Menuju konten utama
Pembungkaman Berekspresi

Mempertanyakan Pembubaran Diskusi & Mimbar Bebas di Area Kampus

Pembubaran diskusi yang menjadikan kampus sebagai lokasi kegiatan bukan kali pertama.

Mempertanyakan Pembubaran Diskusi & Mimbar Bebas di Area Kampus
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. FOTO/ustj.ac.id/

tirto.id - Mahasiswa Universitas Sain dan Teknologi Jayapura (USTJ), Papua pada 10 November 2022 memperingati 21 tahun kematian Theys Hilo Eluay. Mereka mengadakan mimbar bebas di halaman kampus, sekira pukul 12.00. Namun sejam kemudian, polisi masuk ke lingkungan kampus menggunakan mobil patroli.

Polisi membubarkan paksa aksi mimbar bebas mahasiswa dan mengambil bendera Bintang Kejora yang dikibarkan oleh peserta mimbar. Mahasiswa USTJ yang tidak terima akan kedatangan pihak polisi lalu menutup pintu gerbang masuk kampus.

Aparat diduga mendobrak pintu kampus dan menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa usai penutupan gerbang. Lalu, 15 orang dibawa ke Polres Kota Jayapura untuk dimintai keterangan. Hasilnya, sembilan dari lima belas mahasiswa jadi tersangka.

“Selain menjadi tersangka pengibaran bendera Bintang Kejora, mereka juga disangkakan telah menyerang aparat keamanan di USTJ, " kata Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol Victor D. Mackbon sebagaimana dikutip Antara, Senin (14/11/2022).

Sembilan tersangka tersebut, yakni RNRK (23), MW (23), AH (19), TMGS (21), NM (23), DW (19), YEMN (20), AFE (22) dan DT (25). Empat inisial terakhir bukanlah mahasiswa USTJ.

YEMN, AFE dan DT dikenakan Pasal 106 KUHP, sementara RNRK, DW, MW, AH, TMGS dan NM dikenakan Pasal 212 KUHP.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua merespons penangkapan tersebut. Mereka menyebut penangkapan itu bentuk kriminalisasi terhadap mahasiswa.

“Pada prinsipnya 'pemberitahuan secara tertulis tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan', sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (4), UU Nomor 9 Tahun 1998,” kata Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Emanuel Gobay, Senin, 14 November 2022.

“Sehingga kehadiran Polres Kota Jayapura di lingkungan USTJ pada 10 November 2022 yang menggunakan pendekatan penanganan aksi anti huru-hara, dipertanyakan legalitasnya,” sambung Emanuel. Semestinya kepolisian menerapkan pendekatan humanis jika karena ada dua perangkat aksi bermotif Bintang Kejora.

Pendekatan humanis dimaksud juga sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang tidak mengatur perihal jika orang atau sekelompok orang menggelar demonstrasi menggunakan bendera bermotif Bintang Kejora ditangkap atau dibubarkan secara paksa.

“Pendekatan penanganan aksi huru-hara dalam wilayah USTJ jelas bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 juncto Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007,” terang Emanuel.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena berpendapat, hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai dibungkam di Papua untuk kesekian kalinya. “Ini harus dihentikan. Beberapa tahun terakhir kami melihat kemunduran terhadap situasi kebebasan sipil,” ucap dia.

“Salah satunya, perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Papua yang menyampaikan ekspresi politik secara damai semakin memburuk. Padahal kebebasan berekspresi semacam ini legal dalam instrumen hukum internasional,” kata dia.

Perihal pembubaran kegiatan intelektual mahasiswa juga pernah terjadi tiga tahun silam. Diskusi publik yang dilaksanakan Teropong, Lembaga Pers Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, dibubarkan paksa aparat, pada 9 Oktober 2019.

Organisasi pun diberangus secara lisan oleh rektorat. Diskusi berjudul ‘Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama’ belum dimulai ketika satpam kampus mendatangi tempat acara. Kata satpam, penyelenggara acara ditunggu polisi yang sudah ada di depan kampus.

Polisi menekankan semestinya penyelenggara diskusi lapor kepada mereka. Penyelenggara diskusi tidak sepakat dengan berbagai alasan tersebut. Debat pun tak terhindarkan. Salah satu poin debat adalah dasar hukum tindakan polisi.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menegaskan “Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.” [PDF] Diskusi publik jelas termasuk kategori ‘kegiatan ilmiah’ yang dimaksud pasal tersebut.

"Tapi sekitar pukul 18.30 WIB, pihak kemahasiswaan menelepon satpam dan pihak LPM Teropong, lalu menginstruksikan untuk membubarkan diskusi dengan dalih diskusi tersebut tidak berizin dan mengundang pihak luar kampus," kata Fahmi Naufala Mumtaz, Pemimpin Redaksi LPM Teropong kala itu.

Pembatasan di Pulau Dewata

Sejumlah orang tak dikenal diduga mengintimidasi dan meminta bubar diskusi publik ‘Musyawarah Rakyat Indonesia Menyikapi G20’ yang diselenggarakan oleh Indonesia People's Assembly di Universitas Udayana, pada 14 November 2022.

Si pembubar mengklaim sebagai Aliansi Masyarakat Bali Bersatu dan mewakili sejumlah desa adat di Denpasar. Praktik intimidasi ini dilakukan tepat satu hari sebelum acara puncak Presidensi G20 di Nusa Dua.

"Awalnya, forum ini akan diselenggarakan di ruang terbuka hijau Universitas Udayana. Tapi pihak kampus menutup gerbang agar mahasiswa tidak bisa mengakses kampus untuk mengadakan kegiatan. Sehingga lokasi acara digeser ke Student Center," kata salah seorang perwakilan Indonesia People's Assembly, Rangga (bukan nama sebenarnya), kepada wartawan Tirto, Senin kemarin.

Sejak persiapan teknis sebelum diskusi, sejumlah orang tak dikenal masuk ke Student Center dan mulai mengintimidasi. Rangga menduga orang-orang itu bagian dari intelijen, mendesak diskusi dibubarkan.

Namun pihak tak dikenal itu membantah intimidasi yang ia lancarkan. "Tidak ada intimidasi. Kami hanya mengingatkan. Kami juga alumni. Ini bukan agenda personal, tapi untuk nama baik bangsa dan negara. NKRI harga mati, ya," kata dia. Bahkan sejumlah mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua yang ingin ikut diskusi pun dilarang masuk ke Student Center.

Tekanan juga datang dari pihak Unit Pengembangan Ormawa Universitas Udayana. Pihak kampus bahkan mengambil langkah untuk menutup dan mengunci Student Center, sehingga semua mahasiswa keluar gedung. Mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti acara tersebut dengan dalih ‘perizinan.’

Bila dikaitkan dengan Surat Edaran Nomor 35425/SEKRET/2022 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dalam Rangka Penyelenggaraan Presidensi G20, yang ditandatangani oleh Gubernur Bali Wayan Koster pada 25 Oktober 2022, wajar pihak Universitas Udayana ‘takut’ atas penyelenggaraan diskusi publik di kampus itu.

Surat edaran itu menegaskan bahwa “Pembatasan kegiatan masyarakat di wilayah Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung, dan Denpasar Selatan dilaksanakan pada 12-17 November 2022, meliputi pendidikan, perkantoran pemerintah dan swasta, upacara adat, kegiatan keagamaan, kecuali fasilitas kesehatan.”

Sementara Universitas Udayana berada di Kecamatan Kuta Selatan, yang artinya masuk dalam daerah pembatasan kegiatan.

(Tak) Merdeka Belajar

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji berkata, publik gagal paham dengan konsep ‘Kampus Merdeka’ –kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan untuk memasuki dunia kerja— yang tengah dijalankan oleh pemerintahan saat ini.

Apakah ‘Kampus Merdeka’ hanya sebuah slogan saja atau memang mahasiswa bisa merdeka untuk belajar banyak hal? Pembubaran diskusi yang menjadikan kampus sebagai lokasi kegiatan atau yang diselenggarakan oleh mahasiswa di kampus bukan kali pertama.

“Kalau kampus melakukan itu (pembubaran) berarti merdekanya di mana? Orang berbeda pendapat saja tidak boleh,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Selasa, 15 November 2022. “Atau sekadar beropini (dan) berdiskusi, tidak boleh.”

Menurut dia, kampus merupakan salah satu simbol peradaban, yang bisa dijadikan sebagai wadah untuk berdialog, bertukar pikiran, adu argumentasi, namun kebebasan itu ditutup.

“Ini kegagalan penerapan kebijakan ‘Kampus Merdeka’ pada institusi pendidikan,” sambung Ubaid.

Apalagi ia menilai mahasiswa seolah malah dipersiapkan menjadi ‘robot industri’ karena kebijakan ini, bahkan kebebasan berpikir dan penerapan paradigma yang berbeda dengan arus utama, kurang menonjol.

“Kampus itu dijadikan (wadah) tukar gagasan, bukan pelarangan atau pembubaran. Ada kelompok yang berbeda di kampus, itu semestinya diberi panggung,” kata dia.

Lantas, bagaimana dengan kampus yang dijadikan lokasi diskusi dan penyelenggaranya bukan pihak kampus? Ubaid menerangkan bahwa kampus adalah peluang yang sangat terbuka selama itu untuk kepentingan dialog, pemberdayaan masyarakat, penemuan baru, pengembangan riset dan intelektual, maka tak perlu dibatasi; yang tidak boleh ialah kampus menjadi bagian keorganisasian partai politik, misalnya.

Jangan pula kampus menjadi institusi yang tertutup, kata dia. Contohnya, ada diskusi soal komunis. “Ya, silakan saja berdebat di kampus, apakah ada hal-hal baru dari perkembangan teori komunisme tersebut. Begitu juga dengan mahasiswa Papua yang membahas soal keresahan yang terjadi di tanah kelahirannya,” kata dia.

Publik acap kali berasumsi tanpa mau mempertimbangkan dan memahami orang lain, bahkan masyarakat sering mendengarkan ‘suara penghakiman’ dan ‘suara ketakutan.’ “Sesuatu yang berbeda dengan kita, sering dihakimi (judgement). Dengan adanya penghakiman itu muncul sinisme dan ketakutan. Adanya ketakutan itu tidak ada ruang terbuka bagi mereka, seperti gagasan dan aktivitas ditutup,” terang Ubaid.

Jika ada yang berbeda pandang, jangan dihindari; tapi bisa diajak berdialog agar memahami apa yang mereka suarakan.

Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI), Doni Koesoema menegaskan, mimbar bebas semacam demonstrasi di ruang publik, urusannya adalah dengan aparat keamanan lantaran bertautan dengan ketertiban umum. Pun sebaliknya.

"Mimbar akademik acara diskusi di kampus adalah kebebasan civitas akademica dalam berpikir dan berpendapat secara akademik, sehingga aparat tidak boleh membubarkan atas nama apa pun," ucap dia kepada reporter Tirto.

Ia menambahkan, “Mimbar bebas akademik maksudnya adalah kegiatan diskusi ilmiah di dalam kampus. Mimbar akademik adalah kebebasan universitas dan dijamin oleh undang-undang."

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN DISKUSI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz