Menuju konten utama

Memukul Kaum Pergerakan dan Kisah Sukarno di Penjara Banceuy

Penangkapan besar-besaran dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kaum pergerakan di pengujung 1929. Sukarno jadi pesakitan di penjara Banceuy dan Sukamiskin.

Memukul Kaum Pergerakan dan Kisah Sukarno di Penjara Banceuy
Jalan Banceuy di era kolonial. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Sejak kedatangannya di Bandung pada 1921 untuk kuliah di Technische Hogeschool te Bandoeng atau ITB sekarang, Sukarno langsung aktif terlibat di gelanggang politik menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia bersama kawan-kawannya kerap mengadakan diskusi di rumah kosannya milik pasangan Haji Sanusi (aktivis Sarekat Islam) dan Inggit Garnasih. Kelak, ibu kosnya itu ia sunting sebagai istri kedua setelah bercerai dengan Siti Oetari, putri HOS Tjokroaminoto.

Pada 1927, Sukarno dan kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang aktif mendidik rakyat dengan memberikan kuliah-kuliah politik untuk membangkitkan kesadaran rakyat tentang bahaya kolonialisme dan pentingnya kemerdekaan. Kegiatan ini tentu saja menjadi ancaman bagi penguasa dan ia beserta kawan-kawannya diawasi dengan ketat.

Di pengujung 1929, saat ia dan koleganya mengadakan serangkaian rapat umum di Solo dan Yogyakarta, pemerintah kolonial Belanda menggelar operasi besar-besaran dengan menangkapi para aktivis yang dituduh hendak melakukan makar.

Operasi yang memukul kaum pergerakan nasional ini tidak bisa dipisahkan dari peristiwa tahun 1926 saat PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Untuk membuat jera, Belanda membuang para pesakitan politik itu ke Boven Digul, kamp neraka di jantung Pupua.

Namun, alih-alih melumat semangat kaum pergerakan, setelah pemberontakan tersebut bibit-bibit perlawanan tumbuh di banyak tempat. Termasuk di Bandung, kota yang menggembleng Sukarno dalam urusan politik.

“Kaum imperialis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menajdi bangsa yang merdeka,” ucap Sukarno berapi-api dalam sebuah rapat umum di Yogyakarta.

Masih di hari yang sama setelah ia berpidato, tepatnya pukul lima pagi, pintu rumah tempat ia menginap digedor aparat keamanan pemerintah kolonial Belanda berjumlah 50 orang. Ia dan Gatot Mangkupraja digelendang ke Mergangsan, penjara untuk orang sakit jiwa.

Tak lama di situ, mereka lalu di bawa ke arah barat menggunakan kereta api dan diturunkan di Cicalengka, daerah pinggiran Bandung. Dari Cicalengka lalu dibawa dengan mobil dan ke arah pusat kota Badaung.

“Perjalanan itu tidak lama. Kami hampir tidak punya waktu untuk merasakan tubuh yang gemetaran ketika sampai di rumah kami yang baru. Pada papan namanya tertulis: Rumah Penjara Banceuy,” ujar Sukarno.

Pidato Sukarno yang subversif tersebut tentu saja telah diincar oleh alat-alat negara yang bekerja siang malam mengawasi kaum pergerakan. Malah kerja-kerja “me-rumah kaca-kan” para aktivis ini semakin kencang saat memasuki permulaan tahun 1930 dengan kehadiran polisi rahasia kolonial yang bernama Politieke Inlichtingen Dienst (PID).

Dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013) yang disunting oleh Erwiza Erman dan Ratna Saptari, cara kerja PID serupa sampar yang menjalar dengan begitu cepat.

“PID semakin intensif mengawasi pertemuan-pertemuan, dan melakukan campur tangan dalam (pemeriksaan naskah) pidato-pidato. Polisi juga melakukan penggeledahan rumah dan tahanan rumah, menahan, menginterogasi orang-orang yang dicurigai, melakukan sensor, menyita koran harian, mingguan dan bulanan, dan juga buku-buku,” tulisnya.

Secara garis besar, berdasarkan survei Algemeene Recherche Dienst (ARD), sejak kaum pergerakan diberangus mulai awal 1930-an, pemerintah kolonial melakukan pengintaian terhadap aktivitas politik penduduk pribumi yang terdiri dari lima bagian: pergerakan ekstremis, gerakan Islam dan nasional, gerakan orang-orang Cina, gerakan serikat buruh, dan luar negeri.

“Rasanya Aku Mau Mati”

“Begitu aku masuk, rambutku dipotong pendek sampai hampir gundul dan aku disuruh memakai seraga tahanan berwarna biru dengan nomor di punggungnya,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007).

Menurut penuturannya, Banceuy adalah penjara kelas bawah yang keadaannya kumuh dan usang. Di sana terdapat dua jenis sel yang diperuntukkan bagi tahanan politik dan para kriminal kelas bawah yang ia sebut tahanan pepetek—ikan murah yang biasa dimakan orang miskin dan menjadi julukan bagi orang desa.

Ketika Sukarno dan para aktivis pergerakan lainnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara, situasi Kota Bandung menjadi genting. Di hampir semua tempat umum, para polisi berjaga. Mereka seperti dituturkan Inggit Garnasih dalam Kuantar ke Gerbang (2014) yang ditulis Ramadhan K.H., berjaga di stasiun kereta api, stasiun bus, pasar, bioskop, tempat biliar, alun-alun, dan di kantor pos dekat penjara Banceuy.

Keadaan ini membuat Inggit khawatir atas yang terjadi pada suaminya. Ia buru-buru mencari kabar ke penjara Banceuy dan bertemu dengan istri Gatot Mangkupraja. Namun, ia tak dizinkan bertemu dengan Sukarno. Ketika ia bertanya kapan ada kepastian bisa bertemu dengan suaminya, petugas hanya menjawab, “tidak tahu.”

“Sering-sering saja datang kemari untuk mendapatkan kabar,” tambah petugas. Dan jendela kecil tempat ia dan petugas berkomunikasi tertutup kembali.

“Bukan main kecewanya aku mendapat pelayanan seperti itu. Apakah ia tidak bisa berbicara lebih halus? Apakah ia tidak bisa lebih panjang dan lebih jelas menerangkannya? Aku masih ingin bertanya banyak, antara lain tentang siapa saja yang ditahan di bui Banceuy itu. Aku menjadi gelisah. Aku ingin sekali bertemu Kusno (panggilan Inggit kepada Sukarno). Ingin mendengar darinya apa yang harus aku perbuat,” ucap Inggit.

Kegelisahan bukan hanya milik Inggit, Sukarno juga merasakannya. Baginya, seperti yang ia tuturkan kepada Cindy Adams, Inggit adalah jimat keberuntungan yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Dan saat itu, ketika dirinya ditangkap, untuk pertama kalinya Inggit tak bisa menemaninya.

Kamar Sukarno terletak di blok F. Ia menempati kamar nomor 5, dan Gatot Mangkupraja nomor 7. Sementara Maskun dan Supriadinata, pengurus PNI yang lain yang ditangkap di Bandung, menempati kamar nomor 9 dan 11.

Sel yang ditempati Sukarno dan kawan-kawannya amat sempit. Lebarnya hanya satu setengah meter dan panjangnya hanya seukuran panjang tubuhnya. Kamar itu tidak dilengkapi dengan jendela atau jeruji untuk melihat keluar.

“Tempat itu gelap, lembab dan sumpek. Sesungguhnya, aku diam-diam telah seribu kali membayangkan sebelumnya mengenai ini semua… tetapi ketika pintu berat itu mengurungku untuk pertama kali, rasanya aku mau mati. Ini pengalaman yang meremukkan,” kenang Sukarno.

Infografik Penangkapan kaum penggerakan

Siksaan fisik itu menjalar menjadi siksaan batin. Ia sering merasa tertekan dengan pengasingan tersebut. Apalagi saat malam semakin larut, perasaan sepi, sempit, terasing, kian bertambah.

“Aku merasa tidak dapat bernapas. Kupikir lebih baik aku mati,” tuturnya dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007).

Setelah 40 hari berlalu dalam deraan fisik dan batin, Sukarno baru diizinkan bertemu dengan istrinya selama lima menit. Pertemuan itu jelas darurat dan dibalut haru. Banyak hal yang ingin diutarakan keduanya, tapi waktu begitu sempit untuk mengairkan perasaan yang berkecamuk.

“Apa kabar?” tanya Inggit.

“Baik, terima kasih. Bagaimana Inggit?” jawab Sukarno.

Emosi mereka tertahan. Lalu Sukarno menyentuhkan jarinya pada jari anak angkatnya, Ratna Djuami yang diangkat Inggit pada pinggulnya, lewat kawat ram sambil tersenyum. Ratna Djuami yang biasa dipanggil Omi hanya berkata, “Papi.”

“Ia (Omi) pun mengerti rupanya apa yang sedang terjadi dengan kami,” ujar Inggit kepada Ramadhan K.H. dalam Kuantar ke Gerbang (2004).

Pertemuan itu, tambah Inggit, hanya membicarakan hal-hal kecil tentang keadaan rumah, kejadian-kejadian yang telah lewat, dan keadaan Ibu Amsi, mertua Sukarno, yang tidak bisa hadir dalam pertemuan itu karena tidak mendapat izin dari petugas.

Setelah 8 bulan ditahan, perkara Sukarno dan kawan-kawannya dibawa ke pangadilan pada tanggal 18 Agustus 1930. Di dalam persidangan Sukarno membacakan pembelaan bertajuk Indonesia Klaagt Aan atau Indonesia Menggugat.

Penulisan pleidoi itu dikerjakan selama satu setengah bulan di dalam penjara Banceuy yang darurat. Kertas dan tinta ia dapatkan dari Inggit, sementara sebuah kamus diperoleh dari perpustakaan penjara. Sukarno menulisnya beralaskan kaleng tempat kencing dan buang hajat yang terlebih dulu ia bersihkan.

Setiap malam, ia menulis pembelaannya sambil duduk tegak dan kaki bersila. Pleidoi itu kemudian menjadi salah satu teks berpengaruh dalam sejarah politik di Indonesia.

“Pekerjaan ini benar-benar meremukkan tulang punggung,” ujarnya.

Setelah menjalani persidangan dan membacakan pembelaan, Sukarno dan kawan-kawannya divonis bersalah dan menjalani hukuman kurungan selama beberapa tahun. Mereka dipindahkan dari penjara Banceuy ke penjara Sukamiskin, bui yang hari ini menjadi rumah tahanan bagi para pelaku tindak pidana korupsi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani