Menuju konten utama

Memo Bunuh Diri Akseyna dalam Perspektif Linguistik Forensik

Memo bunuh diri bisa dikaji oleh linguistik forensik yang menjadikan bahasa sebagai barang bukti.

Memo Bunuh Diri Akseyna dalam Perspektif Linguistik Forensik
Avatar Nur Inda Jazilah. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 26 Maret 2015, jasad Akseyna Ahad Dori, 19 tahun, ditemukan mengapung di danau Kenanga, Universitas Indonesia. Akseyna, yang dipanggil Ace, adalah mahasiswa jurusan biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI angkatan 2013. Seperti diberitakan media, mahasiswa asal Yogyakarta ini termasuk mahasiswa yang pandai. Ia sempat merasa kecewa karena sebagai juara olimpiade biologi regional tidak didelegasikan untuk berkompetisi di tingkat nasional sebagaimana dilaporkan oleh Liputan 6.

Saya turut berbelasungkawa atas apa yang menimpa Akseyna dan keluarga beberapa tahun silam. Lewat tulisan ini, saya tidak bermaksud menambah beban kesedihan keluarga, tetapi memperkenalkan linguistik forensik serta aplikasinya dalam kehidupan.

Pemeriksaan awal oleh Polresta Depok: Akseyna diduga bunuh diri lantaran depresi. Polisi mengacu fakta cerita kekecewaannya yang diutarakan Akseyna kepada ibunya dan memo yang ditemukan di kamar kos. Dugaan ini didapatkan setelah Polresta Depok memeriksa 15 orang saksi. Teman-teman Akseyna dan keluarganya tidak percaya begitu saja jika Akseyna bunuh diri. Hingga akhirnya kasus ini diambil alih oleh Bareskrim Polri dan penyelidikannya diserahkan kepada Polda Metro Jaya.

Dari hasil gelar perkara, kesimpulannya Akseyna tidak bunuh diri atas dasar beberapa fakta. Salah satunya sobekan di sepatu yang dikenakan jenazah Akseyna sebagaimana dilaporkan oleh Tirto.

Kesimpulan Polresta Depok bahwa Akseyna bunuh diri karena depresi dapat dibantah dengan analisis linguistik.

Menurut tulisan Al-Mosaiwi di The Conversation, “People with depression use language differently – here's how to spot it” (2018), isi dan gaya bahasa yang biasa digunakan oleh penderita depresi membentuk ciri khas language of depression. Dari segi isi, penderita depresi akan mengekspresikan lebih banyak emosi negatif dan menggunakan lebih banyak kata ganti pertama dibandingkan kata ganti ketiga. Akan tetapi, pada memo yang ditemukan di kamar kos Akseyna, tidak ditemukan emosi negatif dan bahkan tidak ditemukan penggunaan kata ganti satu pun.

Menariknya, polisi berkesimpulan memo yang ditemukan di kamar Akseyna bukan ditulis Akseyna, atas dasar penelitian grafologi. Yang tidak banyak masyarakat ketahui adalah grafologi termasuk pseudosains.

Sudah banyak penelitian yang membuktikan tentang hal itu, di antaranya penelitian Dean et al. (1992) yang mengungkap proses para grafolog menjustifikasi pekerjaan mereka, atau penelitian Furnham dan Gunter (1987) yang mempertanyakan kembali validitas analisis tulisan tangan.

Penelitian Furnham et al. (2003) tidak menemukan hubungan yang kuat antara grafologi dan kepribadian. Kesimpulan ini diperkuat lewat penelitian lain oleh Dazzi dan Pedrabissi (2009) yang tidak menemukan bukti untuk memvalidasi metode grafologi sebagai alat mengukur kepribadian. Bukti saintifik yang ada tidak cukup kuat untuk menjadikan analisis grafologi sebagai landasan mengambil keputusan, terlebih dalam masalah hukum.

Selain itu, seperti diungkapkan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, ada banyak kejanggalan dalam keterangan saksi. Kejanggalan setelah gelar perkara ini adalah tidak konsisten keterangan saksi. Dari sisi penggunaan bahasa, inkonsistensi adalah salah satu ciri dari kebohongan. Salah satu cara untuk mendeteksi kebohongan secara verbal adalah menggunakan pendekatan analisis konten (content analysis).

Tentu akan sangat membantu jika ada semacam repository selama proses investigasi. Menjadikan BAP sebagai acuan pun tak cukup menentukan apakah seseorang berkata yang sesungguhnya atau berbohong. Masalahnya, ada proses linguistik yang kompleks untuk mengubah interaksi verbal menjadi laporan tertulis. Temuan van Charldorp (2014) mengonfirmasi bahwa polisi berusaha menyusun laporan berdasarkan struktur dan kronologi mereka. Meski usaha ini demi membuat laporan lebih mudah dipahami, idealnya kronologi kejadian dituliskan sama persis sebagaimana yang diceritakan oleh saksi atau tersangka.

Seperti telah diterangkan di atas, content analysis sangat mungkin dilakukan jika ada transkrip selama wawancara saksi berlangsung. Dengan mengaplikasian teori tentang Truthfulness and Deception sebagaimana ditulis oleh Vrij et al. dalam risetnya "Verbal Lie Detection" (2016), siapa yang berkata bohong dan tidak akan menjadi pekerjaan yang sangat mungkin dilakukan. Metode ini juga dapat diaplikasikan untuk menghindari kesalahan hukum akibat salah dakwaan.

Kematian Akseyna masih menyisakan tanya: apakah memo bunuh diri itu asli? Apakah Akseyna menulis sendiri memo tersebut?

Melihat salah satu dari barang bukti dalam kasus ini adalah memo, linguistik forensik menawarkan perspektif baru untuk menganalisis memo tersebut. Analisis memo bunuh diri termasuk ke dalam salah satu area kajian linguistik forensik, yakni language as evidence; bahasa sebagai barang bukti.

Tidak seperti cabang linguistik terapan lain seperti pengajaran atau penerjemahan yang meraih banyak perhatian, mayoritas orang masih memandang remeh pendekatan linguistik forensik.

Frasa linguistik forensik sendiri pertama kali digunakan oleh Svartvik melalui laporannya, “The Evans Statement: A Case for Forensic Linguistics” (1968). Ia melakukan analisis terhadap kesaksian Timothy Evans, korban salah dakwaan di Inggris. Setelah dituduh membunuh istri dan anak perempuannya, Evans diganjar hukuman gantung pada 1950.

Svartvik menganalisis kesaksian Evans di kantor polisi Merthyr Tydfil pada 30 November 1949 dan di Notting Hill pada 2 Desember 1949. Svartvik menemukan perbedaan kesaksian Evans yang disampaikan di dua kantor polisi itu. Secara lebih rinci, Svartvik menjelaskan kesaksian lisan Evans, jika dituliskan, akan menghasilkan dua pernyataan tertulis berbeda, tak hanya pada tataran tanda baca, penyebutan benda tunggal, dan kontraksi kalimat, tetapi juga unit bahasa lebih luas seperti pembagian kalimat.

Bagaimana Linguistik Forensik Menyelidiki Bunuh Diri

Sederhananya, linguistik forensik adalah bagaimana pengetahuan linguistik diaplikasikan ke dunia hukum baik dalam kaitan dengan penggunaan alat bukti berupa bahasa di pengadilan maupun bahasa hakim, jaksa, pengacara, saksi, polisi, bahkan juru bahasa selama proses hukum. Titik balik yang mengangkat nama linguistik forensik adalah kasus Unabomber, pengeboman berantai pada 1978 sampai 1995 di Amerika Serikat. Pelaku pengeboman ditangkap pada 1996 dengan bantuan analisis linguistik atas manifesto yang diterbitkan secara pseudonim di The New York Times.

Saat ini Dr. John Olsson adalah satu-satunya linguis forensik penuh waktu. Olsson telah menuangkan pengalamannya dalam Word Crime: Solving Crime through Forensic Linguistics (2009). Salah satu bab bukunya, “Murder or Suicide?”, menuturkan pengalaman Olsson mempelajari memo bunuh diri.

Fenomena bunuh diri mendorong Edwin Shneidman melakukan eksperimen dengan memo bunuh diri. Pada 1957, Shneidman dan Farberow meminta 33 pasiennya untuk memalsukan memo bunuh diri dengan memakai nama samaran (pseudonim). Ke-33 memo ini dibandingkan dengan 33 memo dari pemerintah setempat. Salah satu hasil temuan dari eksperimen ini, seperti yang sering ditebak orang, ekspresi cinta dan mencintai ditemukan dalam banyak memo bunuh diri asli; jarang ditemukan pada memo palsu.

Namun, ada temuan lebih menarik: Tidak ada perbedaan signifikan secara jumlah antara ungkapan penyesalan dan permintaan maaf dalam memo bunuh diri asli dan palsu.

Tulisan dari memo yang ditemukan di kamar mendiang Akseyna menyatakan: ‘will not return for please don’t search for existence my apologies for everything eternally’

Sebagaimana hasil temuan Shneidman dan Farberow yang dituangkan dalam Clues to Suicide (1957) pada bab “Genuine and Simulated Suicide Notes”, ungkapan penyesalan seperti frasa ‘my apologies’ jamak ditemukan baik pada memo bunuh diri asli maupun palsu.

Osgood dan Walker dalam dalam laporan penelitian “Motivation and Language Behavior: A Content Analysis of Suicide Notes” (1958) menjajaki laku berbahasa dan motivasi khusus pada memo bunuh diri lewat pendekatan content analysis. Temuannya menunjukkan salah satu konten dari memo bunuh diri asli adalah instruksi.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa ‘please don’t search’ termasuk dalam kategori instruksi--semacam instruksi untuk tidak mencari penulis memo. Akan tetapi, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (2019), kata instruksi diartikan perintah atau arahan. Yang menarik adalah sintaksis dari ‘please don’t search’ tidak identik dengan instruksi, tetapi larangan.

Data Osgood dan Walker (1958) menunjukkan instruksi dalam memo bunuh diri asli sering merujuk pada instruksi untuk mengelola peninggalan penulis.

Berbeda dengan kasus ini, kalimat ‘please don’t search’ bukanlah instruksi melainkan larangan untuk mencari. Alasan ini diperkuat oleh analisis Katunde dalam "Assessing the Genuineness of Suicide Notes: Using a Combination of Genre and Content-Based Analysis" (2016). Ia menggabungkan analisis genre dan konten untuk menilai keaslian dari memo bunuh diri. Meski ia memasukkan kalimat yang mengandung negasi ke moves instruksi yakni ‘you must not be upset’ dan ‘you must not blame yourself’, tetapi instruksi lain dalam data penelitian ini lebih banyak berhubungan dengan harta peninggalan.

Mengenai isi memo bunuh diri, disertasi Shapero berjudul The Language of Suicide Notes (2011) yang menggunakan data dari jawatan Coroner di Birmingham, menegaskan isi memo bunuh diri di antaranya tentang menunjukkan kasih sayang, acuan ke masa depan, juga tentang hal-hal yang diketahui penulis, dan keluarganya. Ada pula kemungkinan penggunaan beberapa fitur linguistik melebihi penggunaan normal seperti pemakaian kata ganti, nama orang dan salah eja, negasi, discourse markers, terma kuantitas maksimum, dan intensifier.

Merujuk kembali pada memo dalam kasus ini, untuk ukuran memo yang berisi hanya 14 kata dengan dua kata di antaranya menandakan negasi, dapat disimpulkan bahwa penggunaannnya melebihi normal.

Mengenai pertanyaan pertama pada awal esai ini, setelah membandingkan memo dalam kasus Akseyna dengan korpus memo bunuh diri dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, menurut pandangan saya: memo Akseyna adalah memo bunuh diri palsu dengan alasan-alasan yang sudah dijabarkan di atas.

Pernyataan itu disusun merujuk cara Coulthard menyatakan opininya secara semantik dalam kasus Danielle sebagaimana ditulis oleh Coulthard, Johnson, dan Wright dalam An Introduction to Forensic Linguistics: Language in Evidence (2017, edisi ke-2).

Di lain sisi, analisis sederhana ini belum bisa menjawab pertanyaan kedua karena keterbatasan data yang dapat diakses oleh penulis. Data pendukung lain sangat dibutuhkan untuk analisis lanjutan.

Dalam pemberitaan kasus Akseyna, ada beberapa coretan yang terlihat. McMenamin mengungkapkan dalam Forensic Linguistics: Advances in Forensic Stylistics (2002) bahwa ‘strikeovers’ atau coretan yang berhubungan dengan error dan koreksi bisa juga dijadikan sebagai salah satu penanda gaya bahasa dalam menerapkan analisis kepengarangan (authorship analysis). Untuk itu, perlu perbandingan tulisan lain dari mendiang Akseyna untuk analisis lebih mendalam apakah coretan di memo itu identik dengan coretan lain yang ditulisnya.

Hal lain perlu diperhatikan dalam authorship analysis adalah asumsi variasi teks pada tulisan satu orang lebih kecil dibandingkan tulisan beberapa orang. Namun, asumsi ini dibantah oleh penelitian de Boer, mahasiswi Vrije Universiteit Amsterdam dalam tesisnya "Disguise and Imitation of Language Style in WhatsApp Messages: An Analysis of Linguistic and Stylistic Variation in Manipulated Texts (2018). Partisipan eksperimen dalam penelitiannya diminta memanipulasi pesan WhatsApp dengan pura-pura sebagai korban, baik menyamarkan penggunaan bahasa maupun meniru bahasa korban.

Usaha memanipulasi pesan WhatsApp rupanya menyulitkan para pakar mengenali perubahan variasi teks. Hanya dengan akses ke pesan WhatsApp asli, pakar mampu mengenali perbedaan pesan asli dan tiruan karena mampu mengenali perubahan lebih substansial.

Analisis sederhana dalam kasus kematian Akseyna Ahad Dori ini ditulis bertujuan memperkenalkan linguistik forensik, yang salah satu pendekatannya, authorship analysis, akan membantu penegak hukum menyelesaikan kasus-kasus kriminal yang barang buktinya adalah bahasa.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.