Menuju konten utama

Memisahkan Napi LGBT Itu Diskriminatif dan Tak Masuk Akal

Jika ada tahanan yang ketahuan homoseks, kata Ditjen PAS, maka mereka akan dipisah. Ini dikritik karena dianggap diskriminatif dan memicu persekusi.

Memisahkan Napi LGBT Itu Diskriminatif dan Tak Masuk Akal
Ilustrasi pasangan gay. istockphoto/gettyimages

tirto.id - Rencana Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham yang ingin mengisolasi narapidana terindikasi LGBT ke kamar isolasi dinilai tak tepat. Selain tidak berlandaskan Undang-Undang, usul itu diskriminatif. LGBT juga bukan penyakit, apalagi sampai menular.

"Apabila ditemukan penyimpangan seksual baik oleh narapidana... maka langkah yang diambil adalah pertama memisahkan narapidana yang LGBT dari narapidana normal dengan menempatkan di kamar isolasi, yaitu kamar hunian untuk narapidana sakit baik medis maupun psikis," kata Kepala Bagian Humas Ditjen PAS Kemenkumham Ade Kusmanto Kamis (11/7/2019).

"Langkah ini diambil agar tidak terjadi penularan disorientasi seksual kepada narapidana lainnya," imbuh dia.

Lebih lanjut, kelak para napi yang terindikasi LGBT itu akan dibina secara psikis dan keagamaan. Lewat itu diharapkan mereka, seperti yang dikatakan Ade, sadar bahwa perbuatannya dilarang agama, memiliki konsekuensi hukum, dan rentan terhadap penurunan kondisi kesehatan.

Lapas Banceuy Bandung telah melakukan itu. Kalapas Banceuy, Kusnali, kemarin (11/7/2019), memisahkan lima orang tahanan yang, sebagaimana dikutip dari Portaljabar, hanya karena mereka "seperti perempuan, agak kemayu."

"Tujuan pemisahan ini untuk menghindari penularan. Makanya kami upayakan dimasukkan di satu tempat. Nanti kita lihat perkembangannya karena tidak ada penelitian khusus terkait itu," katanya.

Kritik

Kritik soal ini salah satunya disampaikan peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara. Ia menilai tidak ada peraturan soal pemisahan narapidana LGBT. Selama ini klasifikasi itu diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Faktor yang dipertimbangkan di Pasal 12 beleid itu adalah: umur, jenis kelamin, masa hukuman, jenis kejahatan, atau mungkin kriteria lain sesuai kebutuhan.

"Kami tidak setuju, ya. Kalau [UU] enggak diminta dipisah, ya sudah," kata Anggara kepada reporter Tirto, Kamis (11/7/2019).

Tentu lain cerita apabila memang ada napi yang melakukan pemaksaan penyaluran hasrat biologis. Menurut Anggara itu tak bisa disebut penyakit, tapi masuk ke pelanggaran hukum dan itu harus ditindak.

Anggara juga merujuk pada keputusan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) yang yang mencoret homoseksualitas dari Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) pada 1987 setelah memasukannya pada 1968.

"Itu bukan penyakit. Lagipula pemisahan itu biasanya karena violence, napi high risk. Bukan begitu-begitu," katanya lagi.

Anggara juga berpendapat wacana Ditjen PAS tidak masuk akal. Sebab, sebagian besar--jika bukan semua--lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas. Tidak mungkin pemisahan dilakukan dalam kondisi itu. "Dia [Ditjen PAS] tidak tahu prioritasnya," vonis Anggara.

Kritik juga datang dari dari Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Pendapat Asfin sama seperti Anggara, bahwa yang semestinya dilakukan adalah menghukum siapa saja yang melakukan pemaksaan hubungan seksual, tak peduli apa orientasi seksualnya.

"Itu harusnya dihukum pidana, bukan pengobatan," kata Asfin kepada reporter Tirto.

Selain itu, kebijakan ini cenderung diskriminatif, dan diskriminasi ini bisa memicu kekerasan verbal dan nonverbal kepada kelompok LGBT. "Berbahaya sekali jika disendirikan. Bisa jadi korban persekusi," tegas Asfin. "Apalagi lapas overcrowded dan pengawasan tidak bisa terlalu ketat."

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino