan, nyicil pula. Tambah-tambah beban saja, sebenarnya, tapi apa boleh buat, anak dua sudah mulai agak besar. Kalau dibawa naik motor terus ke mana-mana repot,” sambungnya.

Kelak, teman-temannya tahu, seperti halnya sebagian besar diri mereka, Agus juga punya tanggung jawab membiayai kebutuhan sehari-hari ibu bapaknya. “Usaha keluarga bangkrut, tabungan ortu ludes, dan sesekali saya mesti ikut bantu pula biaya kuliah adik.”

Terdengar familiar?

Di Indonesia, meski angka riilnya belum pasti, potret kehidupan keluarga macam itu bukanlah perkara langka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Statistik Penduduk Lanjut Usia 2017 menyebutkan bahwa 77,82 persen sumber pembiayaan rumah tangga lansia ditopang oleh anggota rumah tangga yang bekerja. Sedangkan hasil Survei Ekonomi Nasional pada tahun yang sama menunjukkan bahwa 62,64% kaum lanjut usia di Indonesia tinggal bersama anak cucunya.

Kenyataan itulah yang membuat orang-orang seperti Agus, salah seorang “generasi terjepit” alias generasi sandwich (Sandwich generation), sukar ditepis kemunculannya.

Istilah generasi sandwich pertama kali dikenalkan oleh Dorothy A. Miller empat puluh tahun lalu. Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS), itu menyebut istilah generasi sandwich dalam jurnal berjudul "The 'Sandwich' Generation: Adult Children of the Aging" (1981).

Dalam jurnal tersebut, Dorothy mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup orang tua dan juga anak-anak mereka. Menurut Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, sebagai tulang punggung dua generasi sekaligus, generasi sandwich rentan mendapatkan banyak tekanan, terutama karena masalah keuangan, kesehatan, pendidikan, dan tuntutan rumah tangga lainnya.

“Selain itu, karena terbatasnya waktu dan banyaknya tugas yang harus mereka penuhi, generasi ini juga cenderung mengabaikan masalah self-care bagi diri mereka sendiri,” kata Vera.

Pertanyaannya, bagaimana cara memutus rantai generasi sandwich?

Infografik Advertorial Allianz Generation Sandwich

Infografik Advertorial Allianz Generation Sandwich. tirto.id

Merencanakan Dana Pensiun

“Satu-satunya cara memutus rantai generasi sandwich adalah dengan mulai merencanakan dana pensiun dan mulai berinvestasi,” ujar Melvin Mumpuni, Perencana Keuangan Profesional dan Founder Finansialku.com.

Menurut Melvin, generasi sandwich muncul karena ada orang tua yang tidak siap secara keuangan untuk membiayai pengeluaran bulanan mereka saat pensiun, sehingga membutuhkan bantuan anak-anaknya.

Sebab itu, menanamkan kesadaran dan kedisiplinan menabung sebagai persiapan masa pensiun penting dilakukan sejak dini. “Anda harus memikirkan kapan Anda akan pensiun, berapa pengeluaran bulanan saat pensiun, serta berapa perkiraan hasil keuntungan saat Anda pensiun,” sambung Mevin.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan setidaknya terdapat tiga manfaat dana pensiun. Pertama, menghindari jebakan generasi sandwich. Dengan mempersiapkan dana kebutuhan sejak dini, pada masa tuanya seseorang tidak akan merepotkan anak maupun anggota keluarga lain.

Kedua, dana pensiun dapat menjadi bekal sebab pada usia tua pengeluaran akan lebih banyak dibandingkan dengan penghasilan. Terakhir, dana pensiun dapat digunakan sebagai modal usaha karena setelah tidak bekerja dan memasuki masa pensiun, banyak orang mencoba mendapatkan penghasilan dari berwirausaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebab besaran dan kebutuhan dana pensiun tiap orang berbeda, Yoppy Indradi Setiabudi, Head of Group Pension & Credit Life Operation Allianz Life Indonesia, memberi gambaran soal cara menghitung dan memperkirakan dana pensiun.

“Mulailah dengan menghitung pengeluaran rutin Anda setiap bulan dan kemudian tetapkan jangka waktu. Usia pensiun rata-rata yang berlaku di Indonesia ialah 55 tahun, dan angka harapan hidup orang Indonesia mencapai 70-75 tahun. Artinya, Anda perlu memenuhi kebutuhan hidup selama masa pensiun 15-20 tahun sebelum tutup usia.”

Adapun skema sederhana yang dapat digunakan untuk menghitung dana pensiun adalah mengalikan pengeluaran tahunan dengan angka 25. Apabila pengeluaran tahunan Anda Rp100 juta, misalnya, dana pensiun yang dibutuhkan adalah Rp2,5 miliar. Jumlah tersebut merupakan dana pensiun yang dibutuhkan selama 25 tahun setelah pensiun dimulai.

Penasaran dengan kebutuhanmu di masa depan? Sila hitung besaran dana pensiunmu di sini.

Omong-omong soal dana pensiun, ada dua jenis dana pensiun, yakni Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Masyarakat umum, baik karyawan maupun pekerja mandiri, dapat mendaftarkan diri ke DPLK dan membayar iuran setiap bulannya untuk kemudian mencairkan uang pensiun sesuai iuran beserta pengembangannya.

Menurut Yoppy Indradi, dibandingkan dengan menabung di bank atau berinvestasi, DPLK merupakan ‘kendaraan’ yang paling pas digunakan pekerja atau pengusaha untuk mempersiapkan dana pensiun. Alasannya, iuran DPLK yang disetor menjadi pengurang pajak penghasilan (PPh21) dan hasil investasi di DPLK pun bebas pajak serta dikelola secara profesional dan transparan. Dilansir dari data OJK, dari 75 juta tenaga kerja di Indonesia, hanya 5,93% atau 4,4 juta orang yang terdaftar sebagai peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Apa yang membedakan DPLK Allianz dengan DPLK lainnya?

Pertama, program DPLK Allianz Indonesia juga menawarkan pilihan investasi yang beragam di mana perusahaan dapat memilih salah satu atau mengombinasikan pilihan investasi yang tersedia.

Kedua, pilihan iuran yang fleksibel bagi para peserta program bisa disesuaikan dengan kebutuhan atau kemampuan finansial perusahaan.

Ketiga, pilihan pembayaran dana pensiun juga mempunyai manfaat yang beragam seperti Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Dipercepat, Manfaat Pensiun Meninggal, dan Manfaat Pensiun Cacat.

Terakhir, iuran perusahaan akan dianggap sebagai biaya sehingga dapat mengurangi pajak penghasilan badan. Selain itu, penempatan dana peserta di instrumen deposito tidak dikenakan pajak. Selain itu, program dana pensiun Allianz Indonesia dikelola tim investasi yang berpengalaman dan Allianz Investment Management (AIM) dengan prinsip filosofi investasi yang hati-hati.

Kemampuan merencanakan keuangan dengan baik—termasuk punya kesadaran dan disiplin tinggi dalam menabung atau berinvestasi—tergolong sebagai kecakapan literasi finansial, yakni salah satu kecakapan hidup yang diperlukan pada abad 21.

Yuk, persiapkan dana pensiunmu dari sekarang. Bagaimanapun, sebagaimana disampaikan Epicurus si filsuf hedonisme yang masyhur itu, “kenikmatan bukanlah hadirnya apa pun yang dapat menimbulkan rasa senang, melainkan tiadanya rasa cemas.”

Percaya atau tidak, kecemasan bisa hilang seandainya kita sampai pada tahap kebebasan finansial.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis